Friday, December 2, 2016

Lada

Irwan menantang saya untuk makan ayam Richeese pedas level lima—saya iyakan dengan gembira. Lima potong sayap kemudian, lidah saya bergetar dan keringat timbul di kepala. Saya berkata, "Ini nirwana!"

Mbak Lina datang berdecak, "Ini bahaya ngga?"

Saya jawab, "Tentu, Mbak. But what's the point of living if we don't live dangerously?" Teman-teman lain tertawa dan bersorak. Freida menatap prihatin. 

Anak-anak kantor memang sudah hafal kelemahan saya. Ini memang kentara dari habisnya Sambal Bu Rudi dalam hitungan hari, antusiasme saya untuk pergi ke Indomie Abang Adek, dan kecepatan saya menandaskan Samyang yang dibawa Donghee. Begitu sambal jadi topik wicara, air liur saya terbit seketika. 

Ini tidak berarti saya kebal, kok. Perut saya tetap jeri—dan sekali dua kali saya terbungkuk-bungkuk di atas kloset meratapi kebodohan diri. 

Tapi biasanya tidak separah itu juga untungnya. Paling telapak tangan saya saja yang berdenyut sebagai protes harus ikut disiksa. Dan karena cuci tangan saya tidak menyeluruh. Kalau sudah begini, saya harus ingat untuk tidak menyentuh-nyentuh tubuh. Tak sengaja mengucek mata berarti mengundang siksa. Mengusap pipi membuat wajah serasa ingin dikuliti. 

Maka saya tidak terbayang bagaimana perihnya mereka yang dipaksa merancap dengan cabai giling. Mereka pikir penis itu ulekan sambal, apa ya? Gila. 

Tapi terlepas masalah susilanya, ini membuat satu pertanyaan bahasa terbersit di kepala saya. Kalau KBBI menyebutkan masturbasi dengan sabun sebagai sabsab, etiskah jika saya usul sebutan merancap pakai cabai dengan cabcab?

(Tidak apa-apa, mungkin memang baiknya abaikan saja.)


Monday, November 21, 2016

Putu Oka Sukanta, A Man of Courage

Few men are alive as Putu Oka Sukanta is alive. He practices acupuncture and traditional medicine. He writes poetry, short stories, and novels. He was also jailed during New Order’s anti-communist purge in 1966 for his involvement in Lekra. The government never put him on trial, and they only released him 10 years later. 

It is therefore unsurprising that many of his stories and poems deal with oppression. As a victim himself, he was subjected to physical torture in prison. In a documentary produced by AJAR, he recounted being hit, kicked, punched, and whipped with manta tails. At the same time, the lack of judicial process also means that he was treated as less than human being. For him, it was worse than being tortured.

After his release, he understood that his movements would be limited. He made a living by practicing acupuncture, a skill he acquired in prison from another prisoner. In the meantime, he continued to write about his experience in the prison but he found that there was extremely limited opportunity for publication. The powers that were embargoed works by ex-political prisoners, and when he won an award for his work on environment, the Ministry of Information soon after issued a regulation barring people involved with communism from publication. He was thoroughly cornered. 

Still, he found other ways for channel his creative work. He remembered Goethe Institute fondly: they gave him stage when everybody shunned him. To publish his work, one of his acupuncture patients helped smuggle his manuscript, Tembang Jalak Bali, for publication in Malaysia. It was also published in English and was met with critical acclaim.

“The book is like a pair of wings. It carried me all over the world,” Putu said. Two poems from the book are included in Voices of Conscience, a worldwide collection of poems about state-sanctioned oppression. 

Putu Oka also understands that the imprisonment affected not only the political prisoners themselves, but also their immediate family and their environment. In his anthology, Tak ‘Kan Melupakanmu, he wrote short stories about people who “struck the line,” a euphemism for alleged involvement with the communist party. While his stories are often set in Bali, they do not paint a picture of an idyllic haven. Instead, they tell stories of innocent victims facing arbitrary dismissal from their jobs, enduring stigma and harassment from their family and communities, or death.

Today, Putu remains a prolific writer. As his health deteriorates, he relaxes his writing target to complete one book every two years. 

Over the years, his writing has branched out to other topics, including to HIV/AIDS. “I have always been drawn to marginalized communities,” he said. 

It is easy to imagine that had Putu Oka not been incarcerated, he would have championed the cause of marginalized people all the same. According to Putu Oka, people with HIV/AIDS face great discrimination and stigmatization just like him.

“This is an unending fight.”




Sunday, October 30, 2016

Gerhana

Awal Maret, saya berada di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kota ini ada di jalur lintasan Gerhana Matahari Total 2016 yang bergerak menyisir Kepulauan Indonesia dari Palembang dan Balikpapan, ke Poso dan Maba. Pada tanggal 9 Maret, bulan akan menutupi cakram matahari untuk mendesakkan malam ke langit pagi.

Jalur totalitas gerhana
Ini adalah kali pertama saya akan mengamati gerhana matahari dengan mata kepala sendiri. Tahun 2009, perjalanan saya ke Banten untuk mengamati gerhana matahari cincin berakhir sia-sia. Awan mendung menggagalkan rencana observasi. Di tahun 2012, saya meninggalkan Jepang terlalu dini, tiga bulan sebelum gerhana cincin melintasi sisi-sisi tenggara pulau-pulau utamanya.

