Wednesday, November 27, 2019

Adoption

When Ben Olken gave a lecture for the Indonesia Project this summer, Rivan asked if research evidence ever gets translated to action[1]. He pointed at the findings from the Targeting RCT outlined in the lecture, and he said that the Indonesian government seemed to have not been doing anything in response to the study.

I don't fully agree with his characterization of the policy response. (And from another context, there's a new working paper by Jonas Hjort et al. which provides a hopeful picture on this question: they show officials in Brazil were more likely to adopt a policy after being informed of research.)

But I got reminded of Rivan's question again when today I stumble upon this interview of Shengwu Li in Logic Magazine. Excerpts:
Li: So in 1961 Vickrey writes a paper where he proposes a new kind of auction that combines the benefits of both formats. … Here’s how it works: everybody bids, the highest bidder wins, and then the winner pays the second-highest bid. Thus the second-price auction was born. 
Logic: What happens to Vickrey’s idea? 
Li: Mostly it gets ignored. No real auctioneers adopt this way of selling things. Then, about a half-century later, in the early 2000s, Google picks it up and dusts it off as they’re figuring out how to sell ads.
Half a century! Now that's a really long time for research adoption.

------------------------------------------------------------
[1] --not his exact words but it was along this line. This phrasing is lifted shamelessly from an old J-PAL tagline.

Friday, November 8, 2019

Nobel, Cumi, dan Harapan

Bahwa Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer menang Nobel Ekonomi 2019, ini kita semua tahu. Saya sendiri belum sepenuhnya menginternalisasikan apa arti penghargaan ini, tapi di hari itu menarik sekali membaca tanggapan orang-orang.

Yang paling pertama adalah kawan sekantor dulu di Salemba, yang subuh-subuh berkabar bahwa ia terharu. Ini membuat saya ikut terharu juga, karena ia mengabari kami. (Setelahnya saya kembali tidur karena masih subuh, mencontoh teladan Abhijit haha). Sepanjang hari beberapa mantan kolega yang lain menge-tweet respon bahagia mereka tentang kabar ini. Ini membuat jagad twitter sejenak menjadi sedikit lebih lega setelah ketegangan unjuk rasa minggu-minggu sebelumnya. Sentimen bahagia senada datang dari ekonom dan staf kantor IPA, dan membaca respons bahagia mereka membuat saya ikut bahagia.

Ilustrasi Citron / CC-BY-SA-3.0
Tentunya tidak semua respon senada. Sebagian sumir: ada satu artikel yang bahkan menyetarakan jaringan penelitian J-PAL seperti cumi-cumi vampir. Saya paham sih artikelnya ingin menakut-nakuti pembacanya karena cumi-cumi berkerabat dengan gurita, sesuatu yang menggurita konotasinya buruk, dan vampir yang mengisap darah konotasinya buruk juga. Tapi ketika saya tahu cumi-cumi vampir berbeda dengan gurita dan tidak mengisap darah, kiasannya ga jalan bro. Ini adalah contoh teknik menulis yang harus dihindari menurut Agustinus Wibowo.

Saya lihat juga ada respons dari Deirdre McCloskey—saya suka bukunya tentang teknik menulis yang jelas jadi saya tertarik melihat tanggapan ybs. Sayangnya tanggapannya menurut saya cetek, glib. Ia menyitir satu evaluasi acak, berargumentasi bahwa karena satu evaluasi ini tidak ada kontribusi ilmiahnya, maka semua evaluasi acak di dunia ini ngga mungkin ada kontribusi ilmiahnya. Saya membacanya langsung merasa sayang kenapa beliau nggebyah uyah.

Namun ini tidak berarti bahwa tidak ada kritik yang valid. Menurut saya observasinya Nathan Nunn dari seminar Innis penting untuk diperhatikan.
[C]onsider the Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL). In terms of involving those from developing countries in academic research, the organization is as inclusive as it gets. Despite this, as of the time this article is being written, according to their website, of J-PAL’s network of 170 affiliated professors from 58 Universities, there is only one University that is not from a country that is either European or a European offshoot. This is the Indian Institute of Management. They have one affiliate from an African University, but this is the University of Cape Town, located in South Africa. 
Ini adalah persoalan besar yang masih harus diusahakan perbaikannya. (Tapi yang menarik, Nunn mengkategorikan Brazil dan Chile setara dengan Eropa?)

Terlepas dari dialektika evaluasi acak, pengumuman hadiah Nobel tahun ini membuat saya menilik ulang makalah-makalah ketiga pemenang ini (halah bahasa gue, dialektika). Tentu saja rangkuman dari David Evans (untuk Kremer, Duflo) sangat membantu untuk memilah mana yang paling menarik untuk dibaca penuh. Tulisan Oriana Bandeira ini juga mengarahkan saya ke beberapa makalah mereka yang belum pernah saya baca sebelumnya.

