Tapi kalau kita tidak bisa menemukan pakarnya (atau mungkin mereka sibuk), apa yang bisa kita lakukan? Menurut saya, ketika kita kena banjir informasi, masing-masing kita harus bisa jadi jurnalis dan editor. Dari membaca buku Blur-nya Bill Kovach, saya menemukan tiga pertanyaan yang bisa dipakai jadi pegangan memilah informasi: 1. Siapa dan apa sumbernya, dan kenapa mereka bisa dipercaya? 2. Apa buktinya? 3. Apa penjelasan alternatifnya?
Dalam konteks video tendensius konspirasi bentuk bumi itu, pertama-tama saya sangsi dengan kredibilitasnya yang membuat videonya. Akunnya anonim, dan ketika saya telusuri blog yang ada di profilnya, isinya cuma link ke kanal YouTube yang sama. Berputar-putar di situ saja, tanpa informasi tambahan siapa pembuatnya.
Maka saya cari informasi yang lain, dan saya lalu menemukan ada Eric Dubay yang mengarang buku tentang Bumi yang datar. Karena Eric ini juga pentolan komunitas Bumi datar, maka saya lalu menelusuri siapa dia. Yang saya temukan, dia menyebut dirinya adalah seorang guru yoga dari Amerika yang tinggal di Thailand.
Saya rasa kita bisa sepakat kalau guru yoga bukan sumber yang kredibel tentang geometri, teknologi, atau astronomi. Yang harus diperhatikan juga adalah, apa motif dia menyebarluaskan propaganda ini? Sejak saya membaca artikel di Tirto yang menunjukkan bahwa bisnis berita palsu ini untungnya bukan recehan, saya merasa motif mereka yang anonim makin patut dipertanyakan. Teman saya yang bertanya ini awalnya menyebutkan bahwa si pembuat video adalah pengusaha yang tidak lagi perlu cari uang—tapi ini klaim yang sanadnya tidak jelas juga. Kita pun harus selalu ingat bahwa untung bentuknya tidak harus berupa uang. (Misalnya, Untung bentuknya angsa.)
Jadi, selalu telusuri kredibilitas sumber informasi. Di sisi lain, lalu apakah misalnya ada alumni astronomi ITB yang membuat video serupa, kita harus langsung percaya? Tidak juga. Janganlah kita silau dengan CV siapa pun. Kata para pendiri Royal Society of London, nullius in verba. Take nobody’s word for it. Mari kita bereksperimen sendiri.
Dengan teman saya tadi, saya merujuknya ke pelajaran IPA waktu SD. Di buku-buku pelajaran, bukti Bumi bulat yang paling sering dirujuk adalah kapal dari kejauhan muncul tiangnya dulu, baru bodinya. Karena Jakarta lokasinya tidak jauh dari pantai, ini sebetulnya bukan hal yang sulit untuk dicoba sendiri. Seandainya saya tinggal dekat Majene di Sulawesi, saya penasaran ingin menyaksikan Sandeq race dengan mata kepala sendiri sekaligus observasi hilangnya kapal. Opsi lain tentu saja adalah pergi ke Lembata di Nusa Tenggara. Di sana, para warga tekun memindai cakrawala, mencari tanda-tanda ikan paus untuk diburu—mungkin sama tekunnya dengan para bajak laut zaman dahulu yang saling menyahut, “Hull down!”
Teriakan "Two ships, hull down!" ngga dramatis memang kalau targetnya kapal kargo modern. Gambar dari civilwartalk.com. |
Di sini kita menemui tantangan baru. Eksperimen bisa mahal, dan eksperimen bisa lama. Bagaimana mengatasinya? Membaca hasil pengamatan mereka yang sudah pernah melakukannya. Untuk pengamatan tentang bentuk Bumi, kita bisa merunut sejarah sains untuk hasil pengamatan mereka yang pernah bereksperimen dan mencatat pengamatan mereka. Sains kita panjang sejarahnya tentang penyelidikan bentuk Bumi, dari Erastothenes sampai Abu Rayhan Biruni. Berbekal pengetahuan bentuk bulat Bumi, mereka juga menaksir panjang jari-jari Bumi. Dari pengetahuan yang sama, para ilmuwan Islam lalu menentukan arah kiblat Indonesia ke Masjidil Haram.
