Thursday, June 11, 2015

Jalan Lain ke Tulehu

Sulit sekali ternyata merekomendasikan Jalan Lain ke Tulehu ke teman-teman saya. Begitu saya perlihatkan sampulnya, mereka langsung bertanya, “Ini yang ada filmnya itu ya? Pasti iya deh, ini ada ‘Cahaya Dari Timur’ juga.”



Susah memang kalau berteman dengan orang-orang yang saking seringnya dapat tawaran nonton bersama pemutaran film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, bisa pasang #sikap kalau-ga-ada-Chicco-Jericho-gue-malas-dateng-kalau-Glenn-Freddly-gue-ga-nafsu. Buat mereka, kalau ini adaptasi sama dengan filmnya, buat apa baca novelisasinya?

Saya yang belum menonton filmnya tidak bisa menyangkal maupun mengiakan. Dan memang sekilas dari sampulnya, sepertinya mirip. Dua-duanya bertuliskan “Cahaya dari Timur”; di kedua poster dan sampul, ada orang bermain sepakbola. Makin tidak tampak baru untuk teman-teman saya.

Maka saya mencoba pendekatan lain untuk merekomendasikan buku ini, “Buat gue sih menarik aja, karya tulisan diceritakan dengan tutur logat Maluku. Terus karena ngga jauh beda sama logat Manado pasar yang dipakai di Banggai, jadi berasa macam kita balik lagi ke sana.”

Saya agak canggung mau merekomendasikan tentang kekuatan plot buku ini, karena, yah, kosakata apresiasi karya sastra bukanlah kosakata biasa saya sehari-hari. Sekalinya dulu ambil mata kuliah apresiasi sastra di ITB, di kelas malah baca Newsweek dan Time. Canggung bercakap sastra saya.

Sejujurnya, ketika saya mulai membacanya, saya langsung terhisap dalam cerita. Tentang Gentur yang harus diselamatkan dari vigilante nasrani yang hendak “membersihkan” muslim dari kapal yang saat itu dia tumpangi. Dan memang ini adalah fokus utama buku ini, tentang konflik antara yang bersalib dan bersalam di awal dekade yang lalu. Konflik ini membawa Gentur ke desa Tulehu, desa muslim yang terkenal sebagai kampung sepakbola.

Kalau ini adalah film sebangsa Air Bud, maka berikutnya pembaca akan disajikan cerita sepakbola membuat orang bisa mengesampingkan perbedaan di Tulehu. Tapi karena ini bukan sebangsa Air Bud, di novel ini justru kita akan menemui ketegangan ketika penduduk desa muslim tidak ingin ada warga kristen yang ikut menonton laga Belanda versus Italia di semifinal Piala Eropa. Penyebabnya pun tidak terasa dibuat-buat: tidak adanya listrik di desa membuat mereka rela mempertaruhkan keselamatan nyawa dengan datang ke desa yang berbeda agama. Adu urat tentu ada, dan saya mendapati diri saya bersimpati dengan si anak kristen yang berpura-pura harus ikut mendukung Belanda walaupun sebetulnya dia mendukung Italia. Bagaimana tidak? Begitu hampir ketahuan kalau ia mendukung Italia, situasi menjadi genting.

Bagi sebagian orang, sepakbola itu bagaikan agama. Bermain (dan menonton) bola bisa punya dampak katarsis yang sama dengan beribadah pada Yang Kuasa. Di sisi lain, terlihat pula di novel ini fanatisme terhadap keduanya ternyata tidak jauh berbeda.

Novel ini juga kaya akan lapisan-lapisan cerita. Tentang Said—mantan atlet kabupaten yang gagal bersinar karena cidera di masa muda—yang mencoba melatih anak-anak bermain sepakbola, tapi juga dirundung permasalahan rumah tangganya. Tentang Gentur yang dikejar masa lalunya—dan memori tentang almarhum kekasihnya yang menjadi korban perkosaan 1998. Tentang Tulehu yang menyimpan banyak memori persepakbolaan Indonesia. Bagi saya, tamatnya novel ini adalah titik awal berkecamuknya pikiran-pikiran yang harus diurai dari observasi yang ditawarkan novel ini.

Observasi pertama adalah tentang kekuatan kerusuhan 1998 sebagai latar cerita literatur sastra Indonesia. Memori atas 1998 adalah salah satu penggerak Gentur di novel ini, dan baru minggu yang lalu saya dapati demonstrasi mahasiswa 1998 menjadi salah satu bagian plot di novel “Pasung Jiwa”nya Okky Madasari. Yang lalu membuat saya bertanya-tanya, kenapa saya tidak banyak menemui literatur populer yang mengangkat peristiwa tahun 1965? Apakah ini karena pengaruh Orde Baru yang “membersihkan” citra dirinya?

Observasi kedua adalah tentang peran lingkungan kita dalam membentuk pilihan masa depan. Waktu kita kecil, saya rasa akan sangat sedikit dari orang tua kita yang tertawa saat kita bercita-cita menjadi dokter dan insinyur dan pilot. Bisa jadi mereka mendukung dengan bangga, dan memang dukungan itu adalah hal yang mudah ketika mereka familiar dengan profesi tersebut (atau bahkan itulah profesi mereka). Tapi bagaimana jika waktu itu kita mengaku bercita-cita menjadi atlet sepakbola atau seniman? Bisa jadi mereka menganggap itu gurauan sepintas lalu.

