Showing posts with label dalam bahasa indonesia. Show all posts
Showing posts with label dalam bahasa indonesia. Show all posts

Thursday, April 14, 2022

Fragmentatie

 Eksperimen personal saya untuk menulis lebih sering kurang sukses: page ‘now’ yang saya taruh di sidebar updatenya berhenti tiga bulan lalu. Mungkin memang saya kini ada di fase berbeda: tidak lagi harus lapor mingguan ke seorang manajer lagi ngerjain apa aja, tinggal serumah dengan pasangan yang mau tidak mau mengamati gerak-gerik saya sehingga tidak perlu berwarta, dan kawan-kawan saya tercerai-berai lintas benua.

Plus ada medsos. Daftar bacaan hiburan saya ada di Goodreads. Fitur sosial Duolingo kini posisinya sentral. Twitter. Instagram. Tiktok. Platform-platform ini menyerap perhatian saya. Belakangan saya sadar kalau ini adalah bagian hidup yang ini benar-benar menguras energi. 

Energi saya yang terkuras ini bukan semata-mata tentang media sosialnya—tentang ini sudah banyak yang mengulas. Pencerahan yang baru-baru saja muncul buat saya lebih ke fragmentasi atensi saya bahkan untuk satu jenis aktivitas saja. 

Ketika saya mencari hiburan dengan membaca, saya secara simultan membaca beberapa buku di saat yang bersamaan, dengan laju yang berbeda-beda. Di Kindle saya ada The Rent Collector (Cameron Wright) novel tentang kehidupan pemulung sampah di TPA Bantargebangnya Kamboja, kumpulan esai-blognya Eliezer Yudkowski, dan baru semalam saya unduh novellanya Adrian Tchaikovsky. Di meja makan tergeletak Brotherhood, novel debutnya Mohamed Mbougar Sarr, dan nonfiksi It’s Our Time to Eat tentang skandal korupsi di Kenya. Lima buku. 

Tahun lalu saya menambah kursus baru di Duolingo: bahasa Belanda. Dengan streak setahun lebih belajar bahasa Perancis, saya jadi bolak-balik dua kursus dan berulang kali tertukar je yang berarti saya di bahasa Perancis dengan je di bahasa Belanda yang berarti kamu (dilafalkan ‘ye’). Ketika tangkapan layar saya tentang modul sejarah di kursus bahasa Belanda ini meleduk di twitter dan Nils membalas bahwa di kursus bahasa Spanyol Duolingo tidak ada pelajaran serupa saya jadi penasaran bagaimana dengan bahasa Jepang. Maka selama tiga minggu saya jadi bolak-balik berlatih di kursus Jepang dan Belanda. Dua-tiga bahasa. 

Bulan lalu saya presentasi tentang temuan awal riset SMK. Di saat yang sama memulai proses survei telepon proyek riset dana desa. Plus dikejar tenggat revisi paper IM dan dibayang-bayangi tenggat revisi paper inpres. Kerja kolaborasi pendidikan antikorupsi sementara berjalan, dan demi siklus job market tahun depan saya sadar tidak boleh membiarkan riset remitansi dijeda terlalu lama. Supaya tidak teronggok seperti riset altruisme saya. Tujuh proyek riset. 

Belum lagi dua hal administratif besar lainnya: keimigrasian dan perpajakan. 

Perhitungan kasar saya menghasilkan rerata alokasi waktu (hanya!) tujuh jam per aktivitas per minggu. Tapi ini bukan kisaran yang realistis. Per proyek riset sering perlu waktu lebih dari tiga hari kerja. Asumsi lainnya untuk memenuhi panjang “hari kerja” tujuh belas jam sehari tujuh hari seminggu adalah saya tidak perlu rehat, olahraga, mandi, atau makan! Atau punya hubungan personal sama sekali. Ini jelas tidak sehat dalam jangka panjang, dan dengan serta merta menjelaskan kenapa pikiran saya enggan beranjak dari perasaan-perasaan suram bahkan di hari-hari dengan cakrawala yang terbentang cemerlang. Tentu saja ini lebih parah ketika cuaca muram. 

Maka saya mengeksklusifkan kursus bahasa Belanda saja di Duolingo. Pelaporan perpajakan syukurnya sudah selesai (dan kami menebus kurang bayar pajak dua ribu lima ratus dolar dengan sedikit rasa tidak ikhlas). Selesai baca Tchaikovsky dan Brotherhood saya hanya mulai satu buku baru (tentang detektif/ahli bahasa mesir kuno m/m di Massachusetts fiktif abad ke-19). Saya tidak yakin apa yang bisa saya kurangi di pekerjaan tapi paling tidak saya sudah kirim balik manuskrip IM dan benar benar merehatkan draf riset altruisme saya untuk sementara. 

Dengan harapan kewarasan terjaga. 

Wednesday, September 22, 2021

Selusin RAs(ul)

Musim panas kemarin adalah musim panas yang melelahkan. Seandainya tidak, mungkin aku tidak juga tuliskan di sini. Tapi waktu berlalu, musim berganti baru, dan… kesibukan kok tetap memburu jadi kelelahan ini tak kunjung luruh. 

Yang ada justru makin berasa dipacu. 

Di awal musim panas, aku bertolak ke Indonesia. Aku dapat vaksin dari uji coba AstraZeneca di Amerika dan vaksin reguler Pfizer untuk semua warga. Maka aku pulang dengan penuh harapan memajukan pekerjaan, bertatap muka dengan keluarga, kawan dan handai taulan, dan mungkin menyisihkan sebagian liburan untuk melancong dan berpelesir. 

Yang ada aku justru terkungkung gelombang kedua korona di Jakarta. Ini memang peristiwa dahsyat: Iis kena. Danti. Ada satu kawan meninggal dunia. Sepupu-sepupu kena juga. Pun Freida, yang sudah lengkap vaksinnya, sehari sebelum jadwal keberangkatannya jadi harus diisolasi karena hasil tes PCRnya positif. 

Maka mau tidak mau aku pupuskan rencana pesiar ke Biak ataupun Bengkulu. Dari rencana semula membonceng agenda kerja Mbak Yanti, semua kami urungkan. Dan kami kembali berpaku—terpaku—berjibaku dengan layar-layar persegi sebagai tempat koordinasi pengganti. 

Aku bercerita pada Mbak Yanti bahwa urungnya pesiar kami lazimnya berarti aku kembalikan dana tunjangan yang aku anggarkan untuk perjalanan ke si donor asal. Timpalnya, “Kenapa ngga kamu cari orang daerah Syhur? Anggap sebagai kunjungan virtual.”

Aku menimbang saran ini, dan seperti beberapa saran sebelumnya darinya, ini sangat masuk akal. Yang aku belum tahu saat itu, ini ternyata jadi salah satu sumber utama kerepotanku.

Pasalnya, aku jadi merekrut, menyaring, dan harus mengelola orang-orang yang aku jaring. Jaringnya kusebar luas, yang berujung pada musim panas ini aku membawahkan banyak nian orang.

Tiga paket, RP-CW, TP-CS, HS-TM, memang sudah terkait proyek lama dan baru di J-PAL SEA. Dua paket untuk bersih-bersih narasi permintaan donasi, AI dan JA. Tiga paket di berbagai penjuru Indonesia: RN, RC, dan FM. Paket AN dibiayai BU aku kelola jarak jauh untuk mendigitalkan data sekolah lama. Terakhir, ada tiga paket untuk pembacaan sumber sejarah era Belanda: JN, BG, dan RM. Total jenderal ada dua belas paketan RA. Masing-masing menjadi perpanjangan tangan beragam kegiatanku bersama berbagai kolega. Mereka macam rasul namun mewartakan kabar dan pertanyaan keilmuan—meski ini hanya tepat kalau aku punya delusi bersetara mesias. 

Tidak semua paket ini mudah dikelola. Ada yang tahu-tahu lenyap tidak berjejak. Ada yang terkendala sinyal. Terakhir, ada yang lapor terkena corona. Sebagian bisa dimitigasi dan dipandu. Sebagian memang sudah mandiri atau dapat dukungan terstandar. Sebagian… mau tidak mau harus direlakan, dengan usaha yang terbuang percuma dan sia-sia.

Apakah aku terbayang ketika mulai melanjutkan studi aku akan harus mengelola orang lebih banyak dari posisiku sebelumnya sebagai penyelia? Tentu tidak. Apakah ini hal yang aku sambut dengan gembira? Tanggung jawab pelaporan yang datang setelahnya jelas tidak membuat hari-hariku bahagia. Hatiku akan lebih ringan ketika tetek-bengek administrasi ini tuntas diterima oleh semua pihak pendana yang memintanya.

Satu hal yang jelas: aku perlu liburan. Yang betulan. 



Cape euy.


Monday, September 7, 2020

Lumer


Ini awal tahun ajaran baru, tapi tahun ini sudah berasa panjang sekali. Aku rasa selain tahun 2020 ini adalah tahun yang sangat-sangat melelahkan, bagiku 2019 dan 2020 seakan lumer menjadi satu; penanda khatamnya sebuah dasawarsa. Rasanya aku siap beralih ke periode baru.

Di dua tahun yang sedang berlalu, ada enam perubahan besar dalam hidupku: menikah, mudik, riset, pindah, kucing, dan pandemi. Keenam hal ini bergumul menyatu dalam kegundahanku melihat digerendelnya gerbang ke Nickerson Field BU minggu lalu. 

Aku mulai berolahraga lari lagi, dan di akhir musim panas ini aku mulai pergi ke Nickerson Field. Lapangan ini hanya berjarak lima belas menit dari rumah dan kalau aku pergi cukup pagi, lintasan larinya tidak ramai. Ini satu-satunya aktivitas fisik semi-rutinku karena sasana gimnasium kampus ditutup ketika pandemi, sementara Chestnut Hill Reservoir menjadi jauh ketika aku pindah apartemen. Ada Charles River Reservation yang jadi lebih dekat, tapi untuk mencapainya tetap perlu menyeberang jalan tol dan berjalan setengah jam. Aku sudah setengah tahun lebih tidak berenang. 

