Saturday, September 13, 2014

On reading

"I've heard of people like you," I said. 

I was with Patrya, and we were two of the last few people who still stayed at the office, waiting for a scheduled call from Boston. The call was moved to an hour later than its usual schedule, so we had pretty much run out of ideas how to kill time until then. I guess that's why he asked me then for a recommendation for a fiction to read. 

Giving book recommendation to someone is a tricky business. You need to know his taste of reading, because otherwise you'll only be forcing your preference on him—and that's exactly what I did. I rattled off some of my favorites books and series, and if you know me, you won't be much surprised that fantasy is the prevailing genre. That was before I caught myself and asked him what fiction he liked reading. That was when he answered he don't really read fiction at all. 

"I've heard of people like you," I responded. "So how do you grow up?"
"Well, I guess," he said. 

It was such an outlandish notion that it took me some time to wrap my head around it. 

Book, stories, and fiction were such a large part of my upbringing that sometimes it's hard for me to imagine other people not having the same experience. How does one learn camaraderie without reading Enid Blyton's Five? How does one marvel at technology without having Doraemon whets one's appetite? How does one grow up without being enchanted by the wizardry (and learn about rewards for bravery) from the Harry Potter universe(1)?.

No, I did not grow up with a gang of friends who were as into books as I was. But as with my students in Banggai, I had always assumed it was a question of access—there weren't many public libraries(2) and most of my friends' parents were not as appreciative of literature as my parents were. 

***
In retrospect, though, I guess a lot of people think the same way when they make my acquaintance. I-ve-heard-of-people-like-you. Especially in Batui 5.  

"Kalau Pak Masyhur dulu bebaca terus ya Bu," my former students quipped to Ade, who dutifully passed along that comment to me every time we met. 

Well, I hope at least my habit encouraged them to pick up reading even after I left. 

"Pak Masyhur, pagi bebaca, siang bebaca, malam juga masih bebaca. Te capek, Pak?" said Bu Wati, who often passed my porch when she was walking Ian around. What can I say? It's the cornerstone of our civilization.

And hey, there was blessed little else to do after all. 

***
And with little else to do to wait, I observed Patrya started to sample Ayn Rand. Bereft of a recommendation from me that intrigued him, he tried exploring households names. 

I'll just crack open a Brandon Sanderson.

---------------------------
(1) Pair that to the fact that my reaction hearing Lee's crush has never read Harry Potter ("SHE HAS NEVER READ HARRY POTTER??") was for all purpose, identical to Karmen's and Kirana's you can see why growing up without Harry Potter was inconceivable. 

(2) the few book rentals that were around did have those ghastly religious comic book depicting scenes and stories of tortures in hell for sinners. I read those too, of course. How else do you develop an appreciation of propaganda based on fiction? I was too small to understand political propaganda. 

Monday, September 1, 2014

Tentang asal nama mata angin dan Masungkang

Saya tidak akan pernah lupa dengan Masungkang.

Tidak hanya karena lokasinya bertetanggaan dengan desa penempatan saya selama setahun di Banggai, tapi juga karena kali pertama saya ke sana bersama teman-teman pengajar muda yang lain, perjalanannya tidak bisa tidak dikenang[1].

Jalannya terjal, tentu. Berliku, sudah pasti. Berdebu? Kami hanya bersyukur waktu itu kemarau, daripada motor terbenam dalam lumpur?

Hamparan sawah berganti kelapa sawit setinggi dua-tiga meter―penanda sawit ini belum lama ditanam. Hampir tidak ada kanopi hutan yang melindungi jalan dari sengatan terik matahari sepanjang perjalanan belasan kilometer dari jalan poros―jauh berbeda dengan jalan ke desa saya jika melewati Ondo-ondolu, saya bisa mendapati biawak, burung aneka warna, kera yakis, dan banyak lagi.

Ketika kami masuk ke desa itu, deretan rumah dengan atribut khas Bali menyambut. Tempat-tempat sesaji di depan rumah mempertunjukkan persembahan mereka hari itu. Tapi tujuan kami adalah SDN Inpres Batui 4 Masungkang, sekolah yang dipimpin Pak Ikbal Laamu yang mengundang kami bertandang untuk berkenalan dengan murid-murid di sana.

Jujur saja, kami tidak mempersiapkan materi spesifik, pun tidak mengantisipasi bahwa Pak Ikbal secara de facto menghentikan KBM hari itu agar semua muridnya kebagian "diajar" oleh pengajar muda. 70-an murid lintas jenjang, berkumpul sesak dalam satu ruangan―uh oh.

