Tuesday, December 24, 2013

Soft Words for Tears

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/soft-words-for-tears

As if it's a badge of honor, I thought.

It was Tuesday morning, and I was a little distraught that no one actually came to pick me up from Masungkang. So instead of teaching there, I came to school anyway, and I was greeted by the children, "Pak tidak ke Masungkang?"

I evaded the question, heading straight to the teachers' room. And found myself face-to-face with Pak Nurhuda, slated to teach English to the sixth and fourth graders that morning. Him and nobody else. No headmaster in sight, and the other teachers wouldn't arrive until a bit later.

So we ended up talking about how a good headmaster would've been present in the office at 7 am everyday, checking the teaching plans his teachers would've submitted him for authorization before they put that plans to life. He wouldn't have been content when his teachers reported to him that kid A or kid B has troubles, or had been making troubles. He'd call those kid to his office, and giving them counseling himself.

No, he would't have dished out corporal punishment, he'd nudge them with soft words that would go straight to the heart and make the kid weep without him needing to lay a finger.

I actually agree to everything he said, up to the corporal punishment bit. But I'm not so sure about the weeping kid part. The thing is, Pak Nurhuda spoke of it with such reverence that I could not help but sprinkle a couple grains of salt to what he said.

It's just that I've had my students wept, then surreptitiously wiped their eyes, and proceeded to openly weep for so many times this past year. All with nothing else but words. And it never fails to make me feel bad about myself.

And if you wondered whether these weepings were the result of their friends teases and pokes, these weren't. I was only considering the tears that I made them cry. All with nothing else but words.

If that ability is such a wonderful thing, then why, I ask, doesn't it feel wonderful?

So no, I don't prance around with those experience, as if it's a badge of honor.

If anything, when it happens, it made me wonder if I had been fit to teach them. If anything, they made me wonder if I had not been a failure.

There was a day when I made half of the girls in the third grade weep, after I made them recite from memory Sumpah Pemuda in turn. I made them do little else but recite them word for word. When they stumbled, or faltered, or forgot a word, I ask them to recite the whole pledge again. From the beginning.

After several tries, they were visibly frustrated, and so was I. Hadn't they been paying attention? Why did they keep on forgetting the words? It was five to one pm already and there are still students who couldn't recite the pledge. I was at my wit's end. I was this close to implode, and Apri's tantrum from beyond the fifth grade partition was not helping any matter.

I went home absolutely drained afterwards.

There was also this time when I made Rizki, Andrian and Ayu forwent recess because they hadn't done their math homework. The punishment was simple: they had to stay indoor and did 30 math problems like the ones they didn't do. They ended up working on the problem by my desk at the teachers' office, and I spotted once or twice Ayu and Rizki blinked and wiped their eyes to their sleeves, leaving streaks of tearstrain.

Recess ended, and I sent them back to the classroom. Ayu put her head on the desk the whole time, and Niluh, her desk mate told me that Ayu had been feeling unwell then.

There must have been a way for everything to go the way everyone said the ideal lesson: the lessons fun, the pupils understand, the teacher proud. All that while the kids are all able to actively take part in the activities, well behaved and aware of their duties and responsibilities. It hadn't been the condition of my classroom. It hasn't been.

Really, it has been a pandemonium every other day.

Because even in the days when I was in good humour, and the lessons were enjoyable, you can count on Murphy's law to predict that it had to be days when the children are unruliest. Fights, scuffles, and kerfuffles virtually guarantees that one of them will end up weeping, with the other sulking when I made him apologize to his friend.

Faced with incidents like these means that there are only three alternatives to take. One is succumbing to the insanity of the pandemonium. Two is detaching self from the students and letting one becomes an apathetic cynic. Three is constant re-evaluation.

Of the three, I believe only the latter alternative is worth considering, because I value my sanity (who doesn't?), and thus the first alternative can be scratched off. The second alternative is no course an educator worthy of the job in good conscience should even consider. Not only one becomes no longer fit to bear the title of an educator when one is apathetic toward one's students, but that very apathy is the undoing of the education itself.