Minggu lalu, aku pergi dengan niat berlari, tapi mendapati gerbang ke lintasannya terkunci. Ini sepertinya langkah kampus untuk membatasi penyebaran covid ketika mahasiswa S1 kembali masuk asrama: kampusku berkeras mengadakan kuliah tatap muka. Ini keputusan berbeda dengan Harvard dan MIT—dua universitas tetangga di seberang sungai. 

Kebijakan kampusku dan dua kampus lain itu baru berbeda untuk semester baru ini. Semester lalu, semua pindah online. Freida lulus dari Harvard dan pandemi mengurungkan rencana perjalanan Ibu plus Abang, Kak Linda dan ponakan untuk merayakan kelulusan Freida. Wisuda Freida dialihkan online dan ijazahnya dikirim via pos. Aku dan Sammy si kucing ikut menonton wisudanya sambil tidur-tiduran. 

Ini adalah persilangan tiga perubahan yang lain: riset, menikah, dan mudik. Wisuda Freida di akhir Mei hampir bertepatan dengan peringatan setahun pernikahan kami. Tapi karena aku sudah masuk tahap riset independen sejak semester musim semi aku fokus di situ... dan merasa mampet tidak banyak kemajuan selama satu semester. Ini adalah perasaan yang akan terus membayangi hingga akhir musim panas, terlebih jika aku ingat tahun 2019 aku mudik ke Indonesia (untuk menikah) dan membawa pulang dua set data.  

Bayang-bayang kemampetan inilah yang membuatku agak sebal dengan ditutupnya akses ke Nickerson Field. Bertahun lalu aku belajar mengakali perasaan suram kemampetan dengan lari pagi di GOR Soemantri: kalau sudah mulai hari dengan suatu hal yang produktif/sehat mau sekacau apapun sisa hariku, suram bisa kuhalau. Sementara kini, lapangan ditutup justru ketika musim dingin mendekat. 

Freida bertanya kenapa aku tidak lari di trotoar blok sekitar rumah saja. Aku jawab sulit berkonsentrasi di trotoar karena medannya naik turun tiap melintas persimpangan jalan. (Aku juga baru ingat terakhir aku melakukan ini di Kyoto, dan itu juga aku lebih pilih berlari di tepi Sungai Kamogawa.)

Lalu bagaimana (Pak RT)? Entahlah. Aku masih perlu menghalau suram, tapi tak tahulah bagaimana caranya. Yang jelas untuk semester baru ini aku masih perlu menimbang bagaimana aku mau bekerja: di kampus atau di rumah. Aku khawatir bekerja di kampus menggoda bencana dengan mengundang paparan virus corona. Di sisi lain, selama musim panas aku bekerja sepenuhnya dari rumah dan kekusutanku menggila. Untungnya ada Sammy dan Freida, tapi tetap saja ada minggu-minggu ketika semangatku lenyap entah ke mana. Di minggu-minggu itu, jenuh membekapku. Membuatku ingin beralih ke hal baru.

Aku tak sabar—sembari gentar—untuk beralih ke periode baru. 

Friday, November 8, 2019

Nobel, Cumi, dan Harapan

Bahwa Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer menang Nobel Ekonomi 2019, ini kita semua tahu. Saya sendiri belum sepenuhnya menginternalisasikan apa arti penghargaan ini, tapi di hari itu menarik sekali membaca tanggapan orang-orang.

Yang paling pertama adalah kawan sekantor dulu di Salemba, yang subuh-subuh berkabar bahwa ia terharu. Ini membuat saya ikut terharu juga, karena ia mengabari kami. (Setelahnya saya kembali tidur karena masih subuh, mencontoh teladan Abhijit haha). Sepanjang hari beberapa mantan kolega yang lain menge-tweet respon bahagia mereka tentang kabar ini. Ini membuat jagad twitter sejenak menjadi sedikit lebih lega setelah ketegangan unjuk rasa minggu-minggu sebelumnya. Sentimen bahagia senada datang dari ekonom dan staf kantor IPA, dan membaca respons bahagia mereka membuat saya ikut bahagia.

Ilustrasi Citron / CC-BY-SA-3.0
Tentunya tidak semua respon senada. Sebagian sumir: ada satu artikel yang bahkan menyetarakan jaringan penelitian J-PAL seperti cumi-cumi vampir. Saya paham sih artikelnya ingin menakut-nakuti pembacanya karena cumi-cumi berkerabat dengan gurita, sesuatu yang menggurita konotasinya buruk, dan vampir yang mengisap darah konotasinya buruk juga. Tapi ketika saya tahu cumi-cumi vampir berbeda dengan gurita dan tidak mengisap darah, kiasannya ga jalan bro. Ini adalah contoh teknik menulis yang harus dihindari menurut Agustinus Wibowo.

Saya lihat juga ada respons dari Deirdre McCloskey—saya suka bukunya tentang teknik menulis yang jelas jadi saya tertarik melihat tanggapan ybs. Sayangnya tanggapannya menurut saya cetek, glib. Ia menyitir satu evaluasi acak, berargumentasi bahwa karena satu evaluasi ini tidak ada kontribusi ilmiahnya, maka semua evaluasi acak di dunia ini ngga mungkin ada kontribusi ilmiahnya. Saya membacanya langsung merasa sayang kenapa beliau nggebyah uyah.

Namun ini tidak berarti bahwa tidak ada kritik yang valid. Menurut saya observasinya Nathan Nunn dari seminar Innis penting untuk diperhatikan.
[C]onsider the Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL). In terms of involving those from developing countries in academic research, the organization is as inclusive as it gets. Despite this, as of the time this article is being written, according to their website, of J-PAL’s network of 170 affiliated professors from 58 Universities, there is only one University that is not from a country that is either European or a European offshoot. This is the Indian Institute of Management. They have one affiliate from an African University, but this is the University of Cape Town, located in South Africa. 
Ini adalah persoalan besar yang masih harus diusahakan perbaikannya. (Tapi yang menarik, Nunn mengkategorikan Brazil dan Chile setara dengan Eropa?)

Terlepas dari dialektika evaluasi acak, pengumuman hadiah Nobel tahun ini membuat saya menilik ulang makalah-makalah ketiga pemenang ini (halah bahasa gue, dialektika). Tentu saja rangkuman dari David Evans (untuk Kremer, Duflo) sangat membantu untuk memilah mana yang paling menarik untuk dibaca penuh. Tulisan Oriana Bandeira ini juga mengarahkan saya ke beberapa makalah mereka yang belum pernah saya baca sebelumnya.

Dua makalah mereka yang lalu saya baca dan menarik perhatian saya adalah tentang Massive Open Online Courses/MOOC dan growth theory. Di makalah yang berjudul (Dis)Organization and Success in an Economics MOOC (Banerjee and Duflo, AER: P&P 2014), mereka mengulas kuliah online mereka MITx 14.73x: The Challenges of Global Poverty. Statistik yang menarik dari kuliah ini adalah banyak peserta yang rontok: 42,314 students registered for the course, 26,140 ever viewed any page (they are usually referred to as the “starters”), and 12,947 were ever “active,” in that they attempted any assignment or finger exercise (even if they got a zero on the that assignment). Of those, 4,597 earned a certificate. The retention rate is thus 11 percent of registrants, 18 percent of starters, and 36 percent of active participants. Saya dulu juga ambil kelas ini waktu bekerja di Salemba, dan jadi tahu bahwa "sekadar" dapat sertifikat ketika khatam kuliah ini sudah membuat saya ada di kelompok 10% teratas seluruh pendaftarnya!

Makalah kedua berjudul Growth Theory through the Lens of Development Economics (Banerjee and Duflo, Handbook of Economic Growth 2005). Makalah ini membuat saya penasaran apakah ada makalah serupa yang mengulas rekam jejak pertumbuhan ekonomi Indonesia dari lensa growth theory secara menyeluruh. Porsi kuliah ekonomi makro di sini tentunya lebih banyak membahas sejarah pertumbuhan ekonomi AS. Sayangnya, fokus ini membuat pemahaman saya yang semenjana tercerabut dari konteks Indonesia. Bisa jadi ini adalah efek samping sejarah akademik saya yang tidak pernah mengambil mata kuliah ekonomi di Indonesia.

Selain dua makalah di atas, daftar singkat makalah mereka yang lalu juga saya baca adalah sbb:


Sebagian makalah mereka di atas mungkin terkesan bacaan berat (karena jenisnya makalah, tapi daftar singkat di atas sih sebetulnya ngga karena saya lagi ngga kuat baca yang berat-berat). Berita bagusnya, penghargaan Nobel tahun ini untuk Banerjee dan Duflo kebetulan (?) berdekatan dengan peluncuran buku baru mereka untuk pembaca awam: Good Economics for Hard Times.

Untuk menyokong peluncuran buku ini, mereka menulis dua kolom op-ed di koran The New York Times dan The Guardian. Di New York Times, mereka menulis bahwa Economic Incentives Don’t Always Do What We Want Them To, yang saya kutip sebagian di bawah:
If it is not financial incentives, what else might people care about? The answer is something we know in our guts: status, dignity, social connections. Chief executives and top athletes are driven by the desire to win and be the best. The poor will walk away from social benefits if they come with being treated like a criminal. And among the middle class, the fear of losing their sense of who they are and their status in the local community can be an extraordinarily paralyzing force.
Sementara itu di The Guardian, kolom mereka adalah sebuah seruan: If we’re serious about changing the world, we need a better kind of economics to do it. Sebagian kutipan:
Economists have a tendency to adopt a notion of wellbeing that is often too narrow – some version of income or material consumption. Yet we know in our guts that a fulfilling life needs much more than that: the respect of the community, the comforts of family and friends, dignity, lightness, pleasure. The focus on income alone is not just a convenient shortcut – it is a distorting lens that has often led the smartest economists down the wrong path, and policymakers to the wrong decisions. This is a big part of what persuades so many of us that the whole world is waiting at the door to steal our well-paying jobs. It is what has led to a single-minded focus on restoring the western nations to some glorious past of rapid economic growth. It is also what makes the trade-off between the growth of the economy and the survival of the planet seem so stark.
Di Indonesia, Tirto memberitakan penghargaan ini di satu artikel yang titik beratnya ada di studinya Duflo tentang SD Inpres, lalu langsung terjun ke ulasan sengketa evaluasi acak di kalangan akademisi. Saya lebih suka kolomnya Bu Vivi Alatas di Tempo, Nobel Ekonomi untuk Sebuah Gerakan.

