Monday, March 13, 2017

Thinking Is Hard

Gambar dari Buster Benson.
Di tulisan sebelumnya tentang Bumi yang bulat pepat, saya merespon teman saya yang mengagih video konspirasi bentuk bumi. Ketika menulis tanggapan awalnya, saya sadar akan dua hal. Yang pertama, saya harus menjadi persuasif karena menyajikan bantahan faktual saja tidak cukup. Yang kedua, menulis persuasif itu tidak mudah.

Saya punya pengalaman satu tahun untuk poin pertama. Ketika saya mengajar di Banggai, seorang rekan guru saya keranjingan teori konspirasi. Segala macam argumentasi wahyudi-dajjal-illuminati jadi pokok bahasan di jam-jam istirahat. Terkadang saya mendebat balik dengan data dan fakta, tapi tak sekali pun saya sukses membuat si bapak ini berubah pikiran.

Dari pengalaman ini, saya paham bahwa seseorang percaya berita bohong dan teori konspirasi bukan karena kurang pengetahuan. Benak mereka bukan bejana kosong yang menunggu untuk dituangi pengetahuan. Sebaliknya, teori konspirasi ini terpatri di benak mereka karena narasinya memikat emosi dan imajinasi. Mendebat berarti membuat teori konspirasi ini makin sering dibicarakan, dan makin terpatri di pikiran. Menyadari hal ini berarti menyadari bahwa mengubah pandangan orang itu sulit, dan caranya harus dipikirkan masak-masak.

Respek saya terhadap teman saya yang mengagih video itu membuat saya mencoba menjadi sensitif. Maka ketika saya menulis respon saya, saya mengusahakan agar respon saya tidak diinterpretasikan sebagai upaya menyerang pribadi dia (dan saya toh juga tidak berniat menyerangnya). Saya berusaha mengambil pendekatan yang berbeda dari beberapa bentuk tanggapan atas konspirasi bentuk bumi yang sudah ada—yang nadanya mungkin terkesan mengejek atau bahkan membego-begokan orang.

Macam bapak di Facebook ini yang membego-begokan sopir Grab yang ia tumpangi.
Di sini saya bersepakat dengan Michael Shermer. Ia menulis di Scientific American tentang panduan meyakinkan orang yang tidak mau percaya fakta:
1. Jangan emosian,
2. Bahas isunya, jangan serang orangnya,
3. Simak dan coba jelaskan ulang pandangan lawan bicara dengan akurat,
4. Tunjukkan respek,
5. Sampaikan bahwa kita paham kenapa lawan bicara punya pandangan seperti itu, dan
6. Coba tunjukkan bahwa mengadopsi fakta bukan berarti harus mengubah mazhab hidup mereka.

Namun, untuk poin keenam saya mencoba mengambil langkah berseberangan. Alasan saya, prinsip keenam ini justru sudah dipakai oleh video tersebut yang bilang bentuk Bumi tidak ada efeknya ke keseharian kita. Menurut saya, justru ucapan ini sok-sok menutupi disonansi kognitif yang akan terjadi ke konsekuensi kiblat salat si penonton video. Meminjam pertanyaan Ma’rufin Sudibyo di tulisan Evan, siap tidak mereka salat menghadap (hampir) ke utara di Indonesia saat meyakini Bumi datar? Siap nggak mereka mengubur jasad yang muslim dalam arah hampir barat-timur kala meyakini Bumi datar? Dugaan saya, untuk menghindari disonansi kognitif, orang akan lebih cenderung mempertahankan kiblat yang benar ke arah barat, yang ditentukan ilmuwan dan ulama muslim dengan pedoman bentuk bumi bulat.

Saya akui trik ini kesannya agak murahan. Tapi retorika harus dilawan dengan retorika. Video teori konspirasinya menggugah sekali, tapi kalau kita bisa mengenali mengapa videonya menggugah, kita bisa lebih wawas diri menimbang argumentasi yang disajikan.