Ini sebabnya saya menyanggah klaim pembuat video yang mengatakan, Bumi bulat atau datar tidak ada pengaruhnya pada keseharian. Kiblat umat muslim di Indonesia menghadap barat serong utara ditentukan dengan memahami busur lingkaran besar Bumi yang berbentuk bola, yang lalu diperkuat dengan pengamatan yang saksama. Kalau Bumi ternyata bentuknya datar, lain lagi arah kiblatnya. Jadi apakah kiblat ke arah barat laut yang ditentukan ilmuwan muslim zaman dahulu itu salah? Kalau Bumi benar datar, masih sahkah salat muslim di Indonesia?
Tapi taruhlah teori Bumi datar ini memang benar-benar benar. Apabila penjelasan Bumi datar adalah hipotesis ilmiah yang bukan berdasar pada dogma semata, hipotesis ini bisa diturunkan menjadi prediksi yang lalu bisa diamati. Dan di sini teori ini akan menemui kesulitan menjelaskan fenomena benda langit yang sudah banyak diamati. Misalnya, kalau Bumi datar, mengapa Bulan, planet-planet, dan benda-benda langit yang lain bulat? Kenapa kita spesial? Kalau Bumi datar dan Matahari besarnya hanya puluhan kilometer, bagaimana cara Matahari bisa bersinar mengingat ukuran sebesar itu tidak memungkinkan terjadinya reaksi fusi hidrogen? Kenapa ketika puncak musim panas di belahan Bumi selatan, Matahari tidak pernah tenggelam?
Ada tulisan lebih lengkap tentang perbandingan antara prediksi dan pengamatan ini dari Evan, senior saya di astronomi ITB di sini. Ada juga Tri, doktor di bidang astronomi lulusan Leiden yang kini di DTM Carnegie, yang menulis tentang bagaimana kita tahu Bumi tidak datar. Tulisan Tri ini sebetulnya bagian kedua dari trilogi. Bagian pertamanya tentang bagaimana kita tahu Bumi itu bulat, sementara bagian ketiganya tentang hidup di permukaan bola. Tulisan-tulisan ini sangat saya sarankan untuk dibaca.
Kembali ke video tersebut, menurut hemat saya pembuat video itu banyak “membuktikan” klaim dengan cara menarik kesimpulan yang salah. “Membuktikan” dengan tanda kutip, karena struktur argumennya biasanya seperti ini:
Pernyataan 1: A benar.Tapi ini bukan cara menarik kesimpulan yang logis, karena pernyataan 2 sebetulnya tidak membuktikan pernyataan 1. Maka, kesimpulan di atas bukan kesimpulan yang logis. Alur yang sama juga berlaku kalau A diganti “Bumi datar” dan B dipakai merujuk NASA. Lebih kompleks lagi ketika cocoklogi ini melibatkan dalil-dalil kitab suci (tapi tetap cocoklogi). Evan membahas cocoklogi agama ini lebih banyak di tulisannya yang ini.
Pernyataan 2: B menyebabkan kebenaran tidak dapat dibuktikan.
Kesimpulan: A benar.
Harus diakui, sebagian klaim yang diajukan pembuat video Bumi datar tersebut bantahannya bisa menjadi kasat mata, tapi perlu waktu yang lama. Misalnya, tentang Matahari dan Bulan yang disebut besarnya sama. Seandainya kita bisa menunggu pengamatan kedua benda langit itu beberapa juta tahun lagi, bulan akan terlihat lebih kecil. Secara perlahan-lahan, orbit Bulan mengitari Bumi akan makin besar akibat gaya pasang surut.
