Kemarin pagi saya sampai lagi di Kyoto dengan badan penat hasil duduk dua belas jam di bus malam dari Sendai dan jiwa penat karena kembali ke Kyoto berarti kembali mengerjakan riset yang udah ga jelas juntrungannya ke mana.
Sementara jadi sukarelawan di Tohoku itu sangat jelas juntrungannya ke mana. Plus saya kan belom pernah macul jadi sembari berasa agak macho juga berasa kalo hidup saya berfaedah bagi orang lain di Tohoku, sekecil apapun faedahnya.
Perjalanan saya dimulai dari tanggal satu Agustus malam dengan bus dari Kyoto yang akan membawa saya ke Sendai. Tapi sehari sebelum berangkat, saya baru sadar kalau tas saya nggak muat ditaruh sleeping bag, sleeping mat dan Wellington boots. Jadilah siang terakhir di Kyoto minggu itu diisi dengan terburu-buru belanja tas baru.
Perjalanan ke Sendai sendiri ga ada yang spesial: toh saya sudah biasa naik bus luntang-lantung sendirian naik bus, dan ada iPod sebagai senjata anti keberisikan penumpang lain yang ngorok.
Berangkat jam sembilan malam dari Kyoto, saya sampai di Sendai jam sembilan pagi. Karena di email Quentin bilang kalau saya bakal dijemput jam tiga sore di stasiun Ishinomaki, saya berpikir bakal bisa lihat-lihat Sendai dulu. Tahunya jam setengah sepuluh saya ditelepon, mobilnya sudah siap di Ishinomaki jam sepuluh.
Agh--agak panik karena jadi harus buru-buru ke Ishinomaki dan kebelet boker, saya menyeret tas ke stasiun sendai, naik kereta Rapid Express tujuan Ishinomaki, dan baru tahu kalo sekitar sepertiga jalur kereta api rute Sendai-Ishinomaki masih rusak.
Untungnya ada Google Maps yang infonya sangat akurat--dan dari situ saya tahu kalau Japan Rail menyediakan bus pengganti kereta di jalur yang rusak bebas biaya tambahan. Tapi saya tetap baru sampai di stasiun Ishinomaki jam satu siang. Agak ga enak juga sih sama yang udah nungguin dari jam sepuluh, tapi apa boleh buat.
Di sana sudah ada Kanae-San, Fujita-San, dan Ueda-San dan kami pun langsung meluncur ke semenanjung Ogatsu, tempat Robert, Quentin dan Hiroko-San sedang membangun ruang makan Sasaki-San, warga lokal yang rumahnya rusak berat tapi garasinya utuh dan lalu memutuskan untuk mengalihfungsikan garasi jadi hunian utama dan bahan-bahan dari rumah yang rusak dipilah untuk membangun ruang makan.
Karena membangun hunian jelas perlu keahlian dan pengalaman jadi tukang kayu, saya akhirnya kebagian tugas yang ga perlu pengalaman sama sekali: angkut-angkut, ngelem kertas di panel pintu (pintunya pintu kertas tradisional Jepang), dan menghabiskan makanan yang tak kunjung berhenti muncul.
Sekira agak sorean, saya, Ueda-San dan Kanae-San diajak Sasaki-San ke pulau di seberang peninsula--yang intinya sih jalan-jalan. Tak apalah, memang ga berguna juga membantu membangun rumah saya ini mah.
Ternyata di daerah itu penduduknya rata-rata beternak kerang, dan waktu kembali dari pulau itu kami sempat mampir untuk memanen kerang, yang sebagian langsung dibuka dan dimakan mentah-mentah di atas kapal (sambil pada berseru "Enaaaak!"). Er.
Waktu kembali lagi, makan malam sudah siap! And what a dinner it was! Bener-bener berasa kayak makan Lebaran: ada hati sapi, ada karubi, ada sushi, ada kentang rebus campur konnyaku, ada sayap ayam. Saya makannya agak merasa bersalah juga, belum juga kerja kok udah makan membabi-buta. Tapi naluri kemahasiswaan saya toh tetap kuat, dan adabnya bertamu kan menghormati tuan rumah dengan menyantap jamuan yang disajikan. Alhamdullilah :D
Sehabis makan (gila sisanya banyak banget gila), karena tim IDRO buat hari berikutnya akan dibagi menjadi dua: satu tim terdiri dari Quentin, Robert, Fujita-San dan Kanae-San tetap di Semenanjung Oshika untuk menyelesaikan pembangunan ruang makannya Sasaki-San sementara saya, Hiroko-San dan Ueda-San akan bertolak ke Onosaki untuk ikut menyortir barang-barang yang tersapu tsunami, tim Onozaki bermalam di Ishinomaki Kizuna--semacam basecamp bersama LSM yang beroperasi di area tersebut.
Barang-barang kembali dipak dan dimasukkan ke mobil, Robert mengantarkan kami ke Kizuna dan sebelum di Kizuna kami mampir di perkemahannya Peace Boat untuk menjemput Sheila yang baru datang dari Kyoto.
Setelah registrasi di Kizuna, mengeluarkan sleeping bag dari backpack, saya pun berusaha buat tidur. Sementara itu, semeter dari saya, ada sukarelawan lain yang sudah pulas mendengkur.
Berikutnya: Onosaki dan Funekoshi (2/3), Kaneyama (3/3)
No comments:
Post a Comment