So only alternative three remains: constant re-evaluation on our part. Of what works, of what doesn't to temper the children's tantrums, to scoot my class one inch closer to the ideal classroom. To educate them.

And to likewise learn from them in the process.

Saturday, December 21, 2013

Satu Mil Ekstra

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/satu-mil-ekstra

Kalau camp pelatihan pengajar muda ada di dunianya The Handmaid's Tale yang dikarang oleh Margaret Atwood, mungkin kami--yang dinilai kompeten untuk melakukan lebih dari yang disyaratkan--akan menerjemahkan frasa "go the extra mile" secara harfiah dan menambah porsi lari pagi wajib menjadi 18 menit setiap hari.

Tapi tentu saja kalau melihat teman-teman yang bergerak digelayuti kantuk tiap pagi buta, gamblang dan nyata kami tidak hidup di keseragaman distopia. Untungnya.

Dengan lima puluh dua kepribadian berbeda, tentu akhirnya kompetensi itu muncul dalam puluhan bentuk yang berbeda. Paling jelas mungkin ketika malam seni: saya bersyukur tampil pertama, jadi tidak terlalu kelihatan bahwa kelompok PM Banggai bakat eksibisi artistiknya minim, tidak terlalu kelihatan juga kalau kami (saya) pilih menyimpan energi untuk satu mil ekstra ini.

Saya jelas lebih pilih memunculkannya di tempat-tempat yang saya suka, seperti meresensi buku Keberanian Mengajar. Bukan karena ini buku yang menggetarkan cakrawala, bukan juga agar saya bisa mengintimidasi Ika, pasangan saya untuk tugas resensi ini (walaupun harus diakui ini adalah efek samping yang menyenangkan), dan bukan juga agar post-it notes yang saya beli terpakai (maklum, jauh euy belinya, di Bandung). Lebih karena saya merasa terganggu dengan versi terjemahannya yang buruk, dan membedah kelemahan-kelemahan logis buku itu lewat catatan lebih menyenangkan.

Sama menyenangkannya dengan mencari tahu asal usul mengapa alfabet kita saat ini berbentuk seperti yang kita tahu. Mengapa huruf E besar disusun oleh satu garis vertikal dan tiga garis horizontal? Mengapa huruf-huruf yang lain bentuknya seperti itu?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika Bu Wei dan banyak narasumber lainnya, termasuk alumni-alumni PM menceritakan bahwa kami mungkin akan menghadapi tantangan mengajarkan calistung bahkan kalaupun kami mengajar kelas tinggi.

Mungkin lingkung proyeksi diri saya terlalu kuat, saya bayangkan saya saat ini diajari alfabet baru, saya pasti akan bertanya, mengapa bentuknya seperti itu? Jadilah saya membayangkan calon-calon murid saya akan bertanya seperti itu, dan kalang kabutlah saya mencari jawabannya di akhir minggu ketika akses internet dibuka.

Nyatanya, di sini saya memang bertemu dengan tantangan seperti itu, tapi minus pertanyaan asal mula bentuk alfabet. Biar begitu, saya tidak merasa rugi meluangkan waktu mencari tahu, karena saya jadi belajar bagaimana hieroglyph dari Mesir dibawa oleh orang Sumer dan Phoenicia hingga menjadi alfabet seperti yang kita kenal saat ini.