Saya suka kolomnya Bu Vivi karena beliau menulis opini yang hanya bisa ditulis oleh beliau seorang di Indonesia: sebagai mahasiswa yang hadir langsung di seminarnya Duflo dan sebagai kolaborator Banerjee di berbagai studi. Kesan yang ditangkap Freida serupa, untuk alasan yang berbeda: ekonom wanita tidak banyak jumlahnya, dan Bu Vivi adalah satu di antaranya. Selain alasan-alasan di atas, kolom ini juga ditulis dengan apik: kalimat pamungkasnya kuat. Saya tidak bisa menandinginya:
Nobel adalah pengakuan akan kontribusi dan kerja tekun mereka dalam menanggulangi kemiskinan. Ketika jumpa wartawan setelah pengumuman Nobel itu, ketiganya berharap apa yang mereka lakukan sebagai peneliti ataupun aktivis terus berjalan.  
Kremer berharap momentum ini memberikan semangat kepada para peneliti masalah kemiskinan untuk terus berkarya. Duflo, sebagai perempuan kedua penerima Hadiah Nobel Ekonomi, ingin apa yang ia raih menjadi inspirasi bagi perempuan untuk sukses, diakui, dan terus berkarya. Adapun Banerjee berharap momentum ini bisa membuka pintu gerakan penanggulangan kemiskinan berbasis bukti melalui kebijakan lebih lebar. 
Harapan mereka adalah harapan kita juga.

Thursday, April 4, 2019

Pantai Revere

Boston, 14 Februari 2018

Tahukah kalian bagaimana camar makan kerang, meski mangsanya ini berlindung di balik cangkang?

Aku tadinya tidak tahu, tapi sore ini membawaku ke Pantai Revere, dan di sana aku menemui banyak burung camar. Pantai Revere sepi, sama seperti terakhir kali aku datang ke sana beberapa bulan lalu. Wajar memang pantainya sepi, karena orang yang waras ngga bakal pelesir ke pantai di bulan Februari. Angin berembus dingin dan tidak ada pilihan selain tetap membungkus diri dengan lapis-lapis jaket musim dingin.

Aku ada di pantai ini karena seperti biasa, aku tidak bisa menghitung diri ada di golongan yang waras. Semester dua sementara berjalan, dan dua minggu lagi aku ujian. Setiap minggu aku hitung total jam kerjaku lebih dari 80 jam yang aku habiskan untuk belajar mati-matian. Ini belum juga waktunya ujian, tapi ada tiga PR dengan tenggat yang saling bertumpukan.

Aku sudah tidak bisa mengingat kapan terakhir kali aku rehat di akhir pekan: hari Sabtu dan Minggu tidak ada bedanya dengan hari lainnya karena toh aku ke kampus juga. Bawa bekal seadanya, lalu berkutat di meja kantin FH. Dinding mereka kaca, jadi kantinnya terang dan enak jadi tempat membaca. Dinding mereka juga menghadap ke Sungai Charles, jadi pemandangan bantarannya menenteramkan untuk dijadikan selingan.

Tapi tiga hari terakhir buruk sekali. Senin adalah tenggat PR ekonometrika, Selasa tenggat ekonomi makro, dan hari ini tenggat ekonomi mikro. PRnya susah-susah, dan aku mulai lelah.

Tugasku aku kumpulkan jam 10 pagi di awal kelas. Pukul empat, Laurie yang sekelas denganku bertanya apakah aku berminat menyambangi kantor Hiro—dosen ekonometrika kami—untuk konsultasi. Aku tampik dan bilang aku mau jalan-jalan dan tidur biar waras.

Inilah alasannya kenapa aku lalu menuju Pantai Revere. Karena aku sudah berniat mau rehat setengah hari, aku membebaskan diri untuk mengamati sekelilingku. Aku ingat Mbak Yanti pernah menganjurkan aku ke stasiun atau terminal lalu mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Ketika naik dari stasiun di depan kampus, aku mengedarkan pandang dan mendapati pandangan hampir semua orang terpaku pada layar yang mereka genggam. Aku pun menimang-nimang ponselku di genggaman tangan.

Aku naik kereta tujuan Wonderland untuk ke Pantai Revere. Nama stasiun tujuannya enak didengar, dan terasa pas dengan tujuanku melepas penat. Aku ganti kereta dua kali: sekali di Park Street, lalu di Government Center. Di kereta terakhir, ada beberapa bangku kosong di gerbong paling depan. Di bangku sebelahku, seorang penumpang sebelumnya meninggalkan dua eksemplar JAMA, Journal of American Medical Association. Tanggal di sampulnya menunjukkan edisi ini terbitan Agustus 2017.

Senyumku tidak tertahan ketika aku sampai di pantai. Aku membayangkan ketika bulan Juni datang, pantai ini akan ramai dipenuhi orang. Aku justru akan mengurung diri untuk ujian agar aku bisa bertahan.

Di kejauhan aku melihat orang-orang berjalan berdua. Aku hampir lupa ini hari Valentine—tapi di kereta aku melihat juga beberapa orang membawa ikat-ikat bunga. Cori—teman sekelas dan serumahku—kemarin bertanya apakah aku ada rencana spesial dengan Freida. Aku hanya tertawa. Yang bener aja brooo.

(Aku janjian bakal ketemu dia besok kok tapi btw. Dia nawarin buat masak sayur bening buat dimakan sambil belajar di kampus besok. Aku mungkin bawa masako simpananku juga supaya sayurnya ngga terlalu sehat.)

Tapi itu untuk besok. Sekarang aku justru membayangkan clam chowder. Ini adalah masakan khas Massachusetts, dan aku jadi bertanya-tanya mengapa banyak cangkang kerang terserak di pasir pantai yang menghampar. Cangkangnya besar-besar: aku bayangkan Kaia, dan sepertinya kerang-kerang ini lebih besar dari telapak tangannya. Beberapa retak ketika aku injak.

Aku mendengar bunyi gedebuk tak jauh dari tempatku berdiri. Tidak lama, seekor burung camar datang melayang: ternyata yang jatuh adalah seketul kerang. Burung ini datang untuk menyantap kerang yang sudah ia jatuhkan. Sambil memaruh isi cangkang, burung ini menghalau camar lain yang mengincar kerangnya. Ketika aku beringsut mendekat, ia melirikku lalu mencotok cangkangnya menjauh.

Ketika camar itu berlalu, aku berdiri termangu. Kini aku tahu bagaimana camar berburu.


Wednesday, March 27, 2019

Rekomendasi Caleg DPR Jakarta II versi Masyhur

Awal bulan ini, saya memutuskan untuk mencari tahu siapa politisi yang mau saya pilih di Pemilu legislatif kali ini. Karena saya ada di Boston, saya cuma bakal memilih anggota DPR saja di Dapil Jakarta II (Jakpus, Jaksel, Luar Negeri). Tapi ini pun ternyata bukan perkara mudah, karena kandidatnya ada banyak. Saya memutuskan untuk menuliskan penelusuran saya di sebuah utas Twitter.

TL; DR: empat orang kandidat di shortlist saya:
  • Nuraini Hilir, PDI-P nomor urut 6.
  • Shanti Ramchand, Nasdem nomor urut 4.
  • Zuhairi Misrawi, PDI-P nomor urut 2.
  • Christina Aryani, Golkar nomor urut 1.
Utas lengkapnya (dengan edit kosmetik): 

Selasa, 5 Maret
Oke mari kita mencari siapa caleg yang patut dipilih buat pileg nanti. Karena gue ada di luar negeri, gue cuma bakal milih buat DPR di Dapil Jakarta II. Website infopemilu.kpu error mulu buat loading dapil ini, jadi kita coba yang lain: JariUngu. Banyak juga ini 105 caleg. 

(sebelumnya gue mau mengakui bias gue. Kalau gue nemu caleg yang:
- lesbian/transpuan
- etnis Tionghoa/Papua
- agama Ahmadi/Kejawen
- ibu rumah tangga
- pendidikan SMA ke atas
- lahir 13 Januari
bakal langsung gue pilih. Iya ini main politik identitas, tapi mana bakal nemu haha.) 
Saringan pertama:
1. bukan mantan napi tipikor. Dari filternya JariUngu sih ga ada di dapil ini.
2. bukan dari partai berkarya. Gue ilfil sama Tommy Soeharto.
3. bersedia publikasi CV. Kalau ngga gimana gue cari tahunya? Yang ada aja banyak. Goodbye Garuda Hanura Demokrat PKPI.
Masih sisa 74 caleg. Banyak ya.  
Urut berdasar nomor partai: PKB..... ga ada yang bikin tertarik. Targetnya pada pengen menangin PKB tapi ya trus kenapa? Gue bukan orang PKB jadi ga ngefek buat gue.
Plus ini pada ga baca panduan ngisi formulirnya apa ya. Di borangnya KPU ada petunjuk: Target/Sasaran (berisi contoh hal-hal yang akan dikerjakan ketika telah menjadi anggota DPR).... dan diisinya begitu. *keluh*. 
[Addendum: link ke file excelnya ada di sini. Bisa juga klik masing-masing gambar supaya jadi besar.] 

