Di bulan Ramadan kali ini saya ingin mengulas tulisan ihwal persilangan Islam dan teori ekonomi. Bukan apa-apa, mumpung peringatan Nuzulul Quran dan saya baru saja membaca tulisan yang pas: Islam, Inequality, and Pre-Industrial Comparative Development yang terbit di Journal of Development Economics tahun 2016. Ini adalah tulisan Stelios Michalopoulos di Universitas Brown, Alireza Naghavi di Universitas Bologna, dan Giovanni Pralolo yang juga di Universitas Bologna.
Studi ini adalah sebuah kajian teori yang membahas akar-akar ekonomi yang menghasilkan struktur doktrin Islam. Dengan kata lain, mereka mengajukan teori ini untuk merasionalisasikan prinsip ekonomi dalam doktrin Islam. Namun perlu dicatat bahwa mereka tidak berteori tentang teologi Islam di makalah ini. (Saya pun juga tidak mau berteori tentang hal itu.)
Kajian mereka bersandar pada tiga komponen: perdagangan, kesenjangan, dan teori permainan (game theory).
Perdagangan: Islam muncul dengan goyahnya jalur-jalur perdagangan lama di abad ke-7. Perang berkepanjangan antara Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Sasani di Persia mengganggu perdagangan di Jalur Sutera. Pun runtuhnya Kerajaan Ghassaniyah di Syam dan Kerajaan Lakhmid di Irak membuat rute yang biasa dilalui para saudagar tidak lagi aman dari serangan. Di selatan Jazirah Arab, Kerajaan Himyar di Yaman takluk pada Kerajaan Aksum. Sementara itu, menyusutnya kekuatan maritim Kekaisaran Romawi Timur membuat jalur perdagangan Laut Merah rawan perompakan.
Ini mendorong terbukanya rute perdagangan baru di tengah jazirah, karena kaum saudagar mulai melintasi Gurun Arab.
Kesenjangan: Gurun Arab adalah daerah penuh kesenjangan. Mayoritas tanah gurun tidak bisa dipakai bercocok tanam dan hanya kantung-kantung oasis terpencil yang mampu menyokong pertanian dan perdagangan. Para penulis mengkarakterisasikan masyarakat ini menjadi dua kelompok: kaum saudagar dari daerah subur yang kaya dan kaum badui dari daerah gersang yang miskin. Kaum saudagar berdagang, sementara kaum badui mencoleng.
Teori: Berdagang ada biayanya bagi kaum saudagar, pun mencoleng ada pula biayanya bagi kaum badui. Pencolengan belum tentu sukses, tapi jika dengan perhitungan probabilitas sukses itu ekspektasi imbalannya lebih besar maka kaum badui akan mencoleng. Begitu pula untuk kaum saudagar, jika dengan suatu probabilitas mereka bisa sukses mempertahankan dagangan mereka dari kaum badui untuk mendapat imbal yang besar, mereka akan berdagang.
Kaum saudagar ini bisa juga bersedekah atau berzakat kepada kaum badui agar mereka tidak mencoleng. Dengan kata lain, kaum saudagar punya dua opsi: berzakat atau tidak berzakat sementara kaum badui juga punya dua opsi: mencoleng atau tidak mencoleng. Pasangan {zakat, tidak mencoleng} adalah pilihan yang paling memakmurkan kedua belah pihak, namun piilhan ini rentan diingkari karena zakat adalah konsep redistribusi satuwaktu (statis). Kaum badui akan mendapat imbalan yang lebih besar dari {zakat, mencoleng} maka mereka akan ingkar. Pun kaum saudagar akan jadi berstrategi untuk tidak berzakat. Ekulibrium Nash permainan ini maka akan berakhir di pasangan {tidak berzakat, mencoleng}.
Beranjak dari sistem statis yang buyar, Islam bisa dilihat sebagai suatu kesepakatan untuk mengubah sistem redistribusi satuwaktu menjadi redistribusi antargenerasi (dinamis). Menurut para penulis, inti dari redistribusi dinamis ini bisa mengambil bentuk friksi apa pun yang mencegah pemusatan aset. Dalam teori mereka, ini berbentuk zakat plus wakaf dan hukum anti-riba.
Skema teori permainan ini kini berubah dari permainan statis ke dinamis. Dari skema pohon permainan ini pasangan aksi {adopsi islam, tidak mencoleng} bisa langgeng dengan satu syarat: distribusi tanah gurun di sekeliling tanah oasis yang subur ada di atas suatu ambang kritis (lamda c-tilda-s). Dengan kata lain, dominasi tanah gurun yang menghambat kaum badui untuk memetik manfaat langsung dari terbukanya jalur perdagangan baru inilah yang lalu berujung pada sistem kelembagaan ekonomi Islam yang diadopsi bangsa Arab.
Para penulis menutup studi dengan menyitir kajian mereka yang lain yang terbit di Economic Journal tahun 2018 yang melihat jarak ke jalur perdagangan dan kesenjangan geografis bisa memprediksi adopsi Islam di kawasan Afro-Eurasia. Saya sarankan untuk membacanya jika tertarik.
Rujukan
Michalopoulos, S., Naghavi, A., & Prarolo, G. (2016). Islam, inequality and pre-industrial comparative development. Journal of Development Economics, 120, 86-98.
Michalopoulos, S., Naghavi, A., & Prarolo, G. (2018). Trade and Geography in the Spread of Islam. The Economic Journal, 128(616), 3210-3241.
No comments:
Post a Comment