Saya beruntung punya banyak pengalaman jadi juri debat yang memaksa saya untuk mendengarkan argumen, bantahan, dan bualan banyak tim debat. Saya dilatih menggunakan kerangka yang logis untuk mengevaluasi bualan-bualan mereka dan memilih argumen serta bantahan pihak yang mana yang mau saya percayai. Jadi, begitu saya wawas akan teknik retorika yang sedang dipakai, saya tetap bisa melihat apakah argumentasinya sesuai dengan logika dan fakta. Kalau teknik retorikanya mumpuni tapi isinya kosong? Saya tinggal bilang, "Ah, bokis lu."

Itu juga yang saya bilang ketika narator konspirasi berkata di awal video, "Ketika ada orang yang mengatakan pada saya bahwa bumi itu datar, saya pikir ini orang ngawur. Saya langsung melakukan riset untuk membantah, sekaligus menyelidiki siapa aktor intelektual yang menyebarkan disinformasi tentang Bumi datar. Ternyata yang saya temukan justru sebaliknya…" "Ah bokis!"

Di teori Aristoteles yang membagi retorika menjadi ethos, pathos, dan logos, kutipan narator di atas adalah contoh pathos. Naratornya memainkan emosi pemirsa dengan menceritakan bahwa ia adalah bagian dari kelompok mereka yang skeptis. I am like you—sementara penganut Bumi datar ini ngawur. Ini tujuannya untuk membangun rasa percaya, dan begitu pemirsanya terhanyut oleh rasa percaya, mereka jadi lebih rentan untuk menelan mentah-mentah argumentasi-argumentasi berikutnya.

(Sesungguhnya teknik ini juga banyak dipakai oleh ulama mualaf yang lalu menjelekkan agama awalnya dia, atau pedande/pendeta yang dulunya Islam lalu menjelek-jelekkan Islam. Kedua-dua jenis ini sama-sama makanan saya di jam istirahat mengajar, jadi selalu kenyang lah. Pada dasarnya sama aja sih semuanya, tapi itu bahasan lain lagi.)

Pada tulisan sebelumnya, saya meminta teman saya untuk menulis. Saya optimis proses sintesa yang panjang untuk menghasilkan tulisan bisa membuatnya menimbang mengapa ia percaya pada argumentasi pembuat video.

Di sisi lain, saya sadar permintaan saya agar teman saya ini menulis kritis bukan permintaan yang mudah. Tidak semua orang terampil menulis, dan melihat rendahnya hasil PISA terakhir kita, sudah jelas bahwa sintesa pengetahuan bukan keterampilan yang biasa diasah di sekolah. Tapi saya percaya kalau kawan saya ini mau meluangkan waktu untuk menulis, diskusinya lalu bisa bergerak maju. Saya berharapnya kalau teman saya menulis, dia mau menggunakan daftar pertanyaan yang disusun Arie Prasetyo yang sudah runtut yang bisa digunakan untuk membangun argumentasi Bumi datar yang logis. Respon-respon yang ada di blognya Arie saat ini sih lebih banyak yang menyedihkan dan tidak menjawab pertanyaan yang ada (mungkin karena yang memberi respon juga sama-sama tidak paham).

Dialog yang tidak berjalan ini juga yang membuat saya kasihan dengan Pak Thomas Djamaluddin. Dari diskusi serupa di LAPAN, saya melihat beliau sudah capek-capek meluangkan waktu menemui perwakilan komunitas Bumi datar, tapi karena mereka tidak bisa mengartikulasikan argumennya dengan jelas, ya ngga nyambung jadinya. Bagaimana lagi menjelaskan edaran mereka yang membantah penjelasan Kepala LAPAN yang teknis menggunakan seruan konspirasi ekonomi?