Lanjut 02 Gerindra. Ini alay deh pada ngisi motivasinya. Terserah deh kalau pemilih biasa pada taklid buta ke suatu tokoh, lha ini yang bakal jadi aleg. Yang mendingan cuma nomor 7 doang (Basri Kinas Mappaseng) yang ngisi targetnya agak substantif. 

Halo 03 PDIP! Wah ini mayan menarik deh ada yang bisa masuk shortlist:
Nomor urut 2 Zuhairi Misrawi sama nomor urut 6 Nuraini.
Ibu dokter nomor urut 3 Amendi Nasution juga menarik (aktif politik sejak zaman Orba!?) tapi longlist aja karena udah 71 tahun. 

Kenapa no 2 menarik? Karena Zuhairi ini pekerjaannya peneliti hehe.
Link JariUngu: https://jariungu.com/caleg_2019.php?idCaleg2019=3096 Link KPU: https://infopemilu.kpu.go.id/pileg2019/pencalonan/calon/289044 
Gue baru pertama kali denger namanya. Tapi ada beberapa artikel juga sebut nama Zuhairi ini promosi toleransi dan membela Ahmadiyah.
Sufi congress in Jakarta against Islamic extremism
Zuhairi Misrawi, head of the Moderate Muslim Society (MMS), an intellectual and NU leader, explained that Muslim mystics contribute to the government fight against fundamentalism. However for him, this fight is too often only words and empty slogans that lack concrete application. A graduate of al Azhar University in Cairo (Egypt), Misrawi criticised the government’s Anti-terrorism Department because of its silence vis-à-vis sermons by some imams during Friday prayers that promote hatred and terror in society. In his view, the government and President Yudhoyono himself shoulder some of the blame. Their slogans may show an intention to fight extremism but they end up protecting those who sow violence and division.
Indonesia: More to religious (in)tolerance than meets the eye
At the end of 2010, two Indonesian civil society organisations that work to promote tolerance and understanding in Indonesia, the Moderate Muslim Society (MMS) and the Wahid Institute (WI), separately released the results of research they had conducted on religious life in Indonesia. Both showed significant increases in the number of religiously motivated attacks and discrimination against minority religious groups.
Over the last year, MMS recorded 81 cases of religious intolerance, up 30 per cent from 2009, while WI recorded 193 instances of religious discrimination and 133 cases of non-violent religious intolerance, up approximately 50 per cent from the previous year. Among these instances, forced church closures and disruptions of worship services were the most commonly reported complaints, which also included the firebombing of an Ahmadi mosque and violent attacks on congregants.
For Ahmadiyah in Indonesia, Persecution Remains Unaddressed
“There is cause for concern here because the problem still hasn’t been solved,” said Zuhairi Misrawi, director of the Moderate Muslim Society. “In these cases, the government has not been able to provide enough protection and support for the Ahmadis in their pursuit of their right to worship."
Bapaknya juga punya halaman Wikipedia loh, plus nulis buku (Al-quran Kitab Toleransi) dan punya blog (yang tentu saja update terakhirnya dari dasawarsa lalu. Blogging ini emang udah passe ya). 
Gue lihat antara Zuhairi sama Nuraini sama-sama sempat di filsafat. Zuhairi di Al Azhar dan Driyakarya (lihat di Wiki), Nuraini di UGM. Gue ga cukup tau contoh politisi jebolan filsafat yang udah ada jadinya kayak apa sih. [addendum: Uwi nambahin kalau Rieke Dyah Pitaloka ternyata alumni filsafat juga.] 
Antara dua ini gue condong ke yang urutnya lebih bawah. Detail nomor 6 Nuraini:
JariUngu: https://jariungu.com/caleg_2019.php?idCaleg2019=3100
KPU: https://infopemilu.kpu.go.id/pileg2019/pencalonan/calon/28094

Haduh sayangnya Ibu Nuraini ini namanya ngga Google-friendly sama sekali. Seantero Indonesia pasti jutaan namanya sama. gue cuma nemu di pangkalan data dikti pernah ngajar apa aja di Universitas Bung Karno
Dua poin plus Ibu Nuraini: SMAnya di Bima ( = mungkin dari luar Jawa) dan sebelumnya jadi staf ahli legislatif, so she should know her stuff. Ohya di Jari Ungu dll tadi ga muncul motivasinya karena ditulis tangan di halaman 4 di CVnya. Untung gue telaten carinya kan ya. 
Addendum: sejak utas ini ada beberapa info tambahan tentang Ibu Nuraini yang saya temukan. Dia di Pemilu 2014 maju sebagai kandidat DPRD Jakarta dari PDI-P, dan ngga lolos. Tapi dia masuk kategori 'kandidat bersih'-nya ICW waktu itu: https://antikorupsi.org/en/news/nuraini-hilir.

Selain itu, ada wawancaranya dengan media online berdikari yang arsipnya ada di halaman ICW tersebut:
"Dalam Pemilu 2014 mendatang, sejumlah nama aktivis yang sering muncul dalam aksi-aksi protes rakyat di jalanan akan muncul di kertas suara. Salah satu dari mereka adalah Nuraini Hilir. Di tahun 1997-1998, ia menjadi bagian dari gerakan mahasiswa dan rakyat dalam melawan kediktatoran Orde Baru. Saat itu ia menjadi anggota Partai Rakyat Demokratik. Selain itu, melalui Srikandi Demokrasi Indonesia ia aktif memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan rakyat tertindas lainnya."
Namanya juga sempat disebut di artikel Indoprogress tentang John Tobing dan di artikel Historia tentang PRD dan penggulingan Soeharto. Dia ternyata juga punya akun twitter, tapi ngga terlalu aktif. (Saya tegor plus nanya ngga dijawab). Dari arsip artikel twitternya ini saya juga nemu dia di koran Amunisi, artikelnya ada di bawah artikel tentang girlband Go Angel'5 (iya saya juga baru tau).

(Selingan: ternyata saya defaultnya kalau nulis di blog jadi 'saya', kalau di Twitter jadi 'gue'.) Kembali ke utas:
Jari Ungu ini agak menyebalkan ya. Gue harus registrasi dulu dan ngasih data personal baru bisa lihat daftar caleg, dan ini entah kenapa websitenya lupa terus kalau gue udah login jadi harus login berulang kali.
Rabu, 6 Maret
Hmhmm mulai malas lanjut tapi tanggung udah capernya.  
Anyway yang gue baru sadar kenapa ada beberapa caleg nyebutin TKI di motivasi/targetnya: karena dapil LN tentu yang banyak bukan mahasiswa ala-ala kayak gue tapi populasi TKI. (Apakah para TKI ini tau caleg mereka ya mbuh). 
Pencerahan kedua: jelas gue bukan orang pertama yang kepikiran buat cari tau semua caleg di dapil gue. Ini satu situs yang komplit banget btw dan gue rekomendasikan buat diubek-ubek supaya tau mana yang caleg yang punya instagram dan mana yang vegetarian: https://litsuscaleg2019.wordpress.com/category/luar-negeri/ 
Anyway yang vegetarian itu Golkar nomor urut 1. Gue ga punya komentar prinsipil sih sama isian motivasi/targetnya yang kebanyakan umum begini, walaupun beberapa calegnya kayaknya hi-profile di sektor privat ya. (Ini juga berlaku buat Nasdem).

Oh satu caleg yang pantas di call-out adalah caleg 7 dari Golkar. Di Jari Ungu lolos saringan tidak pernah jadi napi tipikor tapi pernah diputus penjara karena korupsi. Lalu targetnya di CV: MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN INDONESIA BEBAS KORUPSI.
Eh sebenernya daftarnya Nasdem menarik deng. Shanti Ramchand adalah caleg Hindu pertama yang gue lihat sejauh ini and she's like, dripping with competence? Tapi gue anaknya ga terlalu antusias sama trade dan ASEAN sih..
LinkedIn Shanti: https://www.linkedin.com/in/shanti-shamdasani-2a90a912/ Biografi di situs RSIS: https://www.rsis.edu.sg/event/rsis-cna-live-recording-of-think-tank-talk-show-episode-4/
Shanti Shamdasani is known for her in-depth expertise on ASEAN matters with focus on international trade and political analysis. Her vision on ASEAN started in 2005 where she tirelessly brings the ASEAN debate at various local and international stages. Her highest position was when she was appointed as Advisor to the President of Indonesia, H. E. Susilo Bambang Yudhoyono on ASEAN matters. Ms. Shamdasani also works closely with Ministry of Trade, Ministry of Industry and Ministry of Foreign Affairs on several trade negotiations with India, China, Australia and New Zealand. Her current role continue to reflect her passion and long term vision on policy, legal, trade and political framework in the region; she is the President of ASEAN International Advocacy and sits at the Boards of several Associations as Governors, Advisors and Commissioners.
Di Nasdem ada anaknya Rusdi Kirana Lion Air juga. ¯\_(ツ)_/¯ trus ada direktur di Lion. Ada yang mantan Wakil Bupati Minahasa, dan ada CEO publishernya Tatler. Caleg nomor 1 punya sekolah model. Ini partai..... elit-elit semua yak. 

Mundur lagi ke Golkar dulu: Christina Aryani juga tampak kompeten sekali, jadi Chief Administrative Officer Jakarta Monorail tapi lalu gue sadar kalau monorail dan MRT itu beda yak. Yang menarik lagi dia sempat jadi researcher di hukumonline christinaaryani.com/tentang.html 
Lanjut ke PKS kita? Mari.
Kalau lo orang Klaten dan ga tau HNW dari Klaten, apakah lo tetep orang Klaten? Gue ga bakal pilih dia dan kecil kemungkinan gue pilih PKS sih. Tapi yang gue suka: semua kandidat perempuannya S1, dua orang S2, 1 S3.
Yang gue ga suka: tiga dari empat tadi motivasinya adalah, "karena diamanahi partai". Bu! Mbak! mbok ya own up gitu lho. Sampeyan beneran mau ga sih? Apa karena disuruh aja? hhhhhhh



Minggu, 10 Maret

Mari kita tuntaskan utas ini sekarang? Tinggal separo lagi dan sejujurnya ga banyak yang bikin excited juga. Tapi sebelum lanjut mau nambahin sesuatu:
Ibu Yulisa caleg Nasdem nulis dapat penghargaan "Olimpiade Sains dari Mendikbud Wardiman 2008". Ini teh penghargaan apa? Wardiman menteri 93-98, di tahun itu ibunya udah 25 tahun. Lagian emang Indonesia udah ikutan olimpiade sains? Yohanes Surya aja belum lulus PhD. 
Perindo dan PPP. PPP ini pada irit detail. Perindo ada istrinya Hari Tanoe, dan kalau kalian pernah komplain tentang Mars Partainya, si ibu ini adalah penggubahnya.  