Saya tersadar lagi tentang memberi lebih ketika dini hari saya baru beranjak tidur di Sinorang, usai merancang pelatihan guru di kecamatan Moilong untuk lusanya. Harus diakui, menyenangkan sekali dipaksa memutar otak (dan tidak ketemu jawabannya) bagaimana menumbuhkan motivasi belajar untuk pengajar. Berawal dari keinginan berbagi materi kecerdasan majemuk, yang lalu bisa dikaitkan dengan juga dengan cara guru mengajar kreatif. Saya yang tidak cerdas musik sama sekali merasa lebih nyaman memperkaya pengajaran dengan permainan kata-kata; bertolak belakang dengan Mbak Yanti yang disleksianya jadi bulan-bulanan canda kami, tapi gemar mengajarkan dan membuat lagu-lagu pelajaran. Kami pikir, ketika guru tidak suka dengan materi yang diajarkan, akan besar kecenderungannya untuk sekedar melepas siswa mereka di ranah imla, salin buku sampai habis dengan keterlibatan minimum. Anak bosan, guru merasa kewajibannya tergugurkan, tidak ada yang paham.

Maka pertanyaan hipotetis yang muncul malam itu sederhana, bagaimana kalau salah satu hadirin guru cerdas itu bertanya, "Saya guru honorer, saya tidak mampu mengajar [sebut mata pelajaran], berarti menurut teori itu saya boleh cuci tangan dari mata pelajaran itu? Saya toh bakatnya bukan di situ."

Hingga malam usai, kami tak menemukan formula jawaban yang pas. Usulan-usulan jawaban saya dimentahkan Yanti dengan "Terlalu normatif." Usulan dia saya mentahkan dengan, "Apa bedanya sama usulanku tadi? Ya memang itu occupational hazard jadi guru." Ika cuma mencoba menengahi, "Ya itu cara lain bilangnya sih Mas," katanya sambil garuk-garuk kepala (yang sepertinya gatal betulan).

Di hari-H, pertanyaan hipotetis itu tidak terlontar, dan guru-guru nampak tetap antusias mengikuti sesi-sesi berikutnya.

Bisa jadi malam itu kami adu pikir sia-sia, tapi ketika saya menceritakan pada Pak Nurhuda, iapun sepakat bahwa yang terpenting adalah menumbuhkan motivasi, tentu dengan disisipi dogma bahwa akhiratlah preferensi utama. Bukan sia-sia, pikir saya, hanya satu mil ekstra.

Satu mil ekstra, tajuk wicara di H-14 akhir dari 14 bulan penugasan.

Thursday, December 5, 2013

Gelap Terang Lentera

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/gelap-terang-lentera



Ika menatapku aneh ketika aku bertanya-tanya padanya detail pertanyaan yang diajukan seorang ibu kepala sekolah di Luwuk. "Ngapain kamu tanya-tanya, Syhur?"

"Mau aku jadikan Tajuk Rencana buletin kita," jawabku enteng.

"Seriusan kamu?"

---

Saat itu, kami sedang diburu waktu untuk menyelesaikan buletin, karena sementara kami bekerja, perkemahan di Lembah Sehu Salodik sudah berjalan dua hari. Kami berencana untuk pasang badan mengiklankan diri di persami tersebut karena di acara seperti inilah berkumpul banyak siswa dan guru dari seluruh kecamatan di Kabupaten Banggai. Kalau tahun lalu, kami hanya mengenalkan Indonesia Mengajar secara lisan, tahun ini kami ingin memperdalam perkenalan tersebut: dengan kegiatan bermanfaat dan material-material fisik. Satu kardus print-out website Anak Bertanya Pakar Menjawab dan Ruang Belajar kami siapkan. Termasuk di antaranya adalah membagikan buletin buatan kami sendiri.

Sayangnya, kiriman paket dari FGIM belum sampai di Banggai waktu itu. Jadilah sebelum berangkat ke bumi perkemahan, Auliya dan Ika sibuk membuat Badan si Badun, telepon tali gelas bekas, dan memotong-motong kartu angka untuk permainan perkalian.

---

Awalnya kami hampir tidak membuat edisi kedua Lentera untuk Persami Salodik, apalagi ketika kami membuat edisi pertama Juli yang lalu, guru PAI di sekolah saya berkomentar, "Ini terlalu banyak tulisannya Pak. Orang sini tidak suka baca yang begini. Tidak berwarna lagi."