Entahlah, mungkin anggota komunitas Bumi datar ini sudah merasa bahwa sains kita sudah hilang legitimasinya. Menurut saya, ini yang membuat fakta mental kalau dilempar ke mereka. Sialnya, begitu legitimasi sains hilang di mata mereka, sulit mengembalikannya. Duncan Watts menulis,

Creating legitimacy is hard in part because it is intrinsically self-referential. For example, why should I trust that claims made by scientists? The answer, one would hope, is that scientists are required by their peers to follow the scientific method, which is the most reliable mechanism we have for uncovering facts about the world. But how do I know that the scientific method is reliable, and not just an elaborate hoax perpetrated by scientists? The answer, again, is that we know science works because of all the useful facts it has established about the world. As a scientist I happen to believe this argument, but it is unavoidably self-referential: science is to be trusted because it establishes facts, and facts are to be trusted because they are established by science. 
The self-referentiality is critical, because if I suddenly decide to stop trusting science — both methods and results — there is no easy way for science itself to re-establish that trust. Most discussions about legitimacy end up veering back and forth between the trustworthiness of the outcome (in this case, information) and the trustworthiness of the process that generates the outcome.

Watts pesimis upaya Facebook menandai berita bohong sebagai berita bohong akan berdampak banyak.  Namun menurut saya meski upaya membantah hoax dan teori konspirasi tidak selalu manjur mengubah pandangan penganutnya, ini bisa membuat orang tersebut tidak makin menyebarkan berita hoax itu lagi. Upaya ini bisa memutus siklus.

Bagi para penganutnya, berita bohong dan teori konspirasi ini terpatri karena mudah dipahami, membangkitkan emosi (rasa takut), dan berasal dari sumber yang ia percaya. Ini sebabnya Debunking Handbook mengatakan kita harus menajamkan pesan yang kita sampaikan untuk mematahkan teori konspirasi. Agar pesan kita mudah diingat ada tiga syaratnya:
1. penjelasan kita harus sederhana (jangan terlalu rumit!)
2. bangkitkan emosi tandingan, dan
3. jelaskan bahwa sumber awal tadi tidak boleh mentah-mentah dipercaya.

Dengan begitu penjelasan baru ini bisa mengisi ruang kosong di benak lawan biasa yang muncul ketika teori konspirasi ini dihapus. Jika tidak diisi, teori konspirasi bisa tumbuh lagi di ruang yang sama.

Saya percaya mencegah akan selalu lebih baik daripada mengobati. Untuk kasus ini cara pencegahannya adalah dengan banyak belajar bagaimana menalar argumentasi kita dengan kritis. Saya temukan ada beberapa kelas yang mengajarkan cara bernalar, termasuk di Oxford yang bisa diakses gratis podcastnya, atau di Universitas Washington yang bisa diakses silabusnya.

Panduan saya yang lainnya adalah untuk selalu mengecek apakah ada cacat logika bias kognitif di penalaran saya. Mengambil kategorisasi dari Buster Benson di infografis di awal tulisan ini, ada empat hal yang bisa menyebabkan penalaran kita menjadi bias: kebanjiran informasi, kecenderungan mereka-reka pola, waktu yang terbatas, dan memori yang sempit. Ketika saya sadar atas keterbatasan ini, saya tahu harus mengumpulkan informasi. Maka, saat saya ingin merespon teori konspirasi yang dipercaya teman saya, saya mulai dengan membaca. Saya sarankan Anda juga.

—————————————
Kalau Anda ingin ikut membaca, saya bisa sarankan tautan-tautan di bawah ini:

1. Kenapa Orang Cerdas Pun Bisa Termakan Hoax? - Hujan Tanda Tanya [Video]
https://youtu.be/EUiVtW-45Ss
2. Mereka yang Cerdas tapi Ekstrem - Andre Pramudya (Qureta)
http://www.qureta.com/post/mereka-yang-cerdas-tapi-ekstrem
3. Debunking Handbook - John Cook (Univ. Queensland) and Stephan Lewandowsky (UWA)
https://www.skepticalscience.com/docs/Debunking_Handbook.pdf
4. What Is Motivated Reasoning and How Does It Work? - Dan Kahan (Yale Law School)
http://www.scienceandreligiontoday.com/2011/05/04/what-is-motivated-reasoning-and-how-does-it-work/
5. Calling Bullshit in the Age of Big Data - Silabus University of Washington
http://callingbullshit.org/syllabus.html
6. Rebuilding Legitimacy in a Post-truth Age - Duncan Watts (Microsoft)
https://medium.com/@duncanjwatts/rebuilding-legitimacy-in-a-post-truth-age-2f9af19855a5
7. Critical Reasoning for Beginners - Marienne Talbot (Oxford University)
http://podcasts.ox.ac.uk/series/critical-reasoning-beginners
8. Getting a scientific message across means taking human nature into account - Rose Hendricks (UC San Diego)
https://theconversation.com/getting-a-scientific-message-across-means-taking-human-nature-into-account-70634
9. You’re the fact checker now - Stanford Alumni
https://medium.com/stanford-alumni/youre-the-fact-checker-now-60103eaeaf3a#.dvz8et26l
10. Fake news and the spread of misinformation - Denise-Marie Ordway (Journalist’s Resource dari Shorenstein Center Harvard Kennedy School)
https://journalistsresource.org/studies/society/internet/fake-news-conspiracy-theories-journalism-research
11. Cognitive bias cheat sheet - Buster Benson
https://betterhumans.coach.me/cognitive-bias-cheat-sheet-55a472476b18#.hkf1kn3o7
versi infografis dan ringkasan: https://medium.com/thinking-is-hard/4-conundrums-of-intelligence-2ab78d90740f#.92tvrudrl
12. Why bullshit is no laughing matter - Gordon Pennycook (University Waterloo)
https://aeon.co/ideas/why-bullshit-is-no-laughing-matter
13. This one weird trick will not convince conservatives to fight climate change - David Roberts (Vox)
http://www.vox.com/science-and-health/2016/12/28/14074214/climate-denialism-social
14. How to Convince Someone When Facts Fail - Michael Shermer
https://www.scientificamerican.com/article/how-to-convince-someone-when-facts-fail/
15. Conspiracy theory - RationalWiki
http://rationalwiki.org/wiki/Conspiracy_theory
16. Diskusi dengan kelompok Flat Earth Indonesia - Arie M Prasetyo [Daftar pertanyaan konsekuensi dogma Bumi datar]
https://as3c.wordpress.com/2017/01/15/diskusi-dengan-kelompok-flat-earth-indonesia/
17. Why Facts Don't Change Our Minds -  Elizabeth Kolbert
http://www.newyorker.com/magazine/2017/02/27/why-facts-dont-change-our-minds
18. Livetweet dari konferensi Fake News di Harvard - Herman Saksono -
https://twitter.com/hermansaksono/status/832769428768960513

Tuesday, March 7, 2017

Bulat Pepat

Akhir tahun lalu, saya merasa tersanjung oleh seorang teman yang gigih bertanya tentang bentuk Bumi ke saya. Rasanya ia menganggap saya pakar. Sebetulnya, ini langkah yang bagus ditiru: selalu tanya ke pakarnya kalau ada banjir informasi yang simpang-siur.

Tapi kalau kita tidak bisa menemukan pakarnya (atau mungkin mereka sibuk), apa yang bisa kita lakukan? Menurut saya, ketika kita kena banjir informasi, masing-masing kita harus bisa jadi jurnalis dan editor. Dari membaca buku Blur-nya Bill Kovach, saya menemukan tiga pertanyaan yang bisa dipakai jadi pegangan memilah informasi: 1. Siapa dan apa sumbernya, dan kenapa mereka bisa dipercaya? 2. Apa buktinya? 3. Apa penjelasan alternatifnya?