Berikutnya PSI: Tsamara yang caleg 1 ternyata ga ngisi motivasi dan target di formnya *emoji jempol ke bawah* (atau karena udah populer?). Yang menarik di daftar ini ada dua orang pensiunan career diplomat: Iwan H.S. Wiranataatmaja (Dubes Indonesia untuk Iran, Dubes Indonesia untuk Bangladesh), Mangasi Sihombing (Dubes Indonesia untuk Hungaria). 


PAN: ...... yang patut dikomentari cuma Irawati Moerid, yang dulu atlet tenis seangkatan sama Yayuk Basuki (yang sekarang juga aleg DPR dari PAN juga). Di wordpressnya litsus ada berita kalau Irawati ini ikut demo anti LBH tahun 2017. [Aksi Bela Ulama 212 (terfoto mengibarkan bendera hitam bertuliskan Laa Ilaha Illallah putih)

PBB: pada irit detail semua ga ada yang ngisi motivasi dan target jadi ga ada yang bisa direkomendasikan ini udah terakhir horeeee Dobby is freeee!


Utas tanpa edit kosmetik di Twitter:

di threadreaderapp: https://threadreaderapp.com/thread/1102952229559025664.html

Saturday, May 12, 2018

Kenikmatan

Seorang kawan mengunggah fotonya di depan markah nama universitasnya ke Instagram dengan takarir ungkapan syukur atas orgasme intelektual terus-terusan yang ia dapatkan dari program pascasarjana yang sedang ia tempuh saat ini. Saya yang membuka Instagram karena mencari selingan belajar jadi penasaran, pembelajaran macam apa yang kawan saya ini dapatkan di sana?

Rasa penasaran saya tebersit dari pengamatan saya atas proses pembelajaran saya sendiri. Selama setahun terakhir ini, saya menggauli diktat-diktat yang berkutat pada makalah-makalah ilmiah besar. Saya belajar tentang berbagai terobosan penting yang dihasilkan para ilmuwan besar yang berpengaruh dalam membangun fondasi riset ilmu ekonomi modern. Tapi saya tidak menggapai "puncak kenikmatan seksual" dari proses pembelajaran saya. Apakah ada yang salah dengan saya?

Dan apakah kawan saya menggapai kepuasan seksual dari mengamati senggama intelektual yang ia temui di kuliahnya? Kalau iya, apakah dia semacam voyeur?

Sambil pulang, saya membawa sebagian diktat di tangan--rasanya seperti mengangkut stensilan. Saya jadi berpikir, kalau program si kawan bukan melulu ceramah dan membaca makalah, dugaan voyeurisme ini menjadi tidak sahih. Mungkin ia terlibat langsung dengan riset yang dilakukan di universitasnya, dengan profesor dan para staf pengajarnya. Pesta seronok langsung berkelebat di benak saya.

Saya hanya bisa berharap keterlibatannya berdasarkan hubungan suka-sama-suka. Di sisi lain, ketika ia harus bergelut dengan hasil penelitian yang bertentangan dengan konsepsi yang sebelumnya ia pegang, apakah ini suatu bentuk rudapaksa? Perih!

Kemudian apabila kita bicara fakta bahwa banyak program pascasarjana di disiplin ilmu tertentu yang didominasi oleh figur para pria, bagaimana kita menempatkan kenikmatan seksual yang diraih para mahasiswa ini dari proses mereka-reka body-of-work sesama akademisi pria ini di benak mereka?

Terlepas dari orientasi masing-masing cendekia, satu hal yang jelas adalah bahwa upaya memalsukan data adalah setara dengan mengubah penelitian menjadi pelacuran.

Alamak, pelik nian. Mungkin ini sebabnya pendidikan seksual yang pas harus menjadi hajat bersama. Agar tidak semua peristiwa bermuara pada glorifikasi senggama.

*Lalu direspon warganet, "Halah, tahu apa kamu soal~"*

Thursday, March 22, 2018

LinkedIn adalah media sosial paling nggapleki

*Buka app Mail*
from: LinkedIn
date: 12 March 2018 at 17:16
subject: Masyhur, you have a new suggested connection to review 
You are receiving LinkedIn notification emails.
*Unsubscribe*
from: LinkedIn
date: 13 March 2018 at 02:02
subject: Masyhur, people are looking at your LinkedIn profile
You are receiving Professional Identity Digest emails. 
*Unsubscribe*
from: LinkedIn Updates
date: 13 March 2018 at 02:04
subject: Congratulate [name redacted] on the new position 
You are receiving Network Updates Digest emails.
*Unsubscribe*
from: LinkedIn
date: 13 March 2018 at 21:03
subject: Masyhur, you have 8 invitations, 4 job changes and 28 new updates waiting for you on LinkedIn 
You are receiving Activity You Missed emails.
*Unsubscribe*
from: LinkedIn
date: 13 March 2018 at 21:14
subject: Masyhur, more than 12,000 new jobs in Jabodetabek , Indonesia 
This is an occasional email to help you get the most out of LinkedIn.
*Unsubscribe*
from: LinkedIn
date: 14 March 2018 at 19:01
subject: Ikea just joined the gig economy 
You are receiving highlight emails.
*Unsubscribe*






from: LinkedIn Notifications
date: 19 March 2018 at 21:22
subject: Masyhur, see what's new on LinkedIn 
This is an occasional email to help you get the most out of LinkedIn.
 *Keluarin laptop, buka versi web LinkedIn buat matiin semua email notifikasi ga penting yang ga habis-habis.*

Thursday, August 17, 2017

Mata Mama

Saya mendapati Mama terpekur di sudut dapur. Ia duduk diam, dengan pandangan menerawang. Hati saya mencelos melihat matanya yang merah dan basah. "Mama kenapa?"

Saat itu kurang dari seminggu sebelum keberangkatan saya ke Amerika. Jadwal kepergian saya juga berdekatan dengan hari ulang tahunnya yang keenam puluh satu. Kami memang tidak punya tradisi merayakan ulang tahun, tapi saya toh merasa sentimental juga.

Mama menyeka mata. "Iki rodo perih bar taktetetesi kembang melati katarak," jawabnya.

Bunga pembawa mala untuk mata?
Mama menunjukkan sekuntum bunga berwarna putih yang dipetiknya dari rerumputan di samping rumah. Ia berkata Bu Wal dan Mbak Tiwi, tetangga-tetangga kami, juga sering mencari bunga tersebut untuk dipakai sebagai tetes mata. Saya endus-endus bunganya, tapi tidak ada yang tercium. Mama bilang memang tidak ada baunya.

Penjelasan Mama membuat rasa sentimental saya berganti menjadi rasa khawatir. Mungkin Mama melihat raut muka saya sehingga ia berkata bahwa perihnya akan reda. Lalu, pandangannya akan menjadi terang.

Aduh, yang benar saja, pikir saya. Bagaimana kalau justru berbahaya? Saya harus menghentikan Mama mencoba-coba pengobatan alternatif yang tidak jelas landasan medisnya. Tapi sifat keras kepala saya juga turun dari Mama, jadi bagaimana cara saya membujuknya? Saya perlu dukungan kakak dan adik saya.

"Hul," keluh adik saya via whatsapp. Kakak saya menggerundel, karena dia yang hidup serumah dengan Mama sudah pernah melarangnya mencoba-coba cairan bunga ini. Masalahnya kami bertiga cenderung curiga terhadap sebaran-sebaran serampangan di internet, tapi Mama relatif gampang percaya. Mama memang baru akhir-akhir ini terhubung dengan internet di ponselnya. Meski kini ponselnya selalu riuh dengan notifikasi pesan baru di berbagai grup whatsapp yang ia masuki, saya tidak yakin Mama mengerti cara memanfaatkan mesin pencari.

Ini wajar sebetulnya. Kalau saya yang nyaman menggunakan ponsel pun kadang kesulitan menemukan informasi yang diperlukan lewat peramban ponsel saya, apalagi Mama. Begitu pula dengan kasus tetes mata cairan bunga melati katarak ini: saya menemukan bahwa bunganya juga disebut bunga kitolod, kembang jangar atau bunga bintang lima, tapi tak banyak informasi berguna lainnya dalam bahasa Indonesia yang bisa diverifikasi.

Menyebalkannya, saya justru terputar-putar di sekumpulan blog iklan obat-obatan herbal dengan isi yang repetitif; hasil salin-tempel sembarangan antara blog satu dengan yang lain. Singkatnya, saya menemukan bahwa tidak ada yang menyitir studi ilmiah ketika mengklaim manfaat bunga ini. Pun tidak ada pakar kompeten yang pernyataannya dikutip dengan sanad yang baik.

Saya makin sangsi dengan klaim khasiat kitolod. Di kombinasi kata kunci kesekian saya menemukan pakar yang bisa diandalkan justru menyatakan sebaliknya. Lewat Twitternya, Ferdiriva Hamzah yang berpraktik sebagai dokter mata di Jakarta Eye Center memperingatkan bahwa meneteskan cairan bunga ini ke mata justru bisa menyebabkan infeksi di mata. Infeksi ini bisa menyebabkan nanah dan yang lalu menggenang di mata. Hasil akhirnya sama: tetes mata ini bisa mengancam penglihatan.