Sebaliknya, beberapa klaim lain sebetulnya mudah untuk disangkal dengan bukti. Misalnya, klaim bahwa satelit tidak bisa diamati padahal ada satelit buatan seperti ISS yang terangnya bisa menyamai planet Venus. Orbit satelit ini juga sempat melintasi cakrawala Jakarta di awal tahun ini.
Sayangnya, para pendukung teori ini biasanya lalu berdalih bahwa semua foto satelit itu CGI. Foto Bumi dari luar angkasa juga dibilang CGI. Foto spacewalk juga CGI. Tanpa rujukan parameter jelas apa yang bisa dipakai untuk membedakan foto CGI dan yang asli, semua-mua dibilang CGI. Karena ini jelas resep sukses memulai debat kusir yang tidak berujung, menurut saya sih sebetulnya ada prinsip cukuran Occam yang bisa dipakai untuk menengarai kemungkinan benarnya sebuah teori konspirasi. Sesuai prinsip ini, penjelasan fenomena dunia tanpa konspirasi lebih sederhana, dan penjelasan lebih sederhana ini yang biasanya lebih mendekati fakta. Terlebih ketika ada ribuan ilmuwan di seluruh dunia, argumen bahwa mereka semua bersekongkol untuk memajukan konspirasi ini sulit dipercaya benarnya. Misalnya, jika foto benda-benda langit hanyalah CGI, kenapa para ilmuwan harus menunggu sampai 2016 hanya untuk tahu sejumput permukaan Pluto?
Walau diambilnya tahun 1972, pokoknya hasil Photoshop! Gambar dari NASA. |
Saya lihat argumentasi konspirasi ini sering hanya mengedepankan cerita. Yang menggelitik saya, “bukti konspirasi” yang diajukan pembuat video itu utamanya adalah cuplikan film Hollywood macam Men In Black dan The Matrix, yang jelas-jelas film fiksi. Di cuplikan lain pembuat video ini membeberkan rahasia Bumi datar yang tertera di logo PBB. Ini jelas aneh, kalau memang ada konspirasi global, masa mereka tidak bisa memengaruhi logo PBB agar tidak menunjukkan rahasianya?
Sulit bagi saya untuk merespon satu per satu klaim yang muncul di video itu. Saya tidak menutup diri untuk diajak diskusi, tapi saya perlu juga menjaga waktu saya tidak tersedot untuk topik yang tidak saya minati. Saya sampaikan ke teman saya itu kalau saya perlu memperjuangkan hak-hak saya untuk jalan-jalan, makan-makan, dan main-main.
Saran saya, kalau Anda mendapati teman Anda mengajukan teori serupa, minta dia menulis. Dengan klaim yang tendensius, sulit mengira-ngira seberapa paham para penyebar tautan ini dengan materi yang mereka sebarkan, apakah 100%, 69%, atau berapa. Tanpa cara mudah menaksir pemahaman teman, diskusi yang produktif sulit berkembang. Sebar-sebar tautan itu gampang, tapi belum membuka ruang agar diskusi bisa berjalan. Untuk itu, perlu tulisan yang menunjukkan bagian mana saja yang ia setuju dan paham.
Ini juga yang saya minta ke teman saya di awal. Saya minta teman itu mulai dengan mencari sumber yang kredibel tentang bentuk bumi, lalu menuliskan pemahamannya tentang sumber tersebut. Tulisannya tentu boleh berbentuk apapun: catatan, blog, apapun, tapi tidak boleh hanya sekadar menerjemahkan/menyalin. Menulisnya harus dengan kritis dan catatannya harus berupa sintesa (ini level tertinggi taksonomi pembelajaran Bloom). Melalui tulisan yang lengkap, pakar yang mau terlibat bisa mudah memberikan penjelasan yang tepat tentang bentuk Bumi yang bulat pepat. Dengan begitu, ketika ia gigih bertanya, mudah pula mendapat jawabnya.
No comments:
Post a Comment