Dalam konteks video tendensius konspirasi bentuk bumi itu, pertama-tama saya sangsi dengan kredibilitasnya yang membuat videonya. Akunnya anonim, dan ketika saya telusuri blog yang ada di profilnya, isinya cuma link ke kanal YouTube yang sama. Berputar-putar di situ saja, tanpa informasi tambahan siapa pembuatnya.

Maka saya cari informasi yang lain, dan saya lalu menemukan ada Eric Dubay yang mengarang buku tentang Bumi yang datar. Karena Eric ini juga pentolan komunitas Bumi datar, maka saya lalu menelusuri siapa dia. Yang saya temukan, dia menyebut dirinya adalah seorang guru yoga dari Amerika yang tinggal di Thailand.

Saya rasa kita bisa sepakat kalau guru yoga bukan sumber yang kredibel tentang geometri, teknologi, atau astronomi. Yang harus diperhatikan juga adalah, apa motif dia menyebarluaskan propaganda ini? Sejak saya membaca artikel di Tirto yang menunjukkan bahwa bisnis berita palsu ini untungnya bukan recehan, saya merasa motif mereka yang anonim makin patut dipertanyakan. Teman saya yang bertanya ini awalnya menyebutkan bahwa si pembuat video adalah pengusaha yang tidak lagi perlu cari uang—tapi ini klaim yang sanadnya tidak jelas juga. Kita pun harus selalu ingat bahwa untung bentuknya tidak harus berupa uang. (Misalnya, Untung bentuknya angsa.)

Jadi, selalu telusuri kredibilitas sumber informasi. Di sisi lain, lalu apakah misalnya ada alumni astronomi ITB yang membuat video serupa, kita harus langsung percaya? Tidak juga. Janganlah kita silau dengan CV siapa pun. Kata para pendiri Royal Society of London, nullius in verba. Take nobody’s word for it. Mari kita bereksperimen sendiri.

Dengan teman saya tadi, saya merujuknya ke pelajaran IPA waktu SD. Di buku-buku pelajaran, bukti Bumi bulat yang paling sering dirujuk adalah kapal dari kejauhan muncul tiangnya dulu, baru bodinya. Karena Jakarta lokasinya tidak jauh dari pantai, ini sebetulnya bukan hal yang sulit untuk dicoba sendiri. Seandainya saya tinggal dekat Majene di Sulawesi, saya penasaran ingin menyaksikan Sandeq race dengan mata kepala sendiri sekaligus observasi hilangnya kapal. Opsi lain tentu saja adalah pergi ke Lembata di Nusa Tenggara. Di sana, para warga tekun memindai cakrawala, mencari tanda-tanda ikan paus untuk diburu—mungkin sama tekunnya dengan para bajak laut zaman dahulu yang saling menyahut, “Hull down!

Teriakan "Two ships, hull down!" ngga dramatis memang kalau targetnya kapal kargo modern.
Gambar dari civilwartalk.com.
Tapi karena pergi ke Sulawesi tidak murah juga, yang penting dipegang adalah prinsipnya, yaitu gunakan langkah-langkah metode ilmiah. Mulai dari (1) pengamatan, lalu (2) bentuk hipotesis untuk menghasilkan (3) prediksi. Lanjutkan dengan (4) eksperimen, sehingga kita bisa melakukan (1) pengamatan, untuk menajamkan (2) hipotesis dan menghasilkan (3) prediksi baru untuk diuji dengan (4) eksperimen, dan seterusnya. Ini bukan metode baru, toh ini juga yang dipakai ilmuwan zaman dahulu untuk meninggalkan pandangan geosentris ke heliosentris.

Di sini kita menemui tantangan baru. Eksperimen bisa mahal, dan eksperimen bisa lama. Bagaimana mengatasinya? Membaca hasil pengamatan mereka yang sudah pernah melakukannya. Untuk pengamatan tentang bentuk Bumi, kita bisa merunut sejarah sains untuk hasil pengamatan mereka yang pernah bereksperimen dan mencatat pengamatan mereka. Sains kita panjang sejarahnya tentang penyelidikan bentuk Bumi, dari Erastothenes sampai Abu Rayhan Biruni. Berbekal pengetahuan bentuk bulat Bumi, mereka juga menaksir panjang jari-jari Bumi. Dari pengetahuan yang sama, para ilmuwan Islam lalu menentukan arah kiblat Indonesia ke Masjidil Haram.