Ini yang lalu kami tunjukkan ke Mama. Kami tunjukkan juga beberapa tweet balasannya dari orang lain yang mendukung pernyataan dokter tersebut.

Maka kami meminta Mama untuk selalu berkonsultasi dengan dokter jika ada yang mengganggu dengan matanya. Tiga hari setelahnya, adik saya menemani Mama periksa ke klinik dokter mata di RS Islam Klaten. Ibu dokter yang mereka temui meresepkan obat tetes mata betulan untuk meredakan keluhan mata yang dirasakan Mama. Ia juga menyarankan Mama mengompres matanya dengan air dingin tiap pagi dan malam.

Ketika Mama mengantar saya ke bandara di Jakarta, ia lupa membawa tetes matanya. Meski demikian, ia merasa baikan. Saya mengiyakan, sembari berharap Mama selalu dilimpahi berkat kesehatan.


----------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan kaki:
[1] Halaman wikipedia tentang bunga yang saya sebutkan di atas ada di sini. Beberapa kutipan yang relevan:
[A] small amount of sap in the eyes can cause blindness. 
Ingestion of lobeline may cause nausea, vomiting, diarrhea, coughing, dizziness, visual disturbances, hearing disturbances, mental confusion, weakness, slowed heart rate, increased blood pressure, increased breathing rate, tremors, and seizures. Lobeline has a narrow therapeutic index; the potentially beneficial dose of lobeline is very close to the toxic dose. 
[2] Sejauh yang saya temukan, eviserasi yang disebutkan di salah satu tweet balasan di atas adalah operasi pengangkatan isi bola mata hingga menyisakan bagian putihnya saja (sklera). Terdengar mengerikan, memang.

Tuesday, May 2, 2017

Surat dari Niluh

Ketika gerhana melintasi Indonesia tahun lalu, saya memutuskan untuk menyaksikannya di Batui 5, desa tempat saya mengajar sebelumnya. Sebagian siswa yang empat tahun lalu saya ajar di kelas V masih ingat saya, dan salah satunya mengirim surat. Berikut suratnya:

Selamat datang di Batui 5 Pak Masyhur! 
Halo Pak apa kabar kami anak Batui 5 sangat merindukan Pak Masyhur. Apakah Pak Masyhur masih ingat dengan saya? Oh iya, Pak, bagaimana kabar Bu Auliya? Apakah Pak Masyhur tau bagaimana kabar Ibu Auliya? 
Pak kapan ya Pak Masyhur ke Jakarta lagi? Apakah Pak Masyhur lama di sini? Saya ingin Pak Masyhur satu minggu di sini karena kami di sini masih ingin bersama Pak Masyhur. 
Apakah Bapak udah tau saya udah engga lanjut sekolah lagi? Saya engga lanjut sekolah gara-gara orang tua saya engga ngizinin saya untuk sekolah lagi, karena disuruh jaga adik. Udah dulu ya Pak. 
Salam rindu,
dari: Niluh
Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Monday, March 13, 2017

Thinking Is Hard

Gambar dari Buster Benson.
Di tulisan sebelumnya tentang Bumi yang bulat pepat, saya merespon teman saya yang mengagih video konspirasi bentuk bumi. Ketika menulis tanggapan awalnya, saya sadar akan dua hal. Yang pertama, saya harus menjadi persuasif karena menyajikan bantahan faktual saja tidak cukup. Yang kedua, menulis persuasif itu tidak mudah.

Saya punya pengalaman satu tahun untuk poin pertama. Ketika saya mengajar di Banggai, seorang rekan guru saya keranjingan teori konspirasi. Segala macam argumentasi wahyudi-dajjal-illuminati jadi pokok bahasan di jam-jam istirahat. Terkadang saya mendebat balik dengan data dan fakta, tapi tak sekali pun saya sukses membuat si bapak ini berubah pikiran.

Dari pengalaman ini, saya paham bahwa seseorang percaya berita bohong dan teori konspirasi bukan karena kurang pengetahuan. Benak mereka bukan bejana kosong yang menunggu untuk dituangi pengetahuan. Sebaliknya, teori konspirasi ini terpatri di benak mereka karena narasinya memikat emosi dan imajinasi. Mendebat berarti membuat teori konspirasi ini makin sering dibicarakan, dan makin terpatri di pikiran. Menyadari hal ini berarti menyadari bahwa mengubah pandangan orang itu sulit, dan caranya harus dipikirkan masak-masak.

Respek saya terhadap teman saya yang mengagih video itu membuat saya mencoba menjadi sensitif. Maka ketika saya menulis respon saya, saya mengusahakan agar respon saya tidak diinterpretasikan sebagai upaya menyerang pribadi dia (dan saya toh juga tidak berniat menyerangnya). Saya berusaha mengambil pendekatan yang berbeda dari beberapa bentuk tanggapan atas konspirasi bentuk bumi yang sudah ada—yang nadanya mungkin terkesan mengejek atau bahkan membego-begokan orang.

Macam bapak di Facebook ini yang membego-begokan sopir Grab yang ia tumpangi.
Di sini saya bersepakat dengan Michael Shermer. Ia menulis di Scientific American tentang panduan meyakinkan orang yang tidak mau percaya fakta:
1. Jangan emosian,
2. Bahas isunya, jangan serang orangnya,
3. Simak dan coba jelaskan ulang pandangan lawan bicara dengan akurat,
4. Tunjukkan respek,
5. Sampaikan bahwa kita paham kenapa lawan bicara punya pandangan seperti itu, dan
6. Coba tunjukkan bahwa mengadopsi fakta bukan berarti harus mengubah mazhab hidup mereka.

Namun, untuk poin keenam saya mencoba mengambil langkah berseberangan. Alasan saya, prinsip keenam ini justru sudah dipakai oleh video tersebut yang bilang bentuk Bumi tidak ada efeknya ke keseharian kita. Menurut saya, justru ucapan ini sok-sok menutupi disonansi kognitif yang akan terjadi ke konsekuensi kiblat salat si penonton video. Meminjam pertanyaan Ma’rufin Sudibyo di tulisan Evan, siap tidak mereka salat menghadap (hampir) ke utara di Indonesia saat meyakini Bumi datar? Siap nggak mereka mengubur jasad yang muslim dalam arah hampir barat-timur kala meyakini Bumi datar? Dugaan saya, untuk menghindari disonansi kognitif, orang akan lebih cenderung mempertahankan kiblat yang benar ke arah barat, yang ditentukan ilmuwan dan ulama muslim dengan pedoman bentuk bumi bulat.

Saya akui trik ini kesannya agak murahan. Tapi retorika harus dilawan dengan retorika. Video teori konspirasinya menggugah sekali, tapi kalau kita bisa mengenali mengapa videonya menggugah, kita bisa lebih wawas diri menimbang argumentasi yang disajikan.

Saya beruntung punya banyak pengalaman jadi juri debat yang memaksa saya untuk mendengarkan argumen, bantahan, dan bualan banyak tim debat. Saya dilatih menggunakan kerangka yang logis untuk mengevaluasi bualan-bualan mereka dan memilih argumen serta bantahan pihak yang mana yang mau saya percayai. Jadi, begitu saya wawas akan teknik retorika yang sedang dipakai, saya tetap bisa melihat apakah argumentasinya sesuai dengan logika dan fakta. Kalau teknik retorikanya mumpuni tapi isinya kosong? Saya tinggal bilang, "Ah, bokis lu."

Itu juga yang saya bilang ketika narator konspirasi berkata di awal video, "Ketika ada orang yang mengatakan pada saya bahwa bumi itu datar, saya pikir ini orang ngawur. Saya langsung melakukan riset untuk membantah, sekaligus menyelidiki siapa aktor intelektual yang menyebarkan disinformasi tentang Bumi datar. Ternyata yang saya temukan justru sebaliknya…" "Ah bokis!"

Di teori Aristoteles yang membagi retorika menjadi ethos, pathos, dan logos, kutipan narator di atas adalah contoh pathos. Naratornya memainkan emosi pemirsa dengan menceritakan bahwa ia adalah bagian dari kelompok mereka yang skeptis. I am like you—sementara penganut Bumi datar ini ngawur. Ini tujuannya untuk membangun rasa percaya, dan begitu pemirsanya terhanyut oleh rasa percaya, mereka jadi lebih rentan untuk menelan mentah-mentah argumentasi-argumentasi berikutnya.

(Sesungguhnya teknik ini juga banyak dipakai oleh ulama mualaf yang lalu menjelekkan agama awalnya dia, atau pedande/pendeta yang dulunya Islam lalu menjelek-jelekkan Islam. Kedua-dua jenis ini sama-sama makanan saya di jam istirahat mengajar, jadi selalu kenyang lah. Pada dasarnya sama aja sih semuanya, tapi itu bahasan lain lagi.)

Pada tulisan sebelumnya, saya meminta teman saya untuk menulis. Saya optimis proses sintesa yang panjang untuk menghasilkan tulisan bisa membuatnya menimbang mengapa ia percaya pada argumentasi pembuat video.

Di sisi lain, saya sadar permintaan saya agar teman saya ini menulis kritis bukan permintaan yang mudah. Tidak semua orang terampil menulis, dan melihat rendahnya hasil PISA terakhir kita, sudah jelas bahwa sintesa pengetahuan bukan keterampilan yang biasa diasah di sekolah. Tapi saya percaya kalau kawan saya ini mau meluangkan waktu untuk menulis, diskusinya lalu bisa bergerak maju. Saya berharapnya kalau teman saya menulis, dia mau menggunakan daftar pertanyaan yang disusun Arie Prasetyo yang sudah runtut yang bisa digunakan untuk membangun argumentasi Bumi datar yang logis. Respon-respon yang ada di blognya Arie saat ini sih lebih banyak yang menyedihkan dan tidak menjawab pertanyaan yang ada (mungkin karena yang memberi respon juga sama-sama tidak paham).