Gerhana adalah peristiwa langka. Satu tahun hanya bisa ada empat hingga tujuh kali gerhana, dan lebih banyak di antaranya yang hanya merupakan gerhana penumbra yang tidak kasat mata. Irisan lintasan bumi dengan umbra bulan lebih jarang, dan untuk suatu tempat yang pernah dilintasi gerhana matahari, biasanya ada jeda waktu yang lama hingga peristiwa yang sama kembali berulang. Terakhir kali GMT diamati di negeri ini, Harmoko masih menjadi Menteri Penerangan, Soeharto masih ada di puncak kekuasaan. Saya baru berusia dua bulan di tahun 1988.

Banyak yang telah berubah, tentu saja. Kini masyarakat tidak lagi disuruh bersembunyi. Stasiun televisi berlomba-lomba menampilkan hitung mundur hingga waktu okultasi matahari.

Di Banggai, reservasi hotel sudah tidak mungkin dicari. Banyak wisman Barat berkeliaran di pusat keramaian. Mereka yang berkulit terang tampak mencolok, menarik perhatian saat menyeberang jalan. Pemkab memusatkan aktivitas perayaan gerhana di Pulau Dua. Mereka sekaligus menggelar Festival Babasal untuk menampilkan kesenian daerahnya. Pentolan-pentolan DPRD justru membuat acara tandingan di pusat kota. Festival Teluk Lalong disiapkan untuk memamerkan aneka makanan dan kerajinan. Semua antusias mempromosikan budaya, hampir tak ada yang ingat gerhana bisa jadi media pembelajaran IPA.

Saya memilih menyingkir dari hiruk-pikuk kota. Sehari menjelang gerhana, saya menuju Pegunungan Batui. Desa-desanya lebih sepi. Saya susun rencana observasi dari sekolah dasar di desa Trans Batui 5. Letaknya pas di atas bukit. Dari sana, vista timur terbentang terang.

Langit cerah ketika hari gerhana tiba. Ini pertanda bagus.

Saya dan dua teman seperjalanan menuju sekolah pukul setengah delapan kurang. Kami ditemani oleh guru-guru yang mengajar di desa itu. Seorang guru membawa sekarung rambutan dan beberapa ikat durian ke mushola. Ketika kami sampai, anak-anak berkerubut, lalu dihalau: mereka harus sembahyang sebelum menggasak durian. Kami tengok langit dengan kacamata gerhana: matahari sudah terlihat berbentuk sabit. Bedug dipukul, sholat gerhana dimulai.

Tidak semua warga dan anak-anak datang ke mushola. Hanya separuh yang Muslim saja yang ikut sholat gerhana. Di saat yang sama, mereka yang Hindu melaksanakan Amati Geni. Sekolah juga libur untuk Nyepi.

Selesai sholat gerhana, langit masih terang. Namun anak-anak telah siap dengan alat bantu mereka. Sebagian membawa kamera lubang jarum. Sebagian mengantre giliran memakai kacamata gerhana. Saya arahkan cahaya pembiasan binokular saya ke dinding mushola. Sabit matahari terlihat jelas makin cekung.

Pukul setengah sembilan, langit meredup. Pagi berasa senjakala dan angin dingin berembus. Temaram bayangan pohon di tanah dipecah oleh pola-pola sabit matahari. Malam datang.

Saya melepas kacamata gerhana saya ketika bulan seluruhnya menutupi sang surya. Langit gelap, dengan cincin berlian raksasa bercokol di angkasa. Korona matahari memang hanya nampak kilaunya ketika gerhana sempurna. Merkurius dan Venus menjadi tampak, mengarak matahari ke zenit. Dekat ufuk barat, Mars bertengger di rasi Scorpio. Kentongan ditabuh bertalu-talu.

Totalitas gerhana tidak berlangsung lama. Tidak sampai tiga menit setelahnya, bulan beranjak. Cincin berlian rusak, dan langit kembali berangsur terang. Gerhana telah usai. Saya menghela nafas panjang, sadar ini adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Gerhana matahari total di desa lain di Kabupaten Banggai. Foto Dhenny dari sini.

------------------------------
(Tulisan ini dibuat untuk tugas Kursus Narasi Pantau. Editing dibantu oleh @Hning.)

Friday, August 26, 2016

Hentian

Saya melambaikan tangan di pinggir jalan. Satu taksi berwarna putih menyalakan sen kiri dan mendekat. Saya masuk. Sopir taksi mengucap, "Alhamdulillah."

Hampir tidak pernah saya dapati reaksi pertama orang ketika bertemu saya adalah ungkapan syukur.

Saya berikan arah ke Salemba, lalu membenamkan diri ke jok kursi. Bapak sopir taksi mengiyakan, dan kami meluncur. Sembari menuju daerah Pasar Senen, bapak sopir berkata bahwa saya adalah penumpang terakhirnya. Suaranya letih.

Dugaan pertama saya, taksi ini adalah satu dari sekian banyak taksi yang terkena dampak persaingan dengan Uber dan aplikasi serupa. Mungkin dia kesulitan mencari penumpang.

Dugaan kedua saya, dia separuh berharap bahwa penumpang yang dia ambil tidak akan membawanya ke luar kota, mungkin karena dia sudah mengarah menuju pul.

Dugaan ketiga saya, dia hampir belum memenuhi setoran di penghujung sifnya, dan bersyukur ongkos saya akan bisa menggenapinya.

