Sunday, August 14, 2011

Enam hari di Tohoku (3/3) : Kaneyama

Sebelumnya: Oshika (1/3), Onosaki dan Kaneyama (2/3)


Kalau dilihat dari jumlah produksi keringat dan pigmen yang membuat kulit lebih gelap, nonton festival SummerSonic di Osaka ini setara sama nyekop lumpur di Kaneyama.

Sayangnya bukan lemper yang disekop, kalo lemper dua hari nyekop perut udah jadi gembul deh (halo Ria! :D).

Sedikit cerita dulu kenapa tim IDRO ada di Fukushima: awal bulan lalu daerah Kaneyama di prefektur Fukushima dilanda hujan amat sangat lebat yang menyebabkan banjir lumpur. Jembatan-jembatan jalan raya dan jembatan rel yang melintasi sungai besar. Banjirnya Kaneyama ini bukti kalau daerah pegunungan pun bisa kebanjiran.

Sialnya buat Kaneyama, lokasi mereka di Fukushima itu bikin orang-orang yang normalnya bakal membantu jadi sukarelawan menjauh karena stigma reaktor nuklir yang mletup di sisi jauh Fukushima yang dekat pantai.

Lalu kenapa tim kami--dan beberapa NGO lainnya--ke Kaneyama juga? tak lain dan tak bukan ini karena iming-iming onsen/pemandian air panas gratis yang banyak tersebar di Kaneyama. Jadi kami dibujuk dengan janji-janji surgawi habis membanting tulang mengeruk lumpur kami bisa berendam di mata air panas.

(Yang berarti mandi telanjang di depan umum--er, tapi ya erm).

Kerjaan kami di Kaneyama sendiri lebih simpel daripada di Onosaki: karena sampahnya ngga banyak dan ngga ada barang busuk. Yang harus kami lakukan adalah membersihkan lumpur.

Karena setelah banjirnya lewat, lumpurnya mengendap, menutupi pekarangan dan jalan dan memblokir drainase, dan yang paling penting: mengisi ruang kosong antara lantai dan fondasi rumah penduduk di sana (saya juga baru tahu kalau ngga seperti di Jawa yang antara dasar fondasi sampai lantai ubin semua ditimbun tanah, di Jepang rongga itu dibiarkan kosong. Jadi rumahnya seperti rumah panggung dengan lantai yang tingginya selutut dari permukaan tanah.)

Waktu Tara tanya ke Quentin kenapa lumpurnya harus dikeruk, jawabnya adalah untuk mencegah masalah rayap ke tiang rumah (yang dibangun dari kayu). Permukaan lumpur yang basah ini kalau dibiarkan bakal membuat lantai lembab dan merusak kayu, dan mengundang rayap.

Bagian pekarangan dan garasi sih gampang, tinggal kerahkan backhoe buat ngeruk, tapi buat dasar lantainya mereka harus membongkar tatami, melepaskan plang-plang kayu yang menyusun lantai, dan menyekop lumpur yang terjebak.

Paling tidak secara teori sih pakai sekop. Nyatanya lebih gampang diambil pakai tangan karena antara lumpur dan tanah lebih gampang dipisahkan pakai tangan. Plus hal ini berarti ngga semua lantai kayunya harus dibongkar: tinggal kirim saja dua-tiga orang untuk merangkak ke bawah lantai kayu dan mengoper lumpur ke orang lain yang siaga di ujung satu lagi. Karena ukuran tubuh Sheila dan Robert paling kecil, akhirnya mereka berdualah (plus Julian yang jangkung tapi semangat ikutan) yang banyak merangkak sementara saya membungkus lumpurnya pakai sak. Mudbusting ahoy!