Dialog yang tidak berjalan ini juga yang membuat saya kasihan dengan Pak Thomas Djamaluddin. Dari diskusi serupa di LAPAN, saya melihat beliau sudah capek-capek meluangkan waktu menemui perwakilan komunitas Bumi datar, tapi karena mereka tidak bisa mengartikulasikan argumennya dengan jelas, ya ngga nyambung jadinya. Bagaimana lagi menjelaskan edaran mereka yang membantah penjelasan Kepala LAPAN yang teknis menggunakan seruan konspirasi ekonomi?

Entahlah, mungkin anggota komunitas Bumi datar ini sudah merasa bahwa sains kita sudah hilang legitimasinya. Menurut saya, ini yang membuat fakta mental kalau dilempar ke mereka. Sialnya, begitu legitimasi sains hilang di mata mereka, sulit mengembalikannya. Duncan Watts menulis,

Creating legitimacy is hard in part because it is intrinsically self-referential. For example, why should I trust that claims made by scientists? The answer, one would hope, is that scientists are required by their peers to follow the scientific method, which is the most reliable mechanism we have for uncovering facts about the world. But how do I know that the scientific method is reliable, and not just an elaborate hoax perpetrated by scientists? The answer, again, is that we know science works because of all the useful facts it has established about the world. As a scientist I happen to believe this argument, but it is unavoidably self-referential: science is to be trusted because it establishes facts, and facts are to be trusted because they are established by science. 
The self-referentiality is critical, because if I suddenly decide to stop trusting science — both methods and results — there is no easy way for science itself to re-establish that trust. Most discussions about legitimacy end up veering back and forth between the trustworthiness of the outcome (in this case, information) and the trustworthiness of the process that generates the outcome.

Watts pesimis upaya Facebook menandai berita bohong sebagai berita bohong akan berdampak banyak.  Namun menurut saya meski upaya membantah hoax dan teori konspirasi tidak selalu manjur mengubah pandangan penganutnya, ini bisa membuat orang tersebut tidak makin menyebarkan berita hoax itu lagi. Upaya ini bisa memutus siklus.

Bagi para penganutnya, berita bohong dan teori konspirasi ini terpatri karena mudah dipahami, membangkitkan emosi (rasa takut), dan berasal dari sumber yang ia percaya. Ini sebabnya Debunking Handbook mengatakan kita harus menajamkan pesan yang kita sampaikan untuk mematahkan teori konspirasi. Agar pesan kita mudah diingat ada tiga syaratnya:
1. penjelasan kita harus sederhana (jangan terlalu rumit!)
2. bangkitkan emosi tandingan, dan
3. jelaskan bahwa sumber awal tadi tidak boleh mentah-mentah dipercaya.

Dengan begitu penjelasan baru ini bisa mengisi ruang kosong di benak lawan biasa yang muncul ketika teori konspirasi ini dihapus. Jika tidak diisi, teori konspirasi bisa tumbuh lagi di ruang yang sama.

Saya percaya mencegah akan selalu lebih baik daripada mengobati. Untuk kasus ini cara pencegahannya adalah dengan banyak belajar bagaimana menalar argumentasi kita dengan kritis. Saya temukan ada beberapa kelas yang mengajarkan cara bernalar, termasuk di Oxford yang bisa diakses gratis podcastnya, atau di Universitas Washington yang bisa diakses silabusnya.

Panduan saya yang lainnya adalah untuk selalu mengecek apakah ada cacat logika bias kognitif di penalaran saya. Mengambil kategorisasi dari Buster Benson di infografis di awal tulisan ini, ada empat hal yang bisa menyebabkan penalaran kita menjadi bias: kebanjiran informasi, kecenderungan mereka-reka pola, waktu yang terbatas, dan memori yang sempit. Ketika saya sadar atas keterbatasan ini, saya tahu harus mengumpulkan informasi. Maka, saat saya ingin merespon teori konspirasi yang dipercaya teman saya, saya mulai dengan membaca. Saya sarankan Anda juga.

—————————————
Kalau Anda ingin ikut membaca, saya bisa sarankan tautan-tautan di bawah ini:

1. Kenapa Orang Cerdas Pun Bisa Termakan Hoax? - Hujan Tanda Tanya [Video]
https://youtu.be/EUiVtW-45Ss
2. Mereka yang Cerdas tapi Ekstrem - Andre Pramudya (Qureta)
http://www.qureta.com/post/mereka-yang-cerdas-tapi-ekstrem
3. Debunking Handbook - John Cook (Univ. Queensland) and Stephan Lewandowsky (UWA)
https://www.skepticalscience.com/docs/Debunking_Handbook.pdf
4. What Is Motivated Reasoning and How Does It Work? - Dan Kahan (Yale Law School)
http://www.scienceandreligiontoday.com/2011/05/04/what-is-motivated-reasoning-and-how-does-it-work/
5. Calling Bullshit in the Age of Big Data - Silabus University of Washington
http://callingbullshit.org/syllabus.html
6. Rebuilding Legitimacy in a Post-truth Age - Duncan Watts (Microsoft)
https://medium.com/@duncanjwatts/rebuilding-legitimacy-in-a-post-truth-age-2f9af19855a5
7. Critical Reasoning for Beginners - Marienne Talbot (Oxford University)
http://podcasts.ox.ac.uk/series/critical-reasoning-beginners
8. Getting a scientific message across means taking human nature into account - Rose Hendricks (UC San Diego)
https://theconversation.com/getting-a-scientific-message-across-means-taking-human-nature-into-account-70634
9. You’re the fact checker now - Stanford Alumni
https://medium.com/stanford-alumni/youre-the-fact-checker-now-60103eaeaf3a#.dvz8et26l
10. Fake news and the spread of misinformation - Denise-Marie Ordway (Journalist’s Resource dari Shorenstein Center Harvard Kennedy School)
https://journalistsresource.org/studies/society/internet/fake-news-conspiracy-theories-journalism-research
11. Cognitive bias cheat sheet - Buster Benson
https://betterhumans.coach.me/cognitive-bias-cheat-sheet-55a472476b18#.hkf1kn3o7
versi infografis dan ringkasan: https://medium.com/thinking-is-hard/4-conundrums-of-intelligence-2ab78d90740f#.92tvrudrl
12. Why bullshit is no laughing matter - Gordon Pennycook (University Waterloo)
https://aeon.co/ideas/why-bullshit-is-no-laughing-matter
13. This one weird trick will not convince conservatives to fight climate change - David Roberts (Vox)
http://www.vox.com/science-and-health/2016/12/28/14074214/climate-denialism-social
14. How to Convince Someone When Facts Fail - Michael Shermer
https://www.scientificamerican.com/article/how-to-convince-someone-when-facts-fail/
15. Conspiracy theory - RationalWiki
http://rationalwiki.org/wiki/Conspiracy_theory
16. Diskusi dengan kelompok Flat Earth Indonesia - Arie M Prasetyo [Daftar pertanyaan konsekuensi dogma Bumi datar]
https://as3c.wordpress.com/2017/01/15/diskusi-dengan-kelompok-flat-earth-indonesia/
17. Why Facts Don't Change Our Minds -  Elizabeth Kolbert
http://www.newyorker.com/magazine/2017/02/27/why-facts-dont-change-our-minds
18. Livetweet dari konferensi Fake News di Harvard - Herman Saksono -
https://twitter.com/hermansaksono/status/832769428768960513

Tuesday, March 7, 2017

Bulat Pepat

Akhir tahun lalu, saya merasa tersanjung oleh seorang teman yang gigih bertanya tentang bentuk Bumi ke saya. Rasanya ia menganggap saya pakar. Sebetulnya, ini langkah yang bagus ditiru: selalu tanya ke pakarnya kalau ada banjir informasi yang simpang-siur.

Tapi kalau kita tidak bisa menemukan pakarnya (atau mungkin mereka sibuk), apa yang bisa kita lakukan? Menurut saya, ketika kita kena banjir informasi, masing-masing kita harus bisa jadi jurnalis dan editor. Dari membaca buku Blur-nya Bill Kovach, saya menemukan tiga pertanyaan yang bisa dipakai jadi pegangan memilah informasi: 1. Siapa dan apa sumbernya, dan kenapa mereka bisa dipercaya? 2. Apa buktinya? 3. Apa penjelasan alternatifnya?

Dalam konteks video tendensius konspirasi bentuk bumi itu, pertama-tama saya sangsi dengan kredibilitasnya yang membuat videonya. Akunnya anonim, dan ketika saya telusuri blog yang ada di profilnya, isinya cuma link ke kanal YouTube yang sama. Berputar-putar di situ saja, tanpa informasi tambahan siapa pembuatnya.

Maka saya cari informasi yang lain, dan saya lalu menemukan ada Eric Dubay yang mengarang buku tentang Bumi yang datar. Karena Eric ini juga pentolan komunitas Bumi datar, maka saya lalu menelusuri siapa dia. Yang saya temukan, dia menyebut dirinya adalah seorang guru yoga dari Amerika yang tinggal di Thailand.

Saya rasa kita bisa sepakat kalau guru yoga bukan sumber yang kredibel tentang geometri, teknologi, atau astronomi. Yang harus diperhatikan juga adalah, apa motif dia menyebarluaskan propaganda ini? Sejak saya membaca artikel di Tirto yang menunjukkan bahwa bisnis berita palsu ini untungnya bukan recehan, saya merasa motif mereka yang anonim makin patut dipertanyakan. Teman saya yang bertanya ini awalnya menyebutkan bahwa si pembuat video adalah pengusaha yang tidak lagi perlu cari uang—tapi ini klaim yang sanadnya tidak jelas juga. Kita pun harus selalu ingat bahwa untung bentuknya tidak harus berupa uang. (Misalnya, Untung bentuknya angsa.)

Jadi, selalu telusuri kredibilitas sumber informasi. Di sisi lain, lalu apakah misalnya ada alumni astronomi ITB yang membuat video serupa, kita harus langsung percaya? Tidak juga. Janganlah kita silau dengan CV siapa pun. Kata para pendiri Royal Society of London, nullius in verba. Take nobody’s word for it. Mari kita bereksperimen sendiri.