Ini sebabnya saya menyanggah klaim pembuat video yang mengatakan, Bumi bulat atau datar tidak ada pengaruhnya pada keseharian. Kiblat umat muslim di Indonesia menghadap barat serong utara ditentukan dengan memahami busur lingkaran besar Bumi yang berbentuk bola, yang lalu diperkuat dengan pengamatan yang saksama. Kalau Bumi ternyata bentuknya datar, lain lagi arah kiblatnya. Jadi apakah kiblat ke arah barat laut yang ditentukan ilmuwan muslim zaman dahulu itu salah? Kalau Bumi benar datar, masih sahkah salat muslim di Indonesia?

Tapi taruhlah teori Bumi datar ini memang benar-benar benar. Apabila penjelasan Bumi datar adalah hipotesis ilmiah yang bukan berdasar pada dogma semata, hipotesis ini bisa diturunkan menjadi prediksi yang lalu bisa diamati. Dan di sini teori ini akan menemui kesulitan menjelaskan fenomena benda langit yang sudah banyak diamati. Misalnya, kalau Bumi datar, mengapa Bulan, planet-planet, dan benda-benda langit yang lain bulat? Kenapa kita spesial? Kalau Bumi datar dan Matahari besarnya hanya puluhan kilometer, bagaimana cara Matahari bisa bersinar mengingat ukuran sebesar itu tidak memungkinkan terjadinya reaksi fusi hidrogen? Kenapa ketika puncak musim panas di belahan Bumi selatan, Matahari tidak pernah tenggelam?

Ada tulisan lebih lengkap tentang perbandingan antara prediksi dan pengamatan ini dari Evan, senior saya di astronomi ITB di sini. Ada juga Tri, doktor di bidang astronomi lulusan Leiden yang kini di DTM Carnegie, yang menulis tentang bagaimana kita tahu Bumi tidak datar. Tulisan Tri ini sebetulnya bagian kedua dari trilogi. Bagian pertamanya tentang bagaimana kita tahu Bumi itu bulat, sementara bagian ketiganya tentang hidup di permukaan bola. Tulisan-tulisan ini sangat saya sarankan untuk dibaca.

Kembali ke video tersebut, menurut hemat saya pembuat video itu banyak “membuktikan” klaim dengan cara menarik kesimpulan yang salah. “Membuktikan” dengan tanda kutip, karena struktur argumennya biasanya seperti ini:
Pernyataan 1: A benar.
Pernyataan 2: B menyebabkan kebenaran tidak dapat dibuktikan.
Kesimpulan: A benar.
Tapi ini bukan cara menarik kesimpulan yang logis, karena pernyataan 2 sebetulnya tidak membuktikan pernyataan 1. Maka, kesimpulan di atas bukan kesimpulan yang logis. Alur yang sama juga berlaku kalau A diganti “Bumi datar” dan B dipakai merujuk NASA. Lebih kompleks lagi ketika cocoklogi ini melibatkan dalil-dalil kitab suci (tapi tetap cocoklogi). Evan membahas cocoklogi agama ini lebih banyak di tulisannya yang ini.

Harus diakui, sebagian klaim yang diajukan pembuat video Bumi datar tersebut bantahannya bisa menjadi kasat mata, tapi perlu waktu yang lama. Misalnya, tentang Matahari dan Bulan yang disebut besarnya sama. Seandainya kita bisa menunggu pengamatan kedua benda langit itu beberapa juta tahun lagi, bulan akan terlihat lebih kecil. Secara perlahan-lahan, orbit Bulan mengitari Bumi akan makin besar akibat gaya pasang surut.