Saya sih jujur seneng aja kerja mbungkusin lumpur, lebih gampang, terlindung atap dari terik matahari daripada yang kerja di pekarangan (karena cuacanya terik cerah tanpa awan tiga puluhan atas derajat celsius). Plus kapan lagi saya bisa berkubang lumpur tanpa diketawain? :D

Eh tapi jatuhnya masih diketawain juga dong, waktu selesai kerja dan lalu disemprot pake selang buat membasuh lumpur dari kaos dan celana lalu disikat pake sikat panjang. Berasa kayak anjing girang lagi dimandiin. Tapi takapalah.

Di hari Sabtu kami beneran ke onsen-nya; yang taunya saking banyaknya sukarelawan jadi kelebihan pengguna dan harus antri. Saya sendiri ngga lama-lama berendamnya karena--er--karena itu. Plus airnya beneran panas jadi saya berasa kayak direbus suku kanibal. Tinggal dibumbuin gara--eh airnya mengandung garam mineral juga ya? Satu bak besar kaldu manusia siap disajikan. (bonus sisa daki).

Hari minggunya, saya dan Sheila dan Quentin hanya kerja setengah hari karena Sheila harus pulang ke Tokyo dan saya harus ada di Sendai lagi pukul tujuh malam untuk naik bus pulang ke Kyoto (dan perjalanan Kaneyama-Sendai itu lima jam sendiri) jadilah kami meninggalkan Kaneyama jam satu siang.

Kami berpisah di stasiun Sendai--capek luar biasa tapi tetap sayang harus kembali ke Kyoto. Untungnya saya minggu depan bisa kembali membantu tim IDRO lagi di Tohoku!

Sekarang sembari menunggu bisa kembali lagi ke sana, saya mengikuti blog mereka di idrojapan.posterous.com. Nanti kalau saya sudah balik ke sana lagi dan ngga dapet sinyal untuk twitteran, tunggu saja sampai tau-tau ada muka saya nongol di salah satu entri mereka.

More fun awaits!




Catatan ringan nonton festival

出演者の撮影禁止
-tanda di plang yang diparadekan mas-masnya staf venue
•••
James Blunt: Are they stopping you from taking pictures and recording?
Audience: Yeah!
James Blunt: That's a shame. I don't mind being recorded. If you all took out your cameras at once they won't be able to stop you.
•••
Metronomy's diversity in physical appearances of their members is just pleasing to the eye. Plus Oscar suka tiba-tiba melakukan gerakan-gerakan aneh sendiri. Sayang ada masalah sama amplifier bass mereka--beberapa kali kelihatan keluar bunga api dari amplifiernya. They said they will be back soon!
•••
Mau ga mau tetep agak geli liat vokalisnya Friendly Fire joget. Agak mengingatkan sama Uphie yang joget kalau karaokean tapi dia jauh lebih gede gitu badannya.
And the part where he jump the fence and joining the mosh pit was unexpected. The worried look of the security guard is just pure gold.
I did not know why I would want trying to grab him but try I did. Unsuccessfully. I was within the meter radius but blocked by other revelers.
•••
Dan gila mountain stage yang terbuka langsung ke terik matahari itu panas pisan. Tentunya kaos jadi basah semua, walau persentase basah keringat dan basah disemprot air sama panitia jelas ga bisa dibedain.
•••
TDCC ga punya material baru, tapi tetep fun. Dan ngeliat vokalisnya terpanggang matahari jadi kebayang babi guling, pink merona. Plus perutnya si masnya gembul gitu.
•••
Kalau ada yang bisa menandingi heboh jogetnya Friendly Fires, Yelle is your girl. Berkostum leotard merah ketat, keliatan kerempengnya mbaknya. Woh tapi hebohnya jogetnya. She electrified the audience.
•••
Nonton Smith Western itu bikin keinget nonton The Drum tahun lalu: satu band mas-mas semua yang semua pake jins ketat. Gimana pakenya entah dah. Stereotipikal indie kali yah.
•••
So what was I doing yesterday? Basically I went to Osaka to watch white dudes sing and play music.  Lots of white dudes, two girls (Yelle and Anna Prior of Metronomy) and one black guy (Gbenga Adelekan of Metronomy).

