Di Minggu terakhir saya di Jepang, saya dengan agak enggan datang ke pesta perpisahan Departemen Astronomi. Alasan kenapa saya enggan adalah karena saya harus bercerita tentang apa rencana saya selepas pulang dari Jepang. Karena saya tidak punya rencana (sampai sekarang sih), saya bingung juga kalau disuruh ngomong mau ngomong apa.
Tapi untungnya ternyata pestanya ngga semengerikan itu, saya memang harus ngomong (sambil bilang terima kasih sudah ditampung selama dua setengah tahun) tapi akhirnya biasa saja. Selepas pidato singkat itu Profesor Totani langsung melonggarkan pertanyaan, "Apa pengalaman yang paling berkesan selama kamu di Jepang?"
"Hore pertanyaan gampang!" pikir saya. "Ngga seperti biasanya yang susah-susah tiap dia tanya."
Saya pun menjawab kalau pengalaman paling berkesan saya itu jadi relawan di Tohoku selama musim panas, dan dari total dua minggu itu, tiga hari di Kinkazan dan sehari sebelumnya di Kobuchihama dan Sudachi adalah empat hari yang paling berkesan.
Setelah hari pertama di Tohoku bekerja di Onosaki, malamnya Rob bilang kalau dia esoknya menjemput John dari Kanada yang baru akan datang dan lalu bertolak ke Kobuchihama. Karena saya berharap bisa mengais sinyal untuk pocket WiFi saya di kota (di Funakoshi ngga dapat sinyal), saya pun bilang mau.
Paginya kami langsung pergi ke stasiun Ishinomaki dan lalu ke Kobuchihama, dan langsung diserahi impact drill: kami disuruh menyekrup balok-balok kayu menjadi bentuk kerangka prisma segitiga yang bakal digunakan untuk dasar panggung tempat melarung lentera kertas dalam rangka peringatan Obon. Yang ternyata susah saudara-saudara! Pertama saya kira tinggal posisikan sekrup, tempel impact drill, tekan pelatuk, sekrup masuk. Rupanya kalau tekanan pemegang drill ngga kuat sekrupnya jadi meleset ke mana-mana. Belum lagi balok kayunya harus ditahan di tempat biar ngga meleset. Setelah tiga kali mencoba dan tiga kali meleset, saya menyerahkan drillnya ke John sembari menatap nanar lengan saya yang kecil dan kurang tenaga.
Habis kerangka prisma jadi dalam sekali coba di tangan John (dan saya masih berasa malu-tapi-tetep-mau-sok-kalem-dan-sok-ga-peduli) kami lalu membantu tim relawan Peace Boat yang sudah ada di sana sejak pagi memulung tali-tali tambang budidaya kerang yang tersapu ke daratan dan saling terbelit dan terpilin dan terurai. Lumayan sih, saya jadi merasa sedikit lebih berguna.
Jam makan siang tentu saja kami dijamu Sasaki-San sampai rasanya hampir mati kekenyangan. Habis makan siang kami langsung menuju Sudachi, tempat Rob ada janji dengan warga lokal daerah itu yang ingin bantuan merehabilitasi rumahnya yang dindingnya rusak karena tsunami tapi kerangkanya masih kokoh.
Satu jam pertama kami bersosialisasi dulu dengan tim Peace Boat yang ada di Sudachi (mereka memang ada di mana-mana, Peace Boat ini), lalu mulai melepas sisa dry wall dan sekrup yang terpasang di sisi luar kerangka rumahnya. Kembali memegang drill, tapi jadi mulai tahu triknya kalau ngga punya lengan perkasa: pasang jari tangan kanan di pelatuk, lalu tekan bagian belakang dengan tangan kiri. Setelah sukses melepas lima sekrup berturut-turut, langkah berikutnya adalah menghapus nyengir puas dari muka karena bisa menaklukkan drill. Ora ilok kalau kata orang Jawa, masih di daerah bencana kok cengar-cengir.
Lalu kami lanjut masuk ke rumah dan menukar drill dengan palu dan linggis untuk mencatut paku-paku di kerangka rumah sebelah dalam. Memang harus secara manual dicabuti satu-satu jika kerangkanya mau dipakai ulang untuk memasang dinding partisi dan atap. Entah bagaimana, waktu melepas sisa dinding dan langit-langitnya yang rusak, para tukang yang menelanjangi dindingnya ngga sekalian mencabuti pakunya. Kerjaannya memang gampang, dan makin gampang kalau punya postur badan yang lumayan tinggi. Saya ngga tinggi-tinggi amat, tapi hanya beda beberapa senti dari John jadi ngga masalah juga.