Ketiga dugaan saya ternyata salah semua. Terhitung hari itu, ia tidak akan lagi menjadi sopir taksi. Paling tidak untuk sementara waktu. Lepas mengantar saya, ia akan kembali ke pul, lalu menyerahkan kembali taksinya. Ia sudah belasan hari tidak menarik taksi, dan hutang setorannya menumpuk. Selama itu pula taksinya absen dari pul, dan kini pihak manajemen menuntut dia untuk mengembalikan taksinya.

"Supervisor saya baik Pak orangnya. Dia bilang, saya tidak perlu bayar dendanya, tapi hanya setorannya saja." Tapi tetap saja, uang dari mana?

Kami berhenti, menunggu palang kereta api naik kembali di Pasar Senen. Dari spion terlihat matanya merembang merah.

Selama belasan hari, ia sudah menghabiskan waktunya di rumah sakit. Anaknya yang kecil menjadi korban tabrak lari, dan ia menungguinya di sana. Biaya rumah sakit tidak sedikit, meski sudah dikurangi BPJS Kesehatan.

Ketika saya memberanikan diri bertanya apakah si ibu tidak ada untuk ikut menjaga anaknya, ia menjawab bahwa mendiang istrinya belum genap empat puluh hari meninggal dunia. Anak-anaknya yang lebih tua ikut menjaga, tapi lalu segera diminta kembali bekerja oleh bos mereka.

Ia kembali mengucek matanya.

Pascaoperasi, anaknya akan bergantung pada kursi roda dan tidak akan lagi bisa berlari. Ia kasihan, dan berkata kalau di benaknya sudah terlintas macam-macam. Ia ulangi sekali lagi, bahwa ia sudah berpikir macam-macam, sebelum melanjutkan dengan kalimat-kalimat rumpang tentang mencuri dan bunuh diri.

Tapi ia masih bisa menghentikan taksi untuk saya tumpangi. Syukur, pikirnya, ada yang menghentikan dia.

Kami tiba di Salemba. Saya turun dengan masygul.

Friday, July 29, 2016

Tebas

Muhammad menghunus pedangnya.

Kedua tangannya memegang gagang pedang. Pedangnya terulur ke bawah badan di sisi kanan. Mata depan pedangnya menghadap Ryan, yang menyampirkan pedangnya di atas bahu kanan.

Muhammad menyabet maju. Ia mengincar lutut kiri Ryan. Pedangnya menebas naik ke tengah dahi.

Ryan menumbukkan pedangnya turun. Pedangnya menghantam pedang Muhammad.

Pedang Ryan berkertak. Ia memekik. Separuh bilahnya terlontar.

Apabila Muhammad dan Ryan benar-benar bertempur, situasi sudah genting. Namun adu pedang mereka berhenti ketika pedang Ryan patah, dan patahannya ia pungut untuk direkatkan kembali. Pedangnya juga hanya terbuat dari kayu.


Pertempuran ini adalah bagian dari latihan kelompok Gwaith-i-Megyr di Taman Suropati, Menteng. Tiap hari Minggu, sekitar sepuluh anggotanya berkumpul untuk berlatih ilmu bela diri Eropa kuno menggunakan pedang panjang. Di kelompok ini, mereka mempelajari manuskrip bela diri dari akhir abad ke-14. Ada dua mentor yang melatih kelompok ini. Ari mengajarkan teknik Fiore dari Italia, sementara Dani memberi pelajaran teknik Liechtenauer dari Jerman Selatan.

Pedang panjang yang digunakan latihan dibuat dari kayu jati atau kayu kamper. Panjang bilahnya berkisar satu meter. Di antara gagang dan bilah, ada batang silang yang berfungsi untuk melindungi tangan penggunanya agar tidak tersayat mata pedang secara tak sengaja. Selain itu, batang silang ini juga berguna sebagai alat untuk menangkap dan menggiring pedang lawan.

Meski menggunakan pedang kayu ketika latihan, risiko terluka tidak serta-merta hilang. Anggota yang lengah harus ikhlas ketika lengan dan dada mereka terantuk mata pedang. Lecet dan memar menjadi biasa.

Latihan Gwaith-i-Megyr memang banyak berkutat di posisi bertahan, cara tangkisan, dan cara menetralisir serangan. Alasannya? “Bunuh orang pakai pedang itu gampang,” kata Dani. “Yang susah itu gimana caranya kita ngga ikut mati waktu menyerang.”

Wednesday, June 15, 2016

PM Suka Menulis

Hari Sabtu yang lalu saya bangun dengan satu pertanyaan terbersit di kepala: bisakah sebuah akun Twitter dipakai untuk broadcast beberapa blog sekaligus?

Buka browser, cek: ah, tentu saja sudah ada yang pernah tanya di Quora. Dari situ saya penasaran mencoba, lalu bikin akun twitter untuk uji cobanya (@tetulisan). Yang menariknya lagi, saya jadi tahu kalau prosesnya bisa diotomatisasi dengan cara RSS blog tersebut digabung jadi satu RSS dulu. Lepas itu, baru RSS gabungannya dipakai untuk disambungkan ke Twitter.

Percobaan pertama saya pakai blog ini, blog Shally, blog Awe, blog Mbak Yanti, dan blog Angga. Persamaan kami semua? Sama-sama alumni pengajar muda, sama-sama punya blog (duh), dan sama-sama ada di grup WhatsApp PM Suka Menulis. 



