Monday, October 19, 2015

Risalah sesi Indonesia Berkarya

Saya hampir lupa kalau saya pernah menulis tentang sesi Indonesia Berkarya di milis alumni. Karena navigasi laman yahoogroups mensyaratkan login menggunakan email yahoo--saya rasa ada baiknya dibuka di ruang ini juga. Jadi saya tidak perlu frustasi mengingat-ingat sandi surel saya setiap kali saya mau mencari arsipnya.


From: Masyhur Hilmy
Subject: [alumnipm] Catatan dari sesi Indonesia Berkarya
Sent: Wed, May 21, 2014 17:36 

Agak telat sih, tapi saya kepengen cerita agak panjang; dua minggu lalu saya diundang ikut reuni forum YLI. Di forum ini, saya selain bisa lihat Mbak Naimah yang dengan energiknya memandu peserta di games pembuka, saya juga berkesempatan duduk makan malam mendengarkan Pak Anies bercerita. Di makan malam yang sama, kami para peserta didorong untuk berjejaring dengan para profesional yang turut diundang hadir. 

Kalau dipikir-pikir, hampir sama dengan sesi makan malam waktu OPP, cuma bedanya tidak terlalu banyak muka keling terbakar matahari di sekeliling meja. Sementara itu, interaksi dengan para profesional seniornya membuat saya teringat sesi Indonesia Berkarya.

Saya suka datang ke acara Indonesia Berkarya. Alasannya sederhana, karena di sana saya kembali disajikan grafik-grafik yang baru beberapa bulan yang lalu saya temukan di laporan McKinsey yang judulnya Unleashing Indonesia. Saya pertama kali membacanya via hp di mobil menuju Baduy, sambil mengagih cuplikan-cuplikan menarik dari laporan itu ke mobil yang penuh dengan keluarga PM Banggai (Farida PM V TBB kami klaim jadi keluarga PM Banggai aja deh). 

Yang bikin mobil riuh rendah adalah ketika saya mengagih Box 12 tentang Indonesia Mengajar. Kami pun main-main checklist, saling bertanya satu sama lain, sebagai PM yang baru selesai OPP, setahun di penempatan kemarin kita "develop leadership skills and an understanding of remote communities" ngga? Waktu di sana "rural students gain a role model" ngga? "Village teachers receive exposure to new teaching techniques" ga? "Given public classes on topics such as hygiene and sanitation" ngga? ("Ya iya lah, mereka [congekan/jamuran/gatal-gatal/kudisan/pilih penyakit kulit lain sesuai dengan desa penempatan] gitu,"). 

Dua bulan kemudian, di Indonesia Berkarya beberapa orang menyajikan presentasi yang pakai grafik-grafik yang sama, dan saya jadi sadar bahwa satu tahun di penempatan membuat histogram, presentase dan diagram-diagram tersebut jadi punya nama dan cerita. Peluang pasar pertanian, perikanan, SDA dan pendidikan kita akan meningkat dari USD 0,5 trilyun jadi USD 1,8 trilyun di tahun 2030? Wah iya banget tuh, Indonesia itu kaya hasil bumi dan lautnya. Desa gue dulu isinya sawit, coklat dan karet emang! Banggai ikan dan kepitingnya juga berlimpah! Mayoritas kota yang pertumbuhan ekonominya tinggi di luar Jawa? Jelas iya dong, lihat aja Luwuk di Banggai yang tau-tau udah ada Aston, KFC, sama Happy Puppy aja.

Tidak semua grafiknya bikin bersukacita sih, karena kalau nampak grafik bagian tantangan krisis air bersih masa depan langsung teringat duka lara mengharap-harap hujan agar sumur komunal kembali berisi air. Yang paling relevan dengan tema yang diusung acara ini tentu saja adalah grafik tentang permintaan dan penawaran tenaga kerja Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan. 