Dengan teman saya tadi, saya merujuknya ke pelajaran IPA waktu SD. Di buku-buku pelajaran, bukti Bumi bulat yang paling sering dirujuk adalah kapal dari kejauhan muncul tiangnya dulu, baru bodinya. Karena Jakarta lokasinya tidak jauh dari pantai, ini sebetulnya bukan hal yang sulit untuk dicoba sendiri. Seandainya saya tinggal dekat Majene di Sulawesi, saya penasaran ingin menyaksikan Sandeq race dengan mata kepala sendiri sekaligus observasi hilangnya kapal. Opsi lain tentu saja adalah pergi ke Lembata di Nusa Tenggara. Di sana, para warga tekun memindai cakrawala, mencari tanda-tanda ikan paus untuk diburu—mungkin sama tekunnya dengan para bajak laut zaman dahulu yang saling menyahut, “Hull down!

Teriakan "Two ships, hull down!" ngga dramatis memang kalau targetnya kapal kargo modern.
Gambar dari civilwartalk.com.
Tapi karena pergi ke Sulawesi tidak murah juga, yang penting dipegang adalah prinsipnya, yaitu gunakan langkah-langkah metode ilmiah. Mulai dari (1) pengamatan, lalu (2) bentuk hipotesis untuk menghasilkan (3) prediksi. Lanjutkan dengan (4) eksperimen, sehingga kita bisa melakukan (1) pengamatan, untuk menajamkan (2) hipotesis dan menghasilkan (3) prediksi baru untuk diuji dengan (4) eksperimen, dan seterusnya. Ini bukan metode baru, toh ini juga yang dipakai ilmuwan zaman dahulu untuk meninggalkan pandangan geosentris ke heliosentris.

Di sini kita menemui tantangan baru. Eksperimen bisa mahal, dan eksperimen bisa lama. Bagaimana mengatasinya? Membaca hasil pengamatan mereka yang sudah pernah melakukannya. Untuk pengamatan tentang bentuk Bumi, kita bisa merunut sejarah sains untuk hasil pengamatan mereka yang pernah bereksperimen dan mencatat pengamatan mereka. Sains kita panjang sejarahnya tentang penyelidikan bentuk Bumi, dari Erastothenes sampai Abu Rayhan Biruni. Berbekal pengetahuan bentuk bulat Bumi, mereka juga menaksir panjang jari-jari Bumi. Dari pengetahuan yang sama, para ilmuwan Islam lalu menentukan arah kiblat Indonesia ke Masjidil Haram.

Ini sebabnya saya menyanggah klaim pembuat video yang mengatakan, Bumi bulat atau datar tidak ada pengaruhnya pada keseharian. Kiblat umat muslim di Indonesia menghadap barat serong utara ditentukan dengan memahami busur lingkaran besar Bumi yang berbentuk bola, yang lalu diperkuat dengan pengamatan yang saksama. Kalau Bumi ternyata bentuknya datar, lain lagi arah kiblatnya. Jadi apakah kiblat ke arah barat laut yang ditentukan ilmuwan muslim zaman dahulu itu salah? Kalau Bumi benar datar, masih sahkah salat muslim di Indonesia?

Tapi taruhlah teori Bumi datar ini memang benar-benar benar. Apabila penjelasan Bumi datar adalah hipotesis ilmiah yang bukan berdasar pada dogma semata, hipotesis ini bisa diturunkan menjadi prediksi yang lalu bisa diamati. Dan di sini teori ini akan menemui kesulitan menjelaskan fenomena benda langit yang sudah banyak diamati. Misalnya, kalau Bumi datar, mengapa Bulan, planet-planet, dan benda-benda langit yang lain bulat? Kenapa kita spesial? Kalau Bumi datar dan Matahari besarnya hanya puluhan kilometer, bagaimana cara Matahari bisa bersinar mengingat ukuran sebesar itu tidak memungkinkan terjadinya reaksi fusi hidrogen? Kenapa ketika puncak musim panas di belahan Bumi selatan, Matahari tidak pernah tenggelam?

Ada tulisan lebih lengkap tentang perbandingan antara prediksi dan pengamatan ini dari Evan, senior saya di astronomi ITB di sini. Ada juga Tri, doktor di bidang astronomi lulusan Leiden yang kini di DTM Carnegie, yang menulis tentang bagaimana kita tahu Bumi tidak datar. Tulisan Tri ini sebetulnya bagian kedua dari trilogi. Bagian pertamanya tentang bagaimana kita tahu Bumi itu bulat, sementara bagian ketiganya tentang hidup di permukaan bola. Tulisan-tulisan ini sangat saya sarankan untuk dibaca.

Kembali ke video tersebut, menurut hemat saya pembuat video itu banyak “membuktikan” klaim dengan cara menarik kesimpulan yang salah. “Membuktikan” dengan tanda kutip, karena struktur argumennya biasanya seperti ini:
Pernyataan 1: A benar.
Pernyataan 2: B menyebabkan kebenaran tidak dapat dibuktikan.
Kesimpulan: A benar.
Tapi ini bukan cara menarik kesimpulan yang logis, karena pernyataan 2 sebetulnya tidak membuktikan pernyataan 1. Maka, kesimpulan di atas bukan kesimpulan yang logis. Alur yang sama juga berlaku kalau A diganti “Bumi datar” dan B dipakai merujuk NASA. Lebih kompleks lagi ketika cocoklogi ini melibatkan dalil-dalil kitab suci (tapi tetap cocoklogi). Evan membahas cocoklogi agama ini lebih banyak di tulisannya yang ini.

Harus diakui, sebagian klaim yang diajukan pembuat video Bumi datar tersebut bantahannya bisa menjadi kasat mata, tapi perlu waktu yang lama. Misalnya, tentang Matahari dan Bulan yang disebut besarnya sama. Seandainya kita bisa menunggu pengamatan kedua benda langit itu beberapa juta tahun lagi, bulan akan terlihat lebih kecil. Secara perlahan-lahan, orbit Bulan mengitari Bumi akan makin besar akibat gaya pasang surut.

Sebaliknya, beberapa klaim lain sebetulnya mudah untuk disangkal dengan bukti. Misalnya, klaim bahwa satelit tidak bisa diamati padahal ada satelit buatan seperti ISS yang terangnya bisa menyamai planet Venus. Orbit satelit ini juga sempat melintasi cakrawala Jakarta di awal tahun ini.

Sayangnya, para pendukung teori ini biasanya lalu berdalih bahwa semua foto satelit itu CGI. Foto Bumi dari luar angkasa juga dibilang CGI. Foto spacewalk juga CGI. Tanpa rujukan parameter jelas apa yang bisa dipakai untuk membedakan foto CGI dan yang asli, semua-mua dibilang CGI. Karena ini jelas resep sukses memulai debat kusir yang tidak berujung, menurut saya sih sebetulnya ada prinsip cukuran Occam yang bisa dipakai untuk menengarai kemungkinan benarnya sebuah teori konspirasi. Sesuai prinsip ini, penjelasan fenomena dunia tanpa konspirasi lebih sederhana, dan penjelasan lebih sederhana ini yang biasanya lebih mendekati fakta. Terlebih ketika ada ribuan ilmuwan di seluruh dunia, argumen bahwa mereka semua bersekongkol untuk memajukan konspirasi ini sulit dipercaya benarnya. Misalnya, jika foto benda-benda langit hanyalah CGI, kenapa para ilmuwan harus menunggu sampai 2016 hanya untuk tahu sejumput permukaan Pluto?

Walau diambilnya tahun 1972, pokoknya hasil Photoshop!
Gambar dari NASA.

Saya lihat argumentasi konspirasi ini sering hanya mengedepankan cerita. Yang menggelitik saya, “bukti konspirasi” yang diajukan pembuat video itu utamanya adalah cuplikan film Hollywood macam Men In Black dan The Matrix, yang jelas-jelas film fiksi. Di cuplikan lain pembuat video ini membeberkan rahasia Bumi datar yang tertera di logo PBB. Ini jelas aneh, kalau memang ada konspirasi global, masa mereka tidak bisa memengaruhi logo PBB agar tidak menunjukkan rahasianya?

Sulit bagi saya untuk merespon satu per satu klaim yang muncul di video itu. Saya tidak menutup diri untuk diajak diskusi, tapi saya perlu juga menjaga waktu saya tidak tersedot untuk topik yang tidak saya minati. Saya sampaikan ke teman saya itu kalau saya perlu memperjuangkan hak-hak saya untuk jalan-jalan, makan-makan, dan main-main.

Saran saya, kalau Anda mendapati teman Anda mengajukan teori serupa, minta dia menulis. Dengan klaim yang tendensius, sulit mengira-ngira seberapa paham para penyebar tautan ini dengan materi yang mereka sebarkan, apakah 100%, 69%, atau berapa. Tanpa cara mudah menaksir pemahaman teman, diskusi yang produktif sulit berkembang. Sebar-sebar tautan itu gampang, tapi belum membuka ruang agar diskusi bisa berjalan. Untuk itu, perlu tulisan yang menunjukkan bagian mana saja yang ia setuju dan paham.

Ini juga yang saya minta ke teman saya di awal. Saya minta teman itu mulai dengan mencari sumber yang kredibel tentang bentuk bumi, lalu menuliskan pemahamannya tentang sumber tersebut. Tulisannya tentu boleh berbentuk apapun: catatan, blog, apapun, tapi tidak boleh hanya sekadar menerjemahkan/menyalin. Menulisnya harus dengan kritis dan catatannya harus berupa sintesa (ini level tertinggi taksonomi pembelajaran Bloom). Melalui tulisan yang lengkap, pakar yang mau terlibat bisa mudah memberikan penjelasan yang tepat tentang bentuk Bumi yang bulat pepat. Dengan begitu, ketika ia gigih bertanya, mudah pula mendapat jawabnya.