Mamat (belakang tengah), dengan Irfan, Pai, Arif, dan Apri. |
Saya punya murid ganteng. Namanya Ahmad, biasa dipanggil Mamat oleh teman-teman dan gurunya yang lain. Mamat sekarang sudah kelas 5, tapi walau saya wali kelas 4, sering juga saya mengajar dia. Posturnya tegap, badannya tinggi, kulitnya sehat, dan kalau tersenyum tambah cakep.
Tapi kegantengannya ini sepaket dengan kebadungannya. Dari awal saya mengajar di SD Trans Batui 5, satu hari belajar belum lengkap kalau belum ada murid lain yang menangis sambil mengadu, "Paaak, Mamat Paak!"
Kalau saya sedang mujur, maka dalam satu hari bisa tiga aduan berbeda tentang Mamat yang saya dapat. Untungnya, biasanya aduannya bervariasi, "Mamat nakal Pak!", "Mamat betarik rambut Pak!", atau "Mamat bapukul Pak!"
Kalau saya benar-benar mujur, variasi yang saya dapat bisa bertambah menjadi "Paak, Mamat bapeluk-peluk Pak!" atau "Mamat bacium-cium Pak!" dari anak-anak perempuannya.
Saya tidak bisa membayangkan kalau hanya ada saya di kantor, karena berarti semua aduan itu lari ke saya. Mujurnya, saya tak perlu membayangkan hal tersebut, karena sudah kejadian beberapa kali. Biasanya kalau pagi dan sebagian guru yang lain terhalang datang. Kadang-kadang semesta sedang baik dan saya sedang bersama banyak guru berkumpul di kantor SMP sebelah (gedung SD bersebelahan dengan gedung SMP). Tapi kebaikan semesta ini biasanya harus dibayar dengan merasa kasihan pada Mamat yang lalu dimarahi oleh (hampir) semua guru.
"Mau kau Mat, Pak Guru kasih kau libur tidak sekolah seperti lalu?"
Bonusnya, setelah itu kami memperbincangkan kebadungan dia, termasuk skorsing yang pernah dia dapat karena pernah membuat kepala salah satu temannya bocor. Daripada parang orang tua terayun ke sekolah, dia pun dijatuhi skorsing seminggu. Peristiwa ini terjadi sebelum saya datang kemari.
Bagi saya, Mamat sebenarnya tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain yang kelebihan energi tapi dipaksa duduk diam di bangku kelas. He fits like a round hole with a square peg, ga cocok jek!* Seperti anak-anak lainnya juga, dia belum tahu batas-batas kekuatan dia, apalagi ketika bermain dan bergumul fisik dengan teman-temannya yang posturnya lebih kecil. Jadilah apa yang dia rasa biasa, terasa menyakitkan bagi teman-temannya. Makin parah lagi kalau dia bermain dengan teman-teman adiknya yang duduk di kelas 1, sudah pasti kekuatannya tidak berimbang.
Ketika dia diadukan ke guru dan lalu dimarahi sambil disebut-sebut sebagai murid nakal, makin kental pula cara dia mengenali diri sendiri sebagai anak nakal, dan mungkin ke depannya dia tidak akan peduli nasehat siapapun. “Karena saya toh memang nakal,” begitu mungkin pikirnya. Kalau itu sudah terjadi, makin sulit lagi mengajak Mamat belajar dan menyerap materi yang diberikan kepadanya.
Saya sering berpikir bahwa ketika saya mengajar dia, saya harus menyiapkan aktivitas tambahan untuk menyalurkan energinya. Tapi hingga kini, belum juga saya menemukan aktivitas yang cocok.
Yang ada justru saya keheranan mendapati Mamat bisa berkonsentrasi dan memperhatikan saya penuh ketika saya mengajarinya origami membuat bentuk kepala kelinci.
Suatu sore, saya meninggalkan satu kepala kelinci di jendela luar rumah dinas. Sebagai guru yang tidak artistik sama sekali, mau tak mau saya harus memperbanyak amunisi untuk kelas SBK (Seni, Budaya, Keterampilan)—termasuk di antaranya membuat origami. Mamat adalah salah satu anak yang melihat kelinci itu dan langsung minta diajari saat itu juga. Bersama tiga anak yang lain, saya beri mereka kertas lipat masing-masing satu lembar dan saya ajari mereka melipat kepala kelinci.
Siapa sangka justru Mamat yang pertama mengerti instruksi melipat saya? Heran saya tak habis-habis ketika melihat dia lalu mengajari temannya yang lain yang belum mengerti (sambil disertai celetukan “Bodoh ngana! Begini!” tapi ya memang tidak bisa semalam menghilangkan semua kebiasaan negatif anak).
Setelah itu, dia termasuk yang paling getol mengajari teman-temannya. Kalau saja saya bisa membuatnya berkonsentrasi seperti itu ketika menulis karangan pengalaman atau mengubah persentase menjadi pecahan biasa, biar dia menulis tak pakai titik atau koma saya sudah bahagia.
Tapi paling tidak, sekarang saya tahu kalau dia bisa belajar. Tinggal PR saya bagaimana membuat Mamat belajar, tanpa mengganggu temannya belajar.
-----
*Do pardon the rhyme.
No comments:
Post a Comment