Saya coba gabungkan dengan RSSMix, sambungkan ke Twitter dengan dlvr.it, tes. Sukses.




Siangnya saya buka tawaran untuk yang berminat blognya disambungkan ke twitter ini. Responnya macam-macam. Banyak yang sigap (dikomandoi oleh Hety), ada yang ga yakin Tumblr punya RSS (Rini), ada yang siwer dan malah ngasih alamat e-mail alih-alih blog (Hanan), ada yang beralih nawarin nonton teater JKT48 (Awe), dan beberapa mengaku galau dan ga pede karena "kebanyakan nyampah pribadi" (Fahmi, Rayi).

Di penghujung akhir pekan, ada 22 alamat blog berjejer (kurang lebih) rapi. Dari sini saya belajar beberapa hal baru:

1. RSSMix bisa ngegabungin RSS dengan sangat simpel. Total no-brainer. Tapi ternyata ga memungkinkan untuk menyunting RSS sumber ke RSS gabungan. Begitu udah digenerate, kalau mau ditambahin blog baru, URL mix RSSnya akan berubah. Ketika Senin pagi saya rekap jadi http://www.rssmix.com/u/8195385/rss.xml, kalau saya tambahkan feed blog yang menyusul belakangan, RSSnya akan berubah. Ini berarti kalau ada yang menambahkan dari RSS mix di atas tidak akan dapat pembaruan dari blog-blog alumni PM yang saya tambahkan belakangan. Saat ini feed yang terbaru saya taruh di halaman profil @tetulisan.

2. Untuk integrasi ke Twitter, saya coba tiga alat: dlvr.ittwibble.io, dan twitterfeed.com

2a. Saya paling suka dlvr.it sebetulnya, yang saya coba pertama. Tapi versi gratisnya maksimal cuma 5 RSS, dan RSS bersama dari RSS mix di atas ditolak karena lebih besar dari 512 kb. (sementara langganan per tahun $100). Kalau saya tahu bakal sampai 30an lebih anggota grup tertarik, saya mungkin akan menawarkan opsi urun dana. Tapi saya malas ngurusin printilan transfernya. Jadilah saya cari alternatif lain.


2b. Twibble.io ternyata mampu handle RSS gabungan, tapi dia nempel link campaign twibble.io yang bikin tweetnya terlalu riuh sampai jadi agak geuleuh. Plus, karena RSS gabungan yang dipakai, saya ga bisa set untuk nge-tag siapa yang menulis.



2c. Twitterfeed.com sebenernya UI-nya saya ga suka, tapi ternyata dia yang paling fleksibel. Sejauh ini bisa dipasang 35 feed (dan gratis). 


Dengan Twitterfeed.com, saya awalnya berniat mau pakai dari RSSmixnya saja, supaya satu feed saja gampang. Tapi ini membuat tweetnya tidak bisa dimodifikasi agar ada tulisan dari blog siapa yang dicuitkan. Maka saya jadinya masukin feednya satu-satu.



Komentar Shally, saya ini merepotkan diri. Memang sih, saya bisa pake Java untuk otomatisasi, tapi malas ah memfamiliarkan diri dengan bahasa baru di hari Minggu. (Plus berkelitnya mudah, mau coba R dulu).

3. Ada beberapa blog yang gagal dimasukkan. Awalnya, punya Suhar karena dari blognya ngga ada RSS-nya ("no valid URL was provided", kata chimpfeedr), sementara kalau dari Mas Arif (http://ariflukman.com/feed/) gagalnya karena "Your feed might be empty or missing publish dates or GUIDs. A feed needs to contain publish dates or GUIDs in order to work with twitterfeed, see help". Punya Suhar setelah diutik-utik jadi bisa juga sih.

4. Hampir tidak terkait, tapi ternyata blog yang alamatnya bukan nama si empunya itu barang yang lumayan langka. Termasuk saya dan Mbak Yanti, hanya ada enam blog yang tidak ada unsur nama di tautannya. Sebagian malah punya domain sendiri dengan namanya. Tapi saya mah sadar diri, nama saya sulit dieja, kalau pakai nama diri pasti orang lebih susah ingatnya. Sementara itu, gagang pintu kuning kalaupun nyasar paling cuma nyasar ke Inggris, Brasil, atau Kazakhstan.

yellow.door.knob di sistem alamat what3words.com
Sekarang, lalu apa? Ya sudah, saya tinggal ikuti akun twitternya (@tetulisan), dan lihat apakah ada tulisan yang menarik minat saya. (Sambil berharap yang pada nulis bisa membedakan di sebagai kata depan dan di- sebagai awalan. Karena ternyata masih banyak saja yang menulis "di jual" dan "dimana". Kedua contoh barusan salah, karena yang betul adalah "dijual" dan "di mana".)

Mari membaca!

Wednesday, June 8, 2016

Writing

I think I read too much these days. More precisely, I’m swinging wildly between not reading enough and reading too much. In the past month alone I finished 20 books.

All these reading, naturally lead to the itch to write. And yet all that I could muster was that 257-word short post.

I used to be able to write more often, but I also hadn’t been able to maintain a personal journal since my days in Banggai. It’s not that I don’t write at all, I write emails daily, and work brings innumerable proposals, presentations, reports to write. But those aren’t going to cut it. I want to write more for myself, if I had the time.