Dua makalah mereka yang lalu saya baca dan menarik perhatian saya adalah tentang Massive Open Online Courses/MOOC dan growth theory. Di makalah yang berjudul (Dis)Organization and Success in an Economics MOOC (Banerjee and Duflo, AER: P&P 2014), mereka mengulas kuliah online mereka MITx 14.73x: The Challenges of Global Poverty. Statistik yang menarik dari kuliah ini adalah banyak peserta yang rontok: 42,314 students registered for the course, 26,140 ever viewed any page (they are usually referred to as the “starters”), and 12,947 were ever “active,” in that they attempted any assignment or finger exercise (even if they got a zero on the that assignment). Of those, 4,597 earned a certificate. The retention rate is thus 11 percent of registrants, 18 percent of starters, and 36 percent of active participants. Saya dulu juga ambil kelas ini waktu bekerja di Salemba, dan jadi tahu bahwa "sekadar" dapat sertifikat ketika khatam kuliah ini sudah membuat saya ada di kelompok 10% teratas seluruh pendaftarnya!

Makalah kedua berjudul Growth Theory through the Lens of Development Economics (Banerjee and Duflo, Handbook of Economic Growth 2005). Makalah ini membuat saya penasaran apakah ada makalah serupa yang mengulas rekam jejak pertumbuhan ekonomi Indonesia dari lensa growth theory secara menyeluruh. Porsi kuliah ekonomi makro di sini tentunya lebih banyak membahas sejarah pertumbuhan ekonomi AS. Sayangnya, fokus ini membuat pemahaman saya yang semenjana tercerabut dari konteks Indonesia. Bisa jadi ini adalah efek samping sejarah akademik saya yang tidak pernah mengambil mata kuliah ekonomi di Indonesia.

Selain dua makalah di atas, daftar singkat makalah mereka yang lalu juga saya baca adalah sbb:


Sebagian makalah mereka di atas mungkin terkesan bacaan berat (karena jenisnya makalah, tapi daftar singkat di atas sih sebetulnya ngga karena saya lagi ngga kuat baca yang berat-berat). Berita bagusnya, penghargaan Nobel tahun ini untuk Banerjee dan Duflo kebetulan (?) berdekatan dengan peluncuran buku baru mereka untuk pembaca awam: Good Economics for Hard Times.

Untuk menyokong peluncuran buku ini, mereka menulis dua kolom op-ed di koran The New York Times dan The Guardian. Di New York Times, mereka menulis bahwa Economic Incentives Don’t Always Do What We Want Them To, yang saya kutip sebagian di bawah:
If it is not financial incentives, what else might people care about? The answer is something we know in our guts: status, dignity, social connections. Chief executives and top athletes are driven by the desire to win and be the best. The poor will walk away from social benefits if they come with being treated like a criminal. And among the middle class, the fear of losing their sense of who they are and their status in the local community can be an extraordinarily paralyzing force.
Sementara itu di The Guardian, kolom mereka adalah sebuah seruan: If we’re serious about changing the world, we need a better kind of economics to do it. Sebagian kutipan:
Economists have a tendency to adopt a notion of wellbeing that is often too narrow – some version of income or material consumption. Yet we know in our guts that a fulfilling life needs much more than that: the respect of the community, the comforts of family and friends, dignity, lightness, pleasure. The focus on income alone is not just a convenient shortcut – it is a distorting lens that has often led the smartest economists down the wrong path, and policymakers to the wrong decisions. This is a big part of what persuades so many of us that the whole world is waiting at the door to steal our well-paying jobs. It is what has led to a single-minded focus on restoring the western nations to some glorious past of rapid economic growth. It is also what makes the trade-off between the growth of the economy and the survival of the planet seem so stark.
Di Indonesia, Tirto memberitakan penghargaan ini di satu artikel yang titik beratnya ada di studinya Duflo tentang SD Inpres, lalu langsung terjun ke ulasan sengketa evaluasi acak di kalangan akademisi. Saya lebih suka kolomnya Bu Vivi Alatas di Tempo, Nobel Ekonomi untuk Sebuah Gerakan.

Saya suka kolomnya Bu Vivi karena beliau menulis opini yang hanya bisa ditulis oleh beliau seorang di Indonesia: sebagai mahasiswa yang hadir langsung di seminarnya Duflo dan sebagai kolaborator Banerjee di berbagai studi. Kesan yang ditangkap Freida serupa, untuk alasan yang berbeda: ekonom wanita tidak banyak jumlahnya, dan Bu Vivi adalah satu di antaranya. Selain alasan-alasan di atas, kolom ini juga ditulis dengan apik: kalimat pamungkasnya kuat. Saya tidak bisa menandinginya:
Nobel adalah pengakuan akan kontribusi dan kerja tekun mereka dalam menanggulangi kemiskinan. Ketika jumpa wartawan setelah pengumuman Nobel itu, ketiganya berharap apa yang mereka lakukan sebagai peneliti ataupun aktivis terus berjalan.  
Kremer berharap momentum ini memberikan semangat kepada para peneliti masalah kemiskinan untuk terus berkarya. Duflo, sebagai perempuan kedua penerima Hadiah Nobel Ekonomi, ingin apa yang ia raih menjadi inspirasi bagi perempuan untuk sukses, diakui, dan terus berkarya. Adapun Banerjee berharap momentum ini bisa membuka pintu gerakan penanggulangan kemiskinan berbasis bukti melalui kebijakan lebih lebar. 
Harapan mereka adalah harapan kita juga.