Pandangan pertama saya tertumbuk di tingkat pendidikan yang kita obok-obok selama setahun: pendidikan dasar. Dulu kalau saya ketemu statistik ini rasanya susah percaya, hari gini siapa sih yang pendidikan terakhirnya cuma SD? Sekarang, statistik itu menjelma menjadi nama-nama yang lebih mudah dipahami, karena saya ketemu sendiri dengan Eko, Endik, dan banyak lagi lainnya yang tidak lanjut ke SMP. Di tahun 2030, diproyeksikan akan ada 59 juta orang seperti mereka, sementara lapangan kerja yang ada hanya untuk 39 juta. Apa jadinya ya 20 juta orang yang mungkin tidak terserap dunia kerja? Penduduk sebanyak itu kalau pas pemilu milih partai yang sama, jumlahnya udah lebih banyak dari pemilih Partai Demokrat di pemilu 2009 lho.

Perhatian saya berikutnya ke tingkat pendidikan saya sendiri: tertiary, dan saya dengan egois merasa boleh berbesar hati karena ternyata sarjana masih akan undersupply di Indonesia. Proyeksi untuk tahun 2030, Indonesia masih akan kekurangan 2 juta sarjana untuk mengisi lapangan kerja. Sarjana aja kurang, apalagi Sarjana-sarjana Terbaik Bangsa (TM), jelas dibutuhkan dong (amin?). 

Mungkin harusnya ini yang saya jawab ke Tika ketika dia tanya apa yang saya dapat dari sesi Indonesia Berkarya. Tapi susah juga euy, di dalam bus transjakarta ngecap ke Tika tentang grafik dan kurva. Plus, itu kan pendukung saja. Saya juga ga yakin ada hadirin lain yang merhatiin grafiknya, wong Ria yang duduk di sebelah saya saja tanya, "Itu grafik apa sih Syhur?" Ketika saya liatin grafik serupa di tablet saya supaya dia ikut terkesima dengan data-data terkemuka, Ria justru menampik kesempatan mencermati grafik-grafik cantik itu.

Tapi memang beda orang, beda pula minatnya. Bahkan beda niat pun sah-sah saja, apalagi mengingat tujuan Indonesia Berkarya memang bukan untuk mengagumi batang-batang diagram, tapi untuk tiga misi utama: jadi wadah diskusi dan berjejaring, jadi wadah kerelawanan untuk para professional menjadi mentor orang-orang kayak alumni PM, dan untuk jadi ..... Untuk apa ya yang ketiga? Saya inget lihat ada tiga, tapi saya ga nyatet apa yang ketiga, dan sepertinya sih ada di file .ppt yang dishare sama Adji, tapi karena saya ga punya akses ke Google Drive tempat .ppt itu diunggah jadi rasanya saya (dan yang lain, kalau ada) yang berminat pengen liat pun jadi lupa kalau tadinya pengen.

Begini memang kalau ngga nyatet, begitu nyoba ngingat-ngingat, gagal. Tapi memang ada tiga distraksi yang lebih OK dari nyatet sih. Distraksi pertama, gambar grafik warna-warni tentang trending topics dunia HR global dan gambar ilustrasi yang keren, diambil dari cover reportnya BCG-WFPMA tentang pengembangan SDM. 

Distraksi yang kedua lebih umum dinikmati juga sama teman-teman yang bukan iconophilia: camilan. Distraksi yang ketiga pun bikin lebih banyak orang ceria dibandingkan yang ilustrasi: camilan. (Camilan perlu mendapat porsi lebih untuk proporsi distraksi karena di setiap pertemuan porsi yang ada biasanya berlebih). 

Bagi yang menjaga berat badan (mungkin untuk mengkompensasi kebanyakan dijamu waktu kunjungan sosial di desa), saya sarankan sih untuk juga menjaga perhatian pas ikut sesi Indonesia Berkarya. Karena kalau menjaga perhatian dan bisa menjawab pas ada tebak-tebak berhadiah, bisa mengelak dari menumpuk lemak (plus dapet hadiahnya). Di sesi tanggal 15 Maret yang lalu, ada yang dapat hadiah buku bagus yang Judulnya "Surat Dari dan Untuk Pemimpin" (siapa ya waktu itu?). Waktu itu sih dia menjanjikan bikin resumenya buku keren itu di milis, jadi kita tunggu aja.

