//reposted for posterity from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/anak-dewasa
"Iya Pak, kata bapak saya nanti kalau saya ranking satu saya dibelikan Absolute Revo," cerita Ibra setelah dia membuat prediksi ranking 1-2-3 kelas 4 SDN Trans Batui 5 di semester dua ini.
"Bapak kamu janji membelikan kamu motor?" tanyaku setengah tak percaya .
"Iya Pak, tapi Absolute Revo yang bekas," jawabnya lagi.
Ibra adalah muridku kelas 4. Pintar menggambar dan cepat menangkap tugas yang diberikan di papan tulis. Dia aku ikutkan OSK kemarin meski ketika pengumuman semifinalis keluar, namanya tidak ada di daftar itu. Sudah beberapa kali aku melihatnya naik motor sore-sore, jadi aku memang sudah tahu dia bisa naik motor. Yang membuatku separuh tidak percaya adalah bayangan anak SD yang memiliki sepeda motornya sendiri.
Bagiku dulu, memiliki sepeda motor pertama ketika SMA terasa sebagai validasi memasuki dunia orang dewasa. Dengan sepeda motorku sendiri, aku memiliki kebebasan untuk menentukan apakah aku akan langsung pulang ke rumah usai sekolah, atau bermain-main. Ketika ibu membelikan sepeda motor, ada rasa tanggung jawab baru.
Ketika membuat perbandingan mental antara asumsiku tentang kedewasaan dia dan kedewasaanku ketika SMA, aku menjadi agak khawatir tentang Ibra dan teman-teman sebayanya. Mungkin benar mereka matang jauh lebih cepat dari seharusnya. Mereka terbawa masuk dunia orang dewasa ketika mereka harusnya masih senang bermain. Tentu bisa kita menyalahkan TV yang tidak mendidik, tapi kadang juga ada yang berdampak lebih hebat daripada TV: kehidupan sehari-hari.
Ada murid pindahan baru di kelas 5, tapi murid ini tidak benar-benar baru. Awal tahun ajaran ini dia bersekolah di SD kami, tapi lalu ia pindah ke Bubung, desa di kecamatan lain di Banggai. Secara diplomatis bisa dibilang ia mengikuti ibunya. Tapi obrolan para tetangga selalu menyebutkan ia "diculik" dari keluarga ayahnya oleh ibunya yang pergi bersama pria lain. Dramatis memang, cerita kejar-kejaran kakeknya mengejar ibunya dan kekasih prianya di atas gunung. Dari cerita-cerita ini saya jadi belajar kosakata baru: hugel, alias hubungan gelap.
Ada murid kelas 4 yang saya tahu dulu sempat melihat pertengkaran verbal dan fisik orang tuanya sebagai tontonan sehari-hari. Tidak pernah lama, tapi sering.
Saya yakin kasus-kasus terkait pertikaian domestik yang saya tahu ini cuma puncak dari gunung es yang menyeret anak-anak ke dunianya orang dewasa. Di bawah permukaan air, masih ada berbagai macam hal lainnya: kebiasaan ringan tangan, obrolan-obrolan seksual, olok-olokan agama, dan lain-lain. Saya sampai sekarang masih kebingungan harus menjawab apa kalau ada anak yang bertanya, "Pak, pak tau tempik?" sementara raut mukanya menunjukkan jelas muka saya-pengen-ngetes-pak-guru-ah. Bingung campur sesal tidak bisa menyisipkan pengenalan pendidikan seksual ke anak-anak ketika teachable moment-nya lewat.
Kadang saya berpikir mungkin kekhawatiran ini tidak cocok ada di dunia realita, cocoknya di dunia utopia, tempat tidak ada orang tua yang sudah mempercayakan menyetir mobil pada anak SD kelas lima—seperti yang pernah saya lihat di Ijen. Tidak cocok di dunia nyata, karena bahkan di fiksi-fiksi anak yang saya baca tokohnya sudah memanggul tanggung jawab besar di usia belia. Anak-anak Lima Sekawan bahkan sudah mulai menerjang bahaya bahkan ketika mereka belum genap 10 tahun. Barangkali gerbang kedewasaan sudah jamak dilewati sejak mereka kelas tiga.
Atau bahkan kelas dua.
Bagaimana tidak heran mendengar anak kelas dua meminta ke saya, "Pak guru ganteng, boleh minta cium?"
Untungnya, dia melanjutkan dengan, "Cium pipi, Pak!"
No comments:
Post a Comment