Sekira sejam setengah setelah mulai bekerja, kami mendadak susah mencongkel paku karena kerangkanya bergerak. Plus ada juga suara lantai kayu di tingkat dua berderak-derak yang merusak konsent--oh gempa! Kami pun menghambur keluar (keuntungan rumah cuma kerangka saja tanpa dinding: gampang kabur) dan berkumpul bersama tim Peace Boat yang juga berhenti menyekop lumpur dari gorong-gorong sembari menunggu gempanya (yang ternyata lama juga dan kuat juga) reda.
Tapi begitu gempa reda ponsel semua orang berdering semua, dering notifikasi pesan teks peringatan dini tsunami. Kami pun langsung mengepak perkakas ke dalam van dan melaju menuju perbukitan terdekat.
Saya sembari berusaha keras buat ngga nyengir lagi, ora ilok ah! Tapi emang seru sih! Dari Sudachi kami mengekor bus Peace Boat yang dengan mantap mendaki jalan ke arah bukit.... dan terus maju menyusuri turunan kembali ke arah pesisir. Bertiga di dalam mobil, saya, Rob dan John berpandang-pandangan sebelum berkomentar, "Kok balik lagi sih?"
Tapi rupanya mereka terus jalan, dan kami kembali menyusul tanjakan... dan turun lagi di turunan. Dan begitu terus sampai sekitar setengah jam kami semua berhenti di pinggir jalan di sebuah bukit dan menunggu berita lebih lanjut dari radio.
Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya kami mendengar kalau peringatan tsunami tadi dibatalkan. Tim Peace Boat memilih untuk tidak melanjutkan bekerja karena memang sudah jam setengah empat, tapi kami bertiga kembali ke tempat kerja, tanggung begitu euy.
Selesai pukul setengah enam sore, kami sekali lagi mengepak peralatan ke dalam van dan kembali ke Ishinomaki, sebelum akhirnya ke Funakoshi untuk bermalam.
Di jalan menuju Funakoshi, langit sudah gelap dan suasananya benar-benar pekat. Rumah-rumah rusak yang dikosongkan penghuninya yang di kala siang sekedar mengingatkan kesan mengenaskan, di kala petang berubah menjadi bayangan menyeramkan yang menghuni kegelapan. Suasananya benar-benar mencekam, apalagi ditambah paparan Rob yang bilang hal-hal semacam, "Gedung tiga lantai yang bakal kita lewati ini dulunya rumah sakit. Dari seluruh pasien, dokter, perawat ngga ada yang selamat. Mereka memang dapat peringatan dini, dan yang sehat semua naik ke atap, tapi tak dinyana gelombang yang datang lebih tinggi dari lantai tiga. Semua tersapu."
Saya baru bisa menarik nafas lega ketika bangunan SD Funakoshi nampak di tikungan. Makan malam!
Sembari makan, kami berbincang dengan yang hari itu bekerja di Onosaki. Ternyata ketika ada peringatan dini, sempat ada kebingungan, apakah mau mengepak barang dan pergi dengan mobil ke arah kota, atau berlindung di bukit. Sheila, yang mengalami tsunami di Thailand, bersikukuh kalau bukit akan lebih aman daripada menyetir segerombolan orang melewati daratan yang ketika tsunami pertama datang hilang diluluhlantakkan. Ada benarnya juga memang, karena dari Onosaki, Nagatsura, hingga Ogawa semua pemukiman yang ada tersapu tsunami. Mereka pun akhirnya naik ke bukit di balik Onosaki, dan menemukan kalau di atas bukit ada kuburan kuno. Saking kunonya, nisan yang ada tulisannya bukan kanji ataupun kana, tapi tulisan Sansekerta!
Berikutnya begitu saya bercerita kesan seram saya di jalan pulang, Heidi menimpali kalau dia bersyukur tidak ada yang hanyut dari gedung SD tempat kami bermalam ketika tsunami menerjang, karena dia agak "sensitif" pada yang supernatural seperti itu. Saya berkomentar kalau saya agak skeptis pada yang supernatural, dan memang selama 23 tahun saya belum pernah melihat penampakan atau hal-hal sejenisnya, tapi mau ngga mau kata-kata Heidi terngiang ketika turun ke toilet portabel di lantai dasar dari lantai tiga. Tanpa penerangan listrik. Gelap gulita. Di desa yang tidak ada penduduk lainnya. Sunyi senyap. Hanya ada suara basah gerimis yang jatuh ke tanah.
Baiklah. Pasang volume iPod di maksimal, ayo buru-buru kencingnya dan lari balik ke lantai tiga!
Kembali di lantai tiga, Rob menawarkan saya dan John untuk ikut dia ke Kinkazan esok harinya, yang berarti harus pergi lebih pagi dari yang lain. Karena saya memang bangun lebih pagi dari anak-anak Kyoto Gaidai, saya mengiyakan saja. Lumayan, bisa lihat pulau yang hanya dihuni monyet dan rusa.
Dan bebas dari harus bersembunyi di lantai tiga ketika malam tiba!
No comments:
Post a Comment