Saturday, August 13, 2011

Enam hari di Tohoku (2/3): Onosaki dan Funekoshi

Sebelumnya: Oshika (1/3)


Hari ini saya terbangun pukul dua pagi, dan seperti malam pertama saya di Ishinomaki Kizuna, Minami Sakai, entah kenapa saya tidak bisa tidur lagi.

Di Kizuna, mungkin karena waktu itu tetangga tidur saya mendengkur kencang. Bisa juga karena setelah satu jam terjaga, tetiba saya merasa ada gempa kecil yang langsung membuat jantung saya berdegup kencang. Setengah menit kemudian setelah nafas kembali teratur saya sadar kalau ternyata memang barusan ada gempa karena kaca jendela barak tidur kami masih berderak. Tapi rupanya hanya saya yang menyadari gempa barusan karena tak ada orang lain yang terbangun.

Tuesday, August 9, 2011

Enam hari di Tohoku (1/3): Oshika

Kemarin pagi saya sampai lagi di Kyoto dengan badan penat hasil duduk dua belas jam di bus malam dari Sendai dan jiwa penat karena kembali ke Kyoto berarti kembali mengerjakan riset yang udah ga jelas juntrungannya ke mana.

Sementara jadi sukarelawan di Tohoku itu sangat jelas juntrungannya ke mana. Plus saya kan belom pernah macul jadi sembari berasa agak macho juga berasa kalo hidup saya berfaedah bagi orang lain di Tohoku, sekecil apapun faedahnya.

Perjalanan saya dimulai dari tanggal satu Agustus malam dengan bus dari Kyoto yang akan membawa saya ke Sendai. Tapi sehari sebelum berangkat, saya baru sadar kalau tas saya nggak muat ditaruh sleeping bag, sleeping mat dan Wellington boots. Jadilah siang terakhir di Kyoto minggu itu diisi dengan terburu-buru belanja tas baru.

The possibles and impossibles from Tohoku (0/3)

Five months on since the big temblor on March 11 that shook Tohoku region and delivered several stories-tall tsunami, it is quite possible for you to visit Sendai without noticing that nothing unusual had ever happened. Bustling central train station, blaring advertisements set on the sides of the skyscrapers, if you had had no access to the news since the last six months and had no any Japanese comprehension whatsoever, you would have been none the wiser.

Which is unremarkable, really, as merely one month after the big quake, it was already quite impossible to see any vestiges of damage at all in Tokyo. When Septian and I went there on April, the only thing that gave it away was that most of the escalators and elevators at the train stations are inoperational. That and the fact that Shinjuku and Shibuya area was dimmer at night--most of the skyscrapers weren't illuminated to conserve energy. Fukushima energy crisis and all, you see. It was only because I had been there once before that I noticed something was amiss. The throngs of people are still crowding the area, mind you.

But when I think about my recent trip to Fukushima-Miyagi via Sendai, it is quite impossible to see the ruins of tsunami for yourself and not be awed by the immense power that nature can unleash at her whim. At the same time, it also quite impossible not to stand in awe of the people's resilience, and to respect mankind's ingenuity. At the very least, watching the gigantic walls being built on the side of the winding road to Ishinomaki from Sendai and the bridges being built in Fukushima made me understand Egalita's desire to be a civil engineer.

What I find was odd is that it is quite possible to go to Fukushima prefecture and not give a damn about radioactivity. We check the radiation level in Ishinomaki and on our way to Fukushima, for sure (and we found that the reading was nothing to be worried of) but to be honest my mind relegated this radioactivity issue as a non-issue. After all, it did me better trying not to retch whenever we found a fridge that hasn't been opened for nigh on half a year, or whenever we stepped on a rice stock went moldy, or even whenever I had to use the vile portable loo.

It's only been two days since I'm back in Kyoto, but I wish I could spend my whole summer up there. Too bad it's quite impossible to do so.