Time. Of course I haven’t had the time. And the little time that I have, is barely enough for that. Case in point: it took me 4 hours and 19 minutes to write and publish that last post. I’m not a very fast writer, that’s why.

And yet, despite the length of time it was remarkably quick. I had the prompt on the Wednesday before and my mind decided that I want to write the post shortly after. It was only a matter of fleshing out the retort in the upcoming days.

But even with the skeleton of the idea ready I had not had the time to write it. I was in the field and as such, mostly on the road. Writing on my android phone feels clunky, and as I just recovered from motion sickness nausea a couple of days before, typing on a tiny screen in a moving vehicle seemed to be tempting fate.

So I decided to write the outline on my notebook. My scribbles didn’t have to be legible. I know that the act of writing by hand alone will give me sufficient memory anchors. The scribbles will help when I type them on my laptop.

***

In writing that post, somewhere along the way, I decided I was going to reuse one of the narrative styles that I had used before. When I reflected back on my volunteering experience from Tohoku, I juxtaposed what was impossible with what was possible. Each paragraph highlights either a possibility or an impossibility.

Same goes with that last post. Each paragraph expands on one aspect of possible reason why living in the village could be boring. But I abhor repetition, and I fired up my thesaurus and dictionary as I write that. I want the regularity of a pattern, but I did not want it to sound repetitive. I don’t know if I succeeded.

As it were, I took the longest time trying to track down the appropriate links for the body text. Blog archives and Ruang Belajar pages. Kuat’s Facebook note. Facebook pictures.

I collected more, but decided to discard some. I wanted to include Auliya’s phallic corpse flower, but it made the first paragraph too long. I wanted to include the time when I taught my students digestive systems, but the MyOpera links were already down. I wanted to put in more, more, more.

Part of it is the feeling that I don’t do my year justice with that very short blog post, because how do you boil down a very eventful year to 200-something words? In my scribbles, I noted how I wanted to put a paragraph for Pak Tasmin the headmaster (who eschews inflating marks for the students’ national exam), the teachers (Bu Ade was married last week! The teachers were all so kind to me.), my despair of constantly being on my wit’s end, the forests that was cleared to make way for oil palms, the rivers, the people!

But I couldn’t put all that in. It was already past midnight in Labuan Bajo, and my laptop battery is almost tapped out. I didn’t bring my plug adaptor—it’s already a miracle that my laptop lasted the whole week without being recharged. So I had better post that blog there and then.

I hit the ‘post’ button, and shortly after the screen went dark. I went to sleep afterwards.

***

I can write quick if I paid less attention to coherence in the message. When I returned to Banggai a couple of months ago (has it been really that long?), I poured my week into 21 pages easily in a matter of days. The only trade-off that I took to produce that 8,615 words in 10 days was that I was mainly a silent (sullen?) companion to Danti on our way back to Jakarta. But I think she understood.

When coherence is at stake, though, the length of time that I need haemorrhage. I volunteered to write the narration for PM V Halmahera Selatan in mid-2015, and I only finished writing the 7,716 word-long piece 221 days later in early 2016. Naturally, I was feeling absolutely high.

Similarly, I had the idea to write about my impressions testing EGRA and EGMA shortly after I returned from Kuningan in August 2016, but the completion was delayed. First I meant to catch the momentum of nostalgia waves from the 5-year anniversary of PM I’s deployment in November. I missed that. Then I meant to seize upon the enthusiasm of PM XI’s training. I missed that, too. I changed course to ride on PM IX’s return to Jakarta, but still it was not ready in time. Only then after IM celebration event I finally finished writing that email.

***

All these writing, and for what? Vanity? Posterity?

I like to think that writing—my writing can change the world. It’s the ideal that I subscribed to when I was active writing letters and pleas to/on behalf of Amnesty International’s prisoners of conscience.

I don’t know, I like to think that my letters helped. I hoped that my letters helped.  That, despite the clunkiness of my language. I am acutely aware that the way I write is very often overly verbose and prone to veer off at tangents.

We’re not being taught to write enough. I was taught only to write very little. In 5th grade, I dreaded the Indonesian class when one day my teacher had us write a short story. Perhaps the only other Indonesian lesson that I hated was when they made us take turns to recite Taufiq Ismail's poem Rendezvous in front of the class.

Is it any wonder now that you never, ever, ever see me writing fiction or poetry?

Of course I don’t hate fiction or poetry. Fictions, at least is the staple of my reading. I understand its power, and I stand in awe before its majesty (that fiction is so malleable and thus can provoke minds and imprint complex ideas is nothing short of majestic to me).

But given how I detest writing anything that resemble fiction, naturally this leaves me with an imperative to improve my non-fiction writing. This is what led me to this course.

Am I excited? Yes. Am I ready for such intensive course? Hell no. Would I be able to commit to the whole program? I hope so. Am I ready to have my ego bruised and battered from going to the course? Hahahah.

But you can just ask me again if I’m excited, and I’ll keep on answering yes.

Saturday, May 28, 2016

Jemu


"Seperti inikah dulu di desa tempatmu mengajar dulu? Pasti sangat menjemukan," komentar si Bapak yang ikut bepergian bersama saya ke tengah Pulau Flores.

Apabila saya menganggap alam itu membosankan, maka ya: hidup satu tahun di desa tidak tertahankan. Tapi bagaimana bisa saya merasa biasa memergoki kerumunan kera bersiaga di tepi jalan antardesa? Sementara itu, di laut yang tak pernah jauh, saya bisa berenang berdekatan dengan ikan-ikan badut jingga. Desaku mendekatkanku dengan alam yang sedikit dijamah manusia.