Saya harus bilang saya agak kecewa, karena biar mantengin presentasinya, kalau gaulnya cari penampakan kera yakis (Macaca nigra) ketika di desa, ya ga bisa jawab nama orang di tebak foto yang dikasih. Tapi paling tidak, saya sekarang jadi tau, "O, itu yang namanya Merry Riana," "O itu yang ngarang '9 Summers 10 Autumns' ya."

Di pertemuan berikutnya sih setau saya tidak ada bagi-bagi buku (yaaah), tapi ada bagi-bagi ilmu hasil merangkum buku (yaaay) dan tetap ada berbagai makanan (YAAAAY). Di pertemuan itu, Mas Adam (@Ini_adam) menyajikan presentasi bertajuk "A Practical Guide to Job Hunting" yang menyarikan buku "What Colour Is Your Parachute?

Disebutkan di buku itu, kalau ada lima cara utama sebuah perusahaan/organisasi mencari orang untuk mengisi jabatan di perusahaan itu. Paling sering, mereka mencari orang dari dalam perusahaan itu sendiri (internal), baru setelah itu mereka mencari orang berdasarkan bukti kerjanya (contoh paling gampang adalah di Silicon Valley, tempat programmer yang bikin website sukses lalu diakuisisi sama perusahaan terkemuka), baru dari rujukan, baru pasang iklan, dan terakhir, dari resume yang masuk ke perusahaan tersebut walau tanpa pasang iklan. 

Menariknya, dari sisi pencari kerja, justru sebaliknyalah yang terjadi. Paling banyak upaya pencarian kerja itu dari kirim resume segepok meski tidak ada lowongan, merespon iklan lowongan kerja, baru rujukan, baru dari bukti, baru dari internal. Bagi saya masuk akal sih, perusahaan pilih cara seperti di atas untuk mengisi lowongan, apalagi kalau proses mencari pegawai itu seperti yang digambarkan di satu artikel Washington Post, capek-capek pasang iklan, janjiin wawancara, eh, ga ada yang nongol.

Mismatch antara tenaga kerja dan lowongan pekerjaan yang ada inilah yang membuat adanya talent war: orang yang kemampuannya pas dengan permintaan pasar akan jadi rebutan berbagai perusahaan. Apalagi dengan menurunnya jumlah ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Saya pribadi belum bisa membayangkan jadi rebutan banyak perusahaan, tapi rasa jumawanya mungkin sama kayak kalau di penempatan jadi rebutan murid-murid untuk merangkap mengisi kelas mereka ketika sekolah kosong guru. "Pak, ke kelas enam saja Pak, belajar matematika"--"Pak, torang kelas tiga belajar sama pak guru juga Pak!". Ngartis rasanya, jadi rebutan. Jadi sepertinya sekarang ini saatnya kita mengasah skill di bidang yang jadi passion/renjana kita agar nanti jadi rebutan berbagai perusahaan yang valuenya sejalan sama kita.

Tentang renjana, topik ini sempat didiskusikan juga sebetulnya setelah Alsha/Rara bertanya apakah para profesi para relawan profesional yang datang di siang itu adalah dream job mereka. Tentu tidak, kata sebagian. Tapi diskusi lalu mengarah bahwa perbincangan tentang renjana ini adalah hal yang baru-baru muncul, di generasi mereka hampir tidak terlintas tentang renjana. Kira-kira kalau pakai kutipannya Tante Ligwina Sabtu kemarin, mereka belum sampai tahap unicorn muntah pelangi. 

Tapi renjana juga bukan sesuatu yang mutlak harus diikuti, toh tidak ada di kitab suci juga. Mas Adam juga menambahkan, kalau semua orang mengikuti renjananya, mungkin kita tidak akan pernah pegang iPod dan iPhone dan iPad yang lucu-lucu itu. Bisa jadi tidak pernah pegang karena renjana kita ada di bidang yang kurang basah sehingga iPhone itu jadi barang yang benar-benar mewah, tapi juga karena apabila Steve Jobs mengikuti renjananya, dia mungkin akan jadi biksu untuk menekuni ajaran Buddha alih-alih mengambil alih tampuk pimpinan Apple.