Sebaliknya, beberapa klaim lain sebetulnya mudah untuk disangkal dengan bukti. Misalnya, klaim bahwa satelit tidak bisa diamati padahal ada satelit buatan seperti ISS yang terangnya bisa menyamai planet Venus. Orbit satelit ini juga sempat melintasi cakrawala Jakarta di awal tahun ini.

Sayangnya, para pendukung teori ini biasanya lalu berdalih bahwa semua foto satelit itu CGI. Foto Bumi dari luar angkasa juga dibilang CGI. Foto spacewalk juga CGI. Tanpa rujukan parameter jelas apa yang bisa dipakai untuk membedakan foto CGI dan yang asli, semua-mua dibilang CGI. Karena ini jelas resep sukses memulai debat kusir yang tidak berujung, menurut saya sih sebetulnya ada prinsip cukuran Occam yang bisa dipakai untuk menengarai kemungkinan benarnya sebuah teori konspirasi. Sesuai prinsip ini, penjelasan fenomena dunia tanpa konspirasi lebih sederhana, dan penjelasan lebih sederhana ini yang biasanya lebih mendekati fakta. Terlebih ketika ada ribuan ilmuwan di seluruh dunia, argumen bahwa mereka semua bersekongkol untuk memajukan konspirasi ini sulit dipercaya benarnya. Misalnya, jika foto benda-benda langit hanyalah CGI, kenapa para ilmuwan harus menunggu sampai 2016 hanya untuk tahu sejumput permukaan Pluto?

Walau diambilnya tahun 1972, pokoknya hasil Photoshop!
Gambar dari NASA.

Saya lihat argumentasi konspirasi ini sering hanya mengedepankan cerita. Yang menggelitik saya, “bukti konspirasi” yang diajukan pembuat video itu utamanya adalah cuplikan film Hollywood macam Men In Black dan The Matrix, yang jelas-jelas film fiksi. Di cuplikan lain pembuat video ini membeberkan rahasia Bumi datar yang tertera di logo PBB. Ini jelas aneh, kalau memang ada konspirasi global, masa mereka tidak bisa memengaruhi logo PBB agar tidak menunjukkan rahasianya?

Sulit bagi saya untuk merespon satu per satu klaim yang muncul di video itu. Saya tidak menutup diri untuk diajak diskusi, tapi saya perlu juga menjaga waktu saya tidak tersedot untuk topik yang tidak saya minati. Saya sampaikan ke teman saya itu kalau saya perlu memperjuangkan hak-hak saya untuk jalan-jalan, makan-makan, dan main-main.

Saran saya, kalau Anda mendapati teman Anda mengajukan teori serupa, minta dia menulis. Dengan klaim yang tendensius, sulit mengira-ngira seberapa paham para penyebar tautan ini dengan materi yang mereka sebarkan, apakah 100%, 69%, atau berapa. Tanpa cara mudah menaksir pemahaman teman, diskusi yang produktif sulit berkembang. Sebar-sebar tautan itu gampang, tapi belum membuka ruang agar diskusi bisa berjalan. Untuk itu, perlu tulisan yang menunjukkan bagian mana saja yang ia setuju dan paham.

Ini juga yang saya minta ke teman saya di awal. Saya minta teman itu mulai dengan mencari sumber yang kredibel tentang bentuk bumi, lalu menuliskan pemahamannya tentang sumber tersebut. Tulisannya tentu boleh berbentuk apapun: catatan, blog, apapun, tapi tidak boleh hanya sekadar menerjemahkan/menyalin. Menulisnya harus dengan kritis dan catatannya harus berupa sintesa (ini level tertinggi taksonomi pembelajaran Bloom). Melalui tulisan yang lengkap, pakar yang mau terlibat bisa mudah memberikan penjelasan yang tepat tentang bentuk Bumi yang bulat pepat. Dengan begitu, ketika ia gigih bertanya, mudah pula mendapat jawabnya.