Di sisi lain, saya bayangkan di Tulehu orang-orang tuanya akan menyangsikan anak mereka bisa lulus sekolah dan kuliah untuk menjadi dokter dan insinyur. Mudah dibayangkan bagi mereka untuk tidak serius menanggapi cita-cita anak mereka, ketika mereka tahu bahwa bersepakbola adalah alternatif yang lebih mudah, lebih lazim dicapai. Lihat saja Aji Lestahulu (PSM), Mustafa Umarella (Pelita Jaya), Kasim Pellu (Bintang Timur Cirebon) yang juga berasal dari desa ini, sementara mana ada anak sini yang bisa jadi dokter?

(Trus yang udah jadi dokter dan pengacara dan insinyur songong deh, “Ini hasil kerja keras gue kok!”).

Yah, paling tidak sekarang saya jadi makin memahami kenapa Kelas Inspirasi itu penting.

Observasi ketiga adalah: tinggal di Jakarta ternyata membuat akses saya terhadap bacaan lokal makin terbuka. Kalau saya tidak tinggal di Jakarta, saya tidak naik transjakarta. Kalau tidak naik transjakarta, tidak bisa mengintai mbak-mbak di halte Halimun yang juga mengantre sambil membaca novel ini. Kalau dia tidak sedang membaca novel ini, saya jadi tidak bisa mengintip isinya. Kalau saya waktu itu tidak mengintip, saya tidak akan tertarik dan mencarinya di Gramedia. Ternyata ada berkahnya juga tinggal di Jakarta.

Dan tidak disangka, kemampuan jualan saya tidak butut-butut amat: Ajeng jadi tertarik mau membaca novel ini juga!

Sunday, June 7, 2015

June 2015: Graduation

//reposted from https://incubator.duolingo.com/courses/en/id/status

Hore! Akhirnya kursus ini lulus dari beta!

Tapi apa sih maksudnya kursus ini lulus dari beta?

Perbedaan yang paling mencolok, kini laporan pengguna yang masuk sudah stabil: kurang dari 3% pengguna mengirimkan laporan masalah kursus ke kami. Banyaknya laporan yang masuk ini sebetulnya sudah ada di kisaran 3-4% sejak beberapa bulan yang lalu, tapi kadang-kadang laporan yang masuk jumlahnya lompat di atas ambang tersebut.

Apakah kursus ini sudah sempurna?

Anggap saja kursus ini harusnya tidak lagi membuat penggunanya frustasi mengapa banyak jawaban betul disalahkan oleh Duolingo. Salah satu pekerjaan utama kami adalah melihat terjemahan betul yang disarankan pengguna, dan harusnya kasus-kasus seperti di atas tidak lagi banyak terjadi.

Namun harus diakui memang, banyak pengguna yang masih memisahkan akhiran -ku, -mu, -nya yang harusnya disambung, ataupun kata depan "di" yang harusnya dipisah, lalu melaporkan terjemahan mereka sebagai terjemahan yang benar. Sepertinya tugas kami berikutnya adalah memastikan pengguna mendapatkan umpan balik ketika ada galat di jawaban mereka!

Lalu apa berikutnya?

Kami akan mulai membuat kursus bahasa Indonesia untuk penutur bahasa Inggris! Tapi ini bukan berarti kami akan menelantarkan kursus yang sekarang ini. Kami sudah mengidentifikasi hal-hal yang masih harus diperbaiki dari kursus sekarang: memperbaiki cara mengajarkan artikel the, meningkatkan konsistensi terjemahan dan beberapa hal lainnya lagi. Kami selalu terbuka untuk menerima masukan tentang kursus ini!

Ada pesan yang ingin disampaikan?

Terima kasih untuk semua yang pernah (dan sedang) terlibat di tim Inkubator EN-ID. Kalian keren! Terima kasih juga untuk semua pengguna yang telah mencoba kursus ini dari tahap beta (sekarang ada 254 ribu pengguna!) dan mengirimkan laporan untuk perbaikan kursus ini. Semoga kursus ini membantu penguasaan bahasamu!

Tabik!

We've finally graduated from beta!

And what does that even mean, graduated from beta?

Well, now the number of reports from our users have been stable at below 3 from every 100 users. It has actually been the case for several months, but every now and then we saw a spike in the error reports that made it jump above the 3% threshold.

Is it now the best course that we will ever offer?

Let's just think that this course should no longer made users throw their phones in a fit of anger when they have their correct translations marked as wrong by Duolingo. We have been screening the user reports, adding correct translations in hope that we'll spare our users the frustration.

However, we do see users submit grammatically wrong sentences as correct translation: adding a space before -ku, -mu, -nya suffixes (where none should be used) and misidentifying the preposition "di" as a "di-" prefix. One of our next tasks is to add messages to let users know the errors in their answers.

So what's next?

Onwards to the Indonesian for English speaker course! But it doesn't mean that we will abandon this course. We've identified rooms for improvement in the EN-ID course and we hope to deal with that in the future. After all, we still need a better way to teach the definite article "the". We also need to make sure the translation remains consistent throughout the course. We are open to suggestions!

Anything you'd like to add?

Yes, a hearty thank you for all who have been (and are currently) involved in the EN-ID incubator! You guys are cool! Thank you to everyone who have taken this course since we're in beta (all 254 thousands of you) and submitted reports to improve this course. I hope you find the course helpful.

Tabik!