Saya tidak yakin tidak akan ada masalah kalau renjana kita ada di bidang yang tidak basah, tapi kalau tidak basahnya membuat gundah, mungkin perlu diperiksa lagi apa sebetulnya renjana kita. Caranya sebetulnya dengan menggali ke diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan pembantu seperti, what would you do for free? What/Who interests you? What will minimize your regrets? Terakhir, (ini favorit saya:) what riles you? Apa yang membuatmu gusar?

Yang kenal dekat dengan saya akan dengan mudah memberitahu kalau saya gusar pada penggunaan kata "merubah". Tapi di sesi Indonesia Berkarya terakhir, saya lebih gusar karena Indonesia Berkarya ini punya potensi besar yang menggiurkan untuk dimanfaatkan. Bayangkan, jumlah tahun pengalaman kerja para relawan profesional yang sudah datang di sesi-sesi ini bisa jadi lebih banyak daripada jumlah tahun penjajahan Indonesia oleh VOC. Dari bidang yang beragam pula, mulai dari yang berwirausaha sampai ke yang meniti karir di DHL ke Holcim sampai profesional yang sekarang berkarir di Indofood, Mandiri, PWC, Medco, dll. 

Kegusaran saya tentu bukan karena daftar afiliasi para relawan yang kalau disebut satu-satu mungkin menyaingi daftar emiten saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Kegusaran saya lebih disebabkan ke daya imajinasi saya yang rendah yang menyulitkan saya membayangkan format yang paling optimal untuk mengembangkan komunitas Indonesia Berkarya agar manfaatnya dirasa oleh semua. Idealnya sih saya ingin ada lebih banyak teman-teman yang ikut bergabung dan urun gagasan. The more the merrier. 

Apalagi karena Indonesia Berkarya adalah forum terbuka yang tidak dikhususkan untuk alumni PM. Kita bisa juga mengundang teman di luar lingkaran IM yang mungkin bisa dipetik/memetik manfaat dari jejaringnya juga. Manfaat yang paling gampang yang bisa dipetik tentu adalah energi positif dari interaksi dengan orang keren. Kurang keren apa lagi, saya di sesi Maret bisa mendengarkan cerita Mario dan Adji waktu sesi kecil. Saya juga kembali tersadar kalau lingkaran IM itu isinya orang-orang keren, cuma kadang kita terlalu dekat dan perspektifnya jadi terdistorsi: alih-alih menghargai kerja keras rekan kita kita lebih fokus sama karakteristik remeh-temeh mereka. 

Selain meremehkan kerja kerasnya teman-teman kita, distorsi perspektif ini sangat mungkin bikin kita susah mengenali potensi teman-teman kita. Padahal kalau kita tahu potensinya kan bisa kita jadiin mentor/tutor. Yang kadang kita tahu potensinya aja kadang ga sempet dicuri ilmunya (Oktober 2012: berpikir bisa belajar Bahasa Tiongkok sama Lilli karena sepenempatan; Mei 2014: tetep ga tau sama sekali Bahasa Tiongkok), apalagi kalau kita ga tau potensi teman kita. Tentang pentingnya mentor ini, tidak cuma saya sendiri sih yang berpikir seperti ini, ada juga Maeve Richard, yang bilang "Mentors can have a large positive impact on careers."

Di sini rasanya peluang pemanfaatan Indonesia Berkarya buat kita. Karena ada banyak profesional dari berbagai industri, jadi terlibat di Indonesia Berkarya berarti kesempatan untuk mengenal lebih banyak orang yang siapa tahu kalau cocok nantinya bisa dijadikan mentor untuk jadi panutan. Tapi harus diingat juga sih, kalau kita minta orang jadi mentor kita, kita juga harus siap mengerahkan usaha jadi mentee. 

Ngomong sih gampang, bakal mengerahkan usaha jadi mentee. Tapi kalau dengar cerita unik sebagian PM II yang dibimbing seorang mentor fenomenal, membuat saya bertanya-tanya, kalau saya jadi mentee, bisa tidak ya saya mengimbangi mentornya?