Hanya Mbak Yanti yang bisa pasang ekspresi "Hore banyak anak!" dan "Aduh, peraga yang disiapkan ada sama Ika yang belum sampai karena bannya bocor!" di waktu bersamaan. Dan tetap girang.
Untungnya mereka punya peta, jadi kami bisa memulai dengan tebak-tebakan lokasi mereka berada, yang selalu menggelitik karena tebakan-tebakan pertama mereka meleset jauh dari Pulau Sulawesi. Kami pun bisa bercerita asal daerah kami dari Jawa dan Kalimantan, dan asal orang tua mereka yang kebanyakan transmigran dari Pulau Bali.

Hore! Ada yang menebak betu--Nak, itu kenapa kamu tunjuk Teluk Tomini? Kita belum tenggelam karena pemanasan global kok.
Tentu saja, mencoba memahami peta sangatlah sulit tanpa paham arah mata angin. Maka kami lempar panggung pada Mbak Yanti, yang lalu mengajari mereka arah mata angin, dengan nyanyian[2].

Mata angin adalah jarum pedoman
Garis yang menunjukkan arah suatu tempat
Timur, tenggara, selatan, barat daya
Barat, barat laut, utara, timur laut
Mari kawan belajar petunjuk arah
Mata angin yang harus kita tahu

Bernyanyi bersama Ibu Yanti, dalam hitungan ketiga, yak! (kontribusi saya adalah nulis lirik lagunya di papan tulis)

***

Kini hampir satu tahun berselang sejak kami ada di Masungkang, perhatian saya tertumbuk pada sebuah artikel di majalah Tempo edisi 25 Agustus 2014 tentang akar kata-kata yang kita gunakan untuk menyebutkan nama-nama arah angin.

Tahukah Anda mengapa kita menyebut utara dengan kata utara dan selatan untuk arah yang sebaliknya?

Utara berasal dari kata serupa di bahasa Sansekerta. Kita menjiplak saja, karena memang tak ada salahnya. Tapi arah utara dulu juga disebut dengan kata 'laut' karena di era Sriwijaya, dari Palembang ke utara berarti ke laut.

Barat pun berasal dari kata serupa di bahasa Sansekerta. Kita sudah nyaman dengan kata serapan.

Timur, anehnya diserap dari bahasa Melayu. Tak tahulah kenapa.

Selatan juga berasal dari bahasa Melayu, namun dari era setelah pusat Sriwijaya berpindah ke Malaka. Dari Malaka, arah sebaliknya dari utara adalah menuju Selat Malaka. Tidak aneh kalau arah ini lalu disebut selatan.

Bagaimana dengan arah antaranya?

Timur laut dan barat laut adalah peninggalan era Sriwijaya Palembang lagi. Antara timur dan utara sudah jelas asal-usulnya: timur+laut(utara). Begitupun antara barat dan utara: barat+laut(utara).

Meskipun demikian, ada juga alternatif akar kalimat yang lain. Barat laut bisa merujuk arah yang harus dituju dari Malaka untuk menuju lautan Samudera India. Sementara itu, usai lewat Singapura dari arah Malaka, timur laut adalah arah yang harus dituju untuk menuju Laut Cina Selatan.

Untuk menjelaskan barat daya, kita harus kembali ke Palembang di era Sriwijaya. Waktu itu, lawan kata laut (utara) adalah daya yang berarti daratan yang ada di arah selatan. Jelas sudah, antara barat dan selatan dirujuk dengan barat daya.

Seharusnya pun antara timur dan selatan kita sebut dengan timur daya, tapi entah kenapa justru kita punya kata tenggara.

Sampai di sini artikel Jennifer Lindsay di Tempo tersebut tidak lagi memuaskan. Satu hipotesis yang ia ajukan adalah tenggara berasal dari kata bahasa Jawa tengger, yang berarti luas. Tapi ini kurang meyakinkan sih menurut saya.

Tapi saya tetap suka dengan artikelnya yang membuat saya juga tahu bahwa asal-usul kata orientasi adalah orient yang berarti timur. Ini karena dulu di zaman pertengahan, arah atas untuk peta adalah arah timur. Orientasi, mencari arah, sama juga dengan mencari arah timur.

Pengetahuan baru, dengan bonus nostalgia deng an anak-anak di tempat saya pernah bertugas menjadi pengajar muda, bagaimana saya mau tak suka?

----------------------------
[1] Apalagi habis itu kami pulang pake berantem--entah hal remeh apa yang kami berantemkan waktu itu tapi pokoknya seru deh!
[2] Jelas bukan keahlian saya, ngajar nyanyi.