Saya tersenyum kecut.

Hanya saja, satu bulan sebelum Persami, Mbak Yanti sukses membuat semangat kami terlecut ketika ia bercerita bahwa seorang pengawas di kecamatannya memuji metafora yang ada blurb buku Catatan Kecil Pengajar Muda yang saya taruh di halaman terakhir buletin saya yang lalu. Ia setuju bahwa pengajar adalah petani peradaban.

Wah mereka baca buletin kami! Ayo kita bikin lagi!

---

Mulailah hari-hari penuh teror itu berjalan: menagih tulisan dari Luqman, Yanti dan Lilli. Membabat tulisan mereka dari kisaran ribuan kata agar muat di halaman-halaman A5. Mengabaikan ratapan pedih* mereka, "Aku ga bisa baca hasil editanmu, Syhur. Yang aku masukin tentang Arya ini penting semua sebenernya," keluh Luqman.

"Trade-off, Man. Mana bisa sepanjang itu jadi dua halaman A5 sama foto. Kamu ngga ngasih foto lagi di tulisanmu."

Di akhir-akhir penyusunan, saya mempertimbangkan mengawali tajuk rencana dengan ucapan perpisahan. Tugas kami toh sudah memasuki masa bonus. Tapi keterikatan tema turun tangan oleh orang-orang di luar pendidikan terasa sayang untuk diabaikan. Ketika orang-orang yang bukan guru saja rela meluangkan waktu untuk mengajar di kegiatan Dikpora Mengajar, Hari Inspirasi dan meluangkan waktu untuk mendukung pengajaran seperti di FGIM, kami berdecak heran (dan sedikit geram dengan nadanya yang meremehkan) pada si ibu kepala sekolah merangkap wakil ketua PGRI yang mempertanyakan, mengapa IM menjaring lulusan non-pendidikan?

"Mbak dan mas ini background pendidikannya apa?"

"Ini salahnya pemerintah, PGSD saja belum tentu bisa ngajar, apalagi yang bukan dari pendidikan?"

"Oh, bukan pemerintah? Ini salahnya program anda, kenapa yang diangkat bukan pendidikan, yang dari pendidikan saja banyak?"

"Kami apresiasi ya mbak dan mas ini mau datang dari Jawa, tapi kenapa tidak diangkat yang dari Luwuk saja?"

---

Selesai menulis, aku perlihatkan tajuk rencana itu pada Ika untuk di-proofread dan diedit. Sontak terbahak-bahak dia membaca kalimat "Toh para siswa tak hendak bertanya asal diploma terakhir gurunya. Pun mereka takkan bertaklid buta meski melihat pemegang diploma dari Jepang dan Cina." Dia mendaulatku sebagai perwakilan PM untuk menyerahkan buletin kami ke si ibu jika nanti bertemu.

---

Ketika Persami akhirnya usai, kami tak juga bertemu dengan si ibu. Tapi kami pun hampir tidak ingat sama sekali tentangnya. Karena ternyata jauh lebih mudah mencari sumber energi positif di acara itu: riuh-rendah lomba yel-yel, belajar badero di tenda Kwarran Luwuk Timur, mengagumi rumah adat Kwarran Batui dan Batui Selatan, karnaval spektakuler semua Kwarran, dan menularkan semangat berkarya Arya pada peserta Persami lainnya. Senang rasanya ketika kami dibuat tercengang oleh siswi SMP dari kecamatan Balantak yang tahu penggunaan kata 'merongrong' yang baik, atau siswa SMAN 1 Luwuk yang bisa menjabarkan sekolah impiannya dalam gambar berkelas arsitek profesional. Menyenangkan mengagumi cita-cita siswa dari Nambo yang ingin menjadi pelukis batik.

Karena meski di akhir perkemahan badan sudah lemah, kata-kata ini terujar mudah: Indonesia punya masa depan cerah!

---

* Iya ini sengaja lebay.