Untuk sekarang sih, saya lihat-lihat dulu (sambil menunggu) ada sesi Indonesia Berkarya lagi. Nanti kalau ada lagi, datang yuk!

Salam,
Masyhur

Friday, October 16, 2015

Traffic Tribulation, Jakarta Edition

If you're looking for a way to maintain your sanity while living in Jakarta, I have an advice: don't.

Do your utmost fucking best to not live here. Do your damnedest to earn your living elsewhere. Do so, now.

Because Jakarta turns your heart hard. Jakarta makes swear words easy to utter, and even easier to regularly mutter. I don't need to fucking swear in this sentence―but I do, as Jakarta beckons me to.

I apologize for my being uncouth, but it is terribly hard to resist when you are subjected to the vagaries of the Jakarta's traffic, daily.

Case in point.
So maybe I have an advice after all: avoid commuting. Cars, buses, trains, motorcycle, anything.

Cars are terrible. Everybody complains about the traffic, but have you noticed that car owners often complain the loudest? For many, I guess they can no longer register irony.

Cars are horrible. They are comfortable and convenient, and they are so at the expense of your sensibility. How else can you encase yourself in a bubble of privilege (toll roads), entitlement (I can neither impute qualms  nor compunction to car drivers using bus lanes, clogging the way for many more bus riders), and self-righteousness ("Motor riders these days, God!")?

Buses are no better. If you have ever used a kopaja, I am sure at one point you must have questioned whether along with the money you tendered, you agreed to also surrender your safety, hope, and life.

Step to enter a bus, and you enter a battle. The musical chair is a game that never ends in buses―with music that only erratically plays. Winning will give your legs respite, but it is good only for a short while because you will be tortured by something else: guilt.

With nearly 13 million people living, working in Jakarta, God forbid your bus will be empty with enough seats for everybody. So you may have to grapple with questions about your own self-image of a decent person when you find it awfully hard to give up your seat to a nice-looking young woman standing on the aisle. Or a late 50-something year old man. You will wonder, to what end does courtesy extend? Is it ever justified for one―for me―to take a seat in a bus?

God forbid your metromini will be empty, because you'll then have to come up with a strategy. Sit up front, risk your eardrum ruptured with the loud buzzing of its old engine. Sit in the middle, be ready to be annoyed by the street buskers playing their off-key tunes. Sit on the back, be ready to receive extra harassment when said buskers did not get any coin from passengers in the front and middle. And many won't even play music, they would just menacingly insinuate criminal counterfactuals, "Uang dua ribu tidak dibawa mati, bapak-ibu yang bajunya rapi. Daripada kami kembali ke jalan kriminal, mencopet dan mencuri."

You must be insane if you resort to commute by train. Packed like sardines in a tin, getting your clothes wrinkled would be the least of your worries when you get off the train. If you are a novice rider, most likely you will learn the hard way that you have to literally wrestle your way out of the carriage if you don't want to miss your stop. Which will happen. And it will totally suck, because train stations are few and far between in Jakarta.

On the other hand, it's not like there's any guarantee that the train will arrive on schedule. Signal troubles are common, and they will make multiple trains stuck just before entering Manggarai interchange station. And when that happen, I can guarantee you that people will start grumbling, poisoning the air within the carriage with their negativity. Worst of all, you're stuck with them until the trouble is resolved and you can get off.

Getting off the train is not the end of the journey, though. Because hordes of ojek will greet you at the exit gate. And if you're already late (see signal trouble above) it's very tempting to kick yourself for not having the foresight to just order an online ojek in the first place.

When that happens, give it time. If you're thinking clearly you will remember that there are good reasons for not doing so. You can't do anything else when you are riding with an ojek, you'll need your hand to grip something so that you won't get thrown off the seat. You'll need to provide navigation. You'll sweat and it will be unsightly and you will reek of sun and road. And above all, you'll wonder why you consented to let Jakarta's daily commute debase and dehumanize you.

This city is not fit for human habitation.

I know, call me irate. I can't help it. Jakarta fills me with rage.