Jika saya tidak punya kesempatan bertualang, maka ya: enggan saya hidup satu tahun di desa. Namun ketika saya dapati bulu kuduk meremang karena harus berkendara di tengah kegelapan, saya sadar di sini petualangan gampang didapatkan, meski sekadar dari perjalanan ke desa seberang. Desaku membuat nafas memburu.

Seumpama saya menganggap sepi itu membosankan, maka ya: hidup satu tahun di desa sangat menjemukan. Tapi desaku tak pernah sepi. Anak-anaknya sigap untuk menjadi riuh agar aku bangun dari tidur siang, mungkin karena akhirnya mereka tidak merasa belajar itu membosankan. Desaku ramai.

Sekiranya bekerja di desa itu tidak menantang, maka ya: mengajar satu tahun di desa akan membuatku mengharap pulang. Akan tetapi, mengajar membuatku tahu betapa sulitnya terus menjadi seseorang yang bisa digugu dan ditiru. Lebih dari itu, mengajar mempertemukanku dengan anak-anak yang haus untuk selalu belajar hal yang baru. Desaku memberi tempat harapan bertumpu.

Seandainya saya hidup di desa tanpa teman bercerita, maka ya: hidup bosan satu tahun tentunya sangat merana. Memang ada masanya saya kebingungan dengan cara penduduknya berbahasa. Namun saya akhirnya sedikit-banyak ikut terbiasa. Pun saya selalu bisa bercengkerama dengan lima teman yang pribadinya luar biasa. Desaku memberi keluarga baru.

Desaku gagal membuatku merasa jemu.

Friday, April 8, 2016

At Pasar Senen

This is my sister, my mom, and me.

I rarely post about my mom—and part of it is maybe because of the distance, the whole five hundred kilometers and so between Jakarta and Klaten. And I don’t go home often enough.

Thursday, March 17, 2016

Refleksi Selebrasi Lima Tahun IM

“Ketemu di Gambir yaaa,” komentar teman Penyala Banggai ketika saya bertanya apakah dia ada rencana datang ke Jakarta. Saya sama sekali lupa kalau ada yang janggal dengan kalimatnya. Saya waktu itu berpikir wajar saja kalau orang ke Jakarta tibanya di Gambir, tapi tidak sadar kalau tidak ada jalur langsung Jakarta-Banggai via kereta api.

Baru ketika dia mengepost update bahwa Penyala Makassar dan Penyala Jogja sudah bertolak ke Jakarta untuk ikut Selebrasi saya jadi ngeh kalau ada orang-orang yang rela bersusah-payah ke Jakarta untuk acara ini. Momen-momen seperti ini yang membuat saya kangen kembali berada di penempatan, tempat saya berkenalan dan berinteraksi dengan banyak orang yang mengupayakan kebergunaan, termasuk teman saya tadi.

Saya suka bernostalgia, jadi selalu menyenangkan berkumpul dengan teman-teman sepenempatan. Saat berkumpul, obrolan kami sering bermuara pada penyesalan akan minimnya pengetahuan kami ketika bertugas di penempatan. Seandainya saja dulu kami tahu hal-hal yang sekarang kami tahu, pasti ada lebih banyak hal yang bisa dilakukan. Pasti ada cara-cara berbeda yang bisa dicobakan. Pasti kami tidak perlu merasa kerepotan harus kembali menciptakan roda dari awal. 

Dengan para Penyala, misalnya. Seandainya pengetahuan saya dulu lebih luas, saya membayangkan bisa bercengkerama dengan mereka tentang penelitian Michael Kremer di Kenya yang menunjukkan bahwa yang meraup manfaat pemberian buku di sekolah-sekolah hanyalah siswa-siswa yang kemampuan membacanya sudah kuat. Ini sebabnya untuk sekolah dengan kondisi calistung kelas awal yang lemah, pendampingan baca siswa perlu diberikan porsi khusus. Bagi mereka yang belum lancar membaca, keberadaan buku ini kecil manfaatnya. 

Sayangnya, murid belum lancar membaca dan berhitung galib adanya, termasuk di desa penempatan saya. Di awal penugasan, saya menemukan satu murid kelas tiga yang tidak saya ajar ternyata belum lancar penjumlahan 1-10. Saya ingat bahwa saya merasa gagal mencari cara yang bisa saya pakai secara cepat dan akurat untuk mengukur kemampuan dasar matematika dan membaca siswa. Seandainya saja waktu itu saya memiliki panduan diagnosa kemampuan baca dan bagaimana menanganinya, saya berpikir mungkin saya akan bisa lebih berguna dalam waktu satu tahun di sana.

Kini setelah lebih dari dua tahun meninggalkan desa, saya menemukan bahwa ada instrumen seperti EGRA dan EGMA, yang bisa dipakai untuk mengukur kemampuan murid dalam hal matematika dan membaca. Saat mendapatkan instrumen ini, hal pertama yang terbersit di bayangan saya adalah betapa bergunanya instrumen ini apabila dulu saya tahu akan ditempatkan di sekolah baru tanpa PM pendahulu yang bisa memberikan gambaran detail kemampuan tiap anak. 

