Friday, August 26, 2016

Hentian

Saya melambaikan tangan di pinggir jalan. Satu taksi berwarna putih menyalakan sen kiri dan mendekat. Saya masuk. Sopir taksi mengucap, "Alhamdulillah."

Hampir tidak pernah saya dapati reaksi pertama orang ketika bertemu saya adalah ungkapan syukur.

Saya berikan arah ke Salemba, lalu membenamkan diri ke jok kursi. Bapak sopir taksi mengiyakan, dan kami meluncur. Sembari menuju daerah Pasar Senen, bapak sopir berkata bahwa saya adalah penumpang terakhirnya. Suaranya letih.

Dugaan pertama saya, taksi ini adalah satu dari sekian banyak taksi yang terkena dampak persaingan dengan Uber dan aplikasi serupa. Mungkin dia kesulitan mencari penumpang.

Dugaan kedua saya, dia separuh berharap bahwa penumpang yang dia ambil tidak akan membawanya ke luar kota, mungkin karena dia sudah mengarah menuju pul.

Dugaan ketiga saya, dia hampir belum memenuhi setoran di penghujung sifnya, dan bersyukur ongkos saya akan bisa menggenapinya.

Ketiga dugaan saya ternyata salah semua. Terhitung hari itu, ia tidak akan lagi menjadi sopir taksi. Paling tidak untuk sementara waktu. Lepas mengantar saya, ia akan kembali ke pul, lalu menyerahkan kembali taksinya. Ia sudah belasan hari tidak menarik taksi, dan hutang setorannya menumpuk. Selama itu pula taksinya absen dari pul, dan kini pihak manajemen menuntut dia untuk mengembalikan taksinya.

"Supervisor saya baik Pak orangnya. Dia bilang, saya tidak perlu bayar dendanya, tapi hanya setorannya saja." Tapi tetap saja, uang dari mana?

Kami berhenti, menunggu palang kereta api naik kembali di Pasar Senen. Dari spion terlihat matanya merembang merah.

Selama belasan hari, ia sudah menghabiskan waktunya di rumah sakit. Anaknya yang kecil menjadi korban tabrak lari, dan ia menungguinya di sana. Biaya rumah sakit tidak sedikit, meski sudah dikurangi BPJS Kesehatan.

Ketika saya memberanikan diri bertanya apakah si ibu tidak ada untuk ikut menjaga anaknya, ia menjawab bahwa mendiang istrinya belum genap empat puluh hari meninggal dunia. Anak-anaknya yang lebih tua ikut menjaga, tapi lalu segera diminta kembali bekerja oleh bos mereka.

Ia kembali mengucek matanya.

Pascaoperasi, anaknya akan bergantung pada kursi roda dan tidak akan lagi bisa berlari. Ia kasihan, dan berkata kalau di benaknya sudah terlintas macam-macam. Ia ulangi sekali lagi, bahwa ia sudah berpikir macam-macam, sebelum melanjutkan dengan kalimat-kalimat rumpang tentang mencuri dan bunuh diri.

Tapi ia masih bisa menghentikan taksi untuk saya tumpangi. Syukur, pikirnya, ada yang menghentikan dia.

Kami tiba di Salemba. Saya turun dengan masygul.