Friday, July 18, 2014

Mengawetkan citra diri

Saya ini orangnya jaim. Gampang banget ketahuan jaimnya, sok cool-cool begitu, yang biasanya kebablasan, sampai teman-teman kantor saya bilang saya ini kulkas. Saya sih ga masalah jadi kulkas, karena kulkas bikin makanan awet. Selain itu, cukuplah ada juga microwave di kantor. Makanan yang dingin tinggal dimasukkan di microwave, jadi hangat dan nikmat disantap.

Tapi saya jarang juga sih pakai microwavenya, karena memang saya seringnya malas makan. Rasa malas makan ini adalah yang sukses bikin saya kehilangan berat badan dan pipi di tahun 2011. Terbayang sih waktu itu reaksi orang-orang ketika saya pulang dari Jepang, bingung semua kenapa saya jadi kurus. Pertama kali bertemu lagi dengan Uphie di Surabaya tahun 2012, serunya pertama adalah "What happened to you?" dengan tatapan membelalak tidak percaya.

Dan karena saya jaim, maka biasanya respon saya enteng aja, "Biasa aja kali." Walaupun sebenarnya dalam hati saya sering merasa senang juga, wah saya bisa kurus juga!

Bukan apa-apa, tapi ketika saya remaja, saya adalah remaja yang gemuk. Ngga sampai gendut bulat sih, tapi cukup untuk meremukkan kepercayaan diri saya tiap pelajaran olah raga. Sudah lari selalu paling belakang, tanding sama perempuan kalah, remedial berulang kali pun dapatnya nilai kasihan. Wajar sajalah rasanya kalau saya berhipotesis berat saya yang berlebih adalah penyebab kelemahan saya. Satu-dua teman sekelas dan seangkatan pun melontarkan komentar--yang menurut dia mungkin biasa saja, tapi bagi saya--nyelekit dan meretas sisa serpihan kepercayaan diri saya akan tubuh saya.

Sialnya, masa remaja adalah masa dibentuknya citra diri. Tumbuh dengan berat badan ekstra berarti sulit sekali menginternalkan citra diri baru, "Saya kurus." Sampai sekarang, saya masih sering malas makan, dan ketika berbelanja camilan untuk bermain Thunderstone, Minerva dan Karmen menatap saya heran ketika saya tidak membeli apapun.

Saya baru bisa mulai menginternalisasi kekurusan baru saya ketika saya setahun di Banggai. Bagaimana tidak, tiap turun gunung, Ika selalu berkomentar, "Mas, kamu kurusan ya. Kelihatan capek pula." Kepala sekolah saya menyesalkan, "Mas ini tidak seperti Mas Luqman ya." Sementara ibu piara Mbak Yanti selalu menggoda saya untuk makan lagi dengan lauk kepiting.

Tapi toh berat badan saya tidak juga beranjak jauh dari kisaran 66-67 kilogram selama setahun. Sepulang penugasan, tidak ada juga yang banyak berubah.

Sampai ketika saya datang acara Ramah Tamah Keluarga Besar Indonesia Mengajar yang diadakan untuk Pengajar Muda angkatan VIII yang akan diberangkatkan bulan lalu, saya bertemu kawan saya Pengajar Muda angkatan V di sana. Komentar pertamanya adalah, "Wah kowe saiki lemu," saya pun bersorak dalam hati. Wah trennya mulai berubah lagi!

Sayangnya ternyata tren ini tidak bertahan lama. Seminggu setelahnya, saya bertemu kawan itu di kesempatan yang berbeda, saya disambut dengan komentar, "Kowe kethok kuru Syhur."

Asem.

Usut punya usut, kesan menggembirakan yang lalu adalah akibat dari potongan kemeja yang saya pakai. Di Ramah Tamah, saya pakai kemeja dan celana slim fit, sementara di kesempatan berikutnya saya pakai potongan kemeja regular fit lama saya yang sudah saya punyai sejak masih gemuk. Jadilah agak gombrong dan saya pun gagal nampak gemuk lagi.

Apa lacur.

Tapi ada lanjutan komentar menarik dari kawan ini di kesempatan yang belakangan ini. Ketika ia berkata, "Kowe kethok kuru Syhur. Wingi klambimu rodo ketat ngono koyo gay kowe." Saya sempat bingung sih harus merasa bagaimana atas komentar itu.

Komentar ini ditujukan ke saya lho, saudara-saudara. Insan yang diingat teman-teman kuliah selalu istiqomah bersandal jepit dan advokat Swallow garis keras ("Kita harus menggerakkan ekonomi rakyat dan menyokong produk sandal dalam negeri!"), di kampus ganesha pula. Udah standar penampilan anak-anak kampusnya rendah (apalagi yang agak mengangkat nilai kebeningan hanyalah Sekolah Tinggi Ilmu Hayati dan Sekolah Farmasi--sisanya delusi berpikir tingkat kegantengan naik dengan jaket himpunan warna mencrang), secara historis nilai penampilan saya jelas di bawah rata-rata.

Saya sih pasrah saja dengan penampilan pas-pasan. Udah biasa lah, di Jepang juga rasanya saya paling kumel dibandingkan kaum prianya yang nampaknya menyempatkan diri merawat diri dan mencabuti alis demi bentuk yang simetris. Di Banggai pun satu-dua kali saya mendapati bapak ibu di kantor dinas pendidikan menatap penampilan kami dengan prihatin. Pemuda-pemudi terbaik bangsa, memadankan penampilan saja tidak bisa. Kembali ke Jakarta pun saya baru belajar menyelaraskan warna kaos kaki saya dengan warna celana dua bulan setelah saya bekerja (Makasih lho Pak Shawn). Maklum, kebiasaan di Banggai apapun warna celananya, semua jadi senada dengan lumpur yang menggurita.

Perwujudan kejahatan mode, disetarakan dengan teman-teman gay yang stereotipikalnya terpoles? Aduh, saya tersanjung!

Berarti sekarang tinggal memoles ketersanjungan saya dengan jaim. Supaya konsistensi tetap jadi bagian diri.