Di luar lingkup pedagogis tentang bagaimana saya sebagai guru bisa merancang strategi penguatan calistung untuk anak-anak tertentu, saya kini juga tahu bahwa pengukuran sistematis bisa membantu saya juga mengadvokasi kepedulian orang tua pada pendidikan. Pandangan ini saya dapatkan ketika saya membaca tentang bagaimana NGO Pratham di Jaunpur, India melibatkan orang tua untuk mengetes kemampuan mengeja anak-anaknya dengan tes serupa EGRA dan EGMA. 

Sama seperti di Indonesia, ketika orang tua melihat sendiri bahwa anak-anaknya sulit membaca, reflek mereka adalah menabok anaknya. Namun, hasil pengetesan ini lalu bisa menggerakkan warga untuk menjadi sukarelawan yang membantu anak-anak di desa itu untuk belajar membaca. Para sukarelawan ini lalu diberi pelatihan satu minggu oleh Pratham, dan hasilnya cukup membanggakan. Di akhir program, semua anak di desa program Pratham yang sebelumnya tidak bisa membaca sama sekali menjadi bisa mengenali huruf (sementara hanya 40% anak di desa pembanding yang bisa mengenali huruf). Untuk anak-anak yang sebelumnya hanya bisa mengenali huruf, proporsi yang menjadi bisa membaca cerita singkat lebih tinggi 26% di desa program daripada di desa pembanding.

Temuan di atas membuat saya berikan satu salinan EGRA dan EGMA ke PM XI Banggai ketika saya sambangi camp pelatihannya. Harapannya sih agar berguna, tapi saya jadi bertanya-tanya juga apakah justru mungkin instrumen ini lebih berguna di kabupaten-kabupaten baru yang tidak sempat saya ajak mengobrol PMnya. 

Saya membayangkan di kabupaten-kabupaten baru ini para PMnya akan harus meyakinkan banyak orang tua baru yang mungkin sebelumnya jarang bertemu para penggerak pendidikan. Bayangan saya, akan sangat wajar kalau mereka berkilah bahwa anak-anak mereka tidak mungkin mampu meraup seluruh manfaat pendidikan yang mensyaratkan seseorang lulus sekolah menengah agar taraf penghidupannya naik. Di sini sebetulnya data bisa membantu membujuk para orang tua bahwa memberi kesempatan sekedar satu-dua tahun lebih lama di sekolah berkemungkinan memperbaiki upah yang diterima anak mereka di masa depan. 

Saya tahu paling tidak ada dua studi yang terkait hal ini: satu di Madagaskar dan satu lagi di Indonesia, yang melihat dampak pembangunan gedung sekolah Inpres di masa orde baru. Keduanya menunjukkan hasil serupa: rata-rata peningkatan logaritma upah proporsional dengan lamanya seseorang di sekolah hingga SMA, dan kurvanya tidak cekung seperti yang banyak dibayangkan para orang tua.

Tentu saja saya tidak tahu apa-apa tentang menjadi orang tua, tapi pengamatan saya (dan cerita teman-teman) menunjukkan peran itu adalah peran yang luar biasa berat. Bahkan dengan niat yang baik, ketidaktahuan mereka tentang kemampuan anaknya membuat mereka mengambil keputusan yang tidak pas dengan kebutuhan anaknya. Ini yang membuat mereka memilih membeli buku yang tidak sesuai dengan kemampuan anaknya. Ini masuk akal sih, karena kita saja mungkin tidak tahu kalau kategorisasi cara belajar menurut audio, visual, dan kinestetik itu tidak ada dasar ilmiahnya (lihat mitos nomor 4), apalagi para orang tua di desa.

Berita bagusnya adalah, apabila mereka diberi informasi, mereka bisa mengambil keputusan yang lebih sesuai. Ketika dijelaskan tentang setiap angka yang ada rapor yang disederhanakan, mereka membeli buku yang lebih sesuai. Ketika diberi infografik hubungan proporsional pendidikan dan upah, tingkat kehadiran murid-murid meningkat. Bahkan ketika infografiknya sesederhana menunjukkan jumlah karung beras sebagai representasi besar upah yang diterima. 

Mendengarkan paparan tentang studi dari Madagaskar ini juga mengingatkan saya pada Kelas Inspirasi yang banyak digagas di berbagai kota. Membaca paparan bahwa untuk studi ini, mereka mengadakan sesi mengundang profesional untuk datang ke sekolah dan berbagi di hadapan siswa dan orang tua, satu pertanyaan terbersit di kepala saya: adakah penyelenggaraan Kelas Inspirasi yang turut mengundang orang tua di hari inspirasinya? 

Pertanyaan lain yang terbersit adalah, perlukah penyelenggara KI memprioritaskan relawan inspirator yang memiliki latar belakang penuh keterbatasan seperti yang dihadapi siswa-siswa di SD-SD KI? Pertanyaan ini muncul di kepala saya melihat hasil studi tersebut yang hanya mendapati indikasi dampak role model untuk mereka yang menceritakan kisah hidup mereka dari tingkat ekonomi rendah (ayah-ibu petani, sekolah di desa) naik ke tahap madya (memiliki ladang yang produktif/punya toko yang ramai)/tinggi (jadi PNS/manager). Sementara itu, mereka yang memang berasal dari strata ekonomi tinggi (orang tua PNS, bersekolah di swasta elite) tidak banyak menghasilkan dampak. Melihat mereka yang ada di kelompok terakhir ini, kemungkinan para orang tua yang hadir akan merasa bahwa latar mereka yang berbeda meneguhkan perbedaan kemampuan dan capaian antarstrata. Orang tua yang berpendapatan rendah akan melihat mereka yang sukses meski awalnya juga berketerbatasan membersitkan harapan mereka. Untuk cerita mereka yang awalnya ada keuntungan, harapan yang ditimbulkan ini kurang. 

Tapi harapan saja tentu tidak cukup. Saya sependapat dengan Karlan dan Duflo yang baru-baru ini menulis op-ed di NY Times. Mereka berkata, ”Hope and rhetoric are great for motivation, but not for figuring out what to do. There you need data.” 

Bagi kita yang berkecimpung di dunia pembangunan, data ini bisa menjadi panduan penyusunan program agar menjadi tajam. Penajaman ini perlu apabila melihat pengalaman Pratham menggerakkan masyarakat untuk melakukan aksi kolektif yang efektif meningkatkan pendidikan. Efektivitas ini didapatkan dari menunjukkan hal spesifik yang bisa dilakukan masyarakat (jadi sukarelawan mengajar membaca) tanpa mengharuskan mereka terlibat untuk meROMBAK SISTEM PENDIDIKAN DENGAN TRANSFORMASI MENYELURUH. (Pakai huruf kapital untuk klausa terakhirnya karena agak mustahil membaca seruan mengawang-awang jenis slogan peringatan Hardiknas tanpa merasa kayak baca pidato ala orang “penting”).

Ini bukan berarti tidak mungkin masyarakat terlibat dalam perbaikan struktural sistem pendidikan, tapi ya kan nyatanya penempatan guru masih merupakan wewenang BKD, yang lazimnya jauh dari jangkauan para orang tua di desa. Maka mencari sukarelawan desa adalah satu hal spesifik dan nyata yang mereka tahu bisa langsung mereka lakukan. Lalu apa peran yang bisa PM—atau Pengajar Cerdas TBB, atau di tempat-tempat lain seperti Sorong, Bima dan Halmahera—lakukan? Mereka bisa menunjukkan pilihan jalan meningkatkan pendidikan seperti di atas. Memastikan upaya pengadaan bacaan tidak hanya menguntungkan yang lancar membaca. Mengukur tingkat kemampuan anak secara sistematik, dan melibatkan orang tua dalam prosesnya. Memberantas miskonsepsi pendidikan yang hanya berdampak pada kesejahteraan selepas tingkat SMA. Memperbanyak interaksi role model yang beresonansi dengan latar belakang orang tua. 

Atau meniru Roland Fryer, PM bisa menarik teladan dari sekolah unggulan untuk sekolah-sekolah di penempatan. Fryer sendiri menggunakan meta-analisis untuk memilih hal-hal teladan  yang akan diterapkan di sekolah-sekolah seperti di daerah Harlem di New York. Hal-hal yang diterapkan ini termasuk satu jam ekstra di akhir hari sekolah, dan penanaman mindset bahwa meski mereka murid di sekolah yang rentan DO, hidup mereka bisa menjadi lebih baik dengan bersekolah.  Hasilnya? Meski banyak guru awalnya pesimis, ("Ah, itu mah sekolah unggulan. Sekolah kita mana bisa, sekolah kita perlunya dapat anak-anak yang memang pintar dari sononya,") satu paket keteladanan tadi ternyata bisa meningkatkan capaian akademis sekolah target dalam bidang matematika. Presentasi Fryer yang membikin trenyuh dengan pemaparan yang banyak mengundang tawa ini bisa dilihat videonya di sini. (Saya sepakat dengan Alex Tabarrok-nya MR di sini, saya sangat merekomendasikan teman-teman untuk menonton videonya.)

Namun mari kita tarik lagi untuk konteks PM dan gerakan pendidikan lainnya. Untuk menunjukkan pilihan-pilihan di atas, PM harus memiliki pengetahuan tentang jalan-jalan yang ada—dan ini yang membuat saya dan beberapa teman sering merasa geregetan, karena tidak tahu ada pengetahuan-pengetahuan seperti ini ketika di penempatan. Dengan akses informasi yang terbatas pula, kecil kemungkinan saya waktu itu bisa mendapatkannya ketika selesai pelatihan memasuki masa penugasan. 

Di sisi lain, ketika sekarang saya mengobrol dengan banyak orang di daerah tentang pekerjaan riset, mereka biasanya langsung berorasi panjang lebar tentang betapa banyaknya penelitian yang dilakukan berbagai pihak yang lalu tidak dipublikasikan, apalagi diterapkan. Biasanya saya bagus dalam hal mengontrol muka, tapi ada perasaan terlecut juga. Kita tahu kok tentang penelitian-penelitian yang dilakukan dengan sungguh-sungguh! Kita bisa juga kok menerapkan penelitian-penelitian yang ada untuk memperbaiki keadaan! 

Saya tahu, ini adalah pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan oleh satu-dua orang. Inilah mengapa, bagi saya tidak ada jalan lain selain untuk terus belajar dan terus bekerja.

----------------------------------------------------
Penyangkalan: tulisan ini adalah pendapat pribadi, dan tidak mewakili institusi manapun, termasuk institusi tempat saya bekerja sekarang.

Thursday, January 21, 2016

Lessons learned from 2015

“May your coming year be filled with magic and dreams and good madness. I hope you read some fine books and kiss someone who thinks you're wonderful, and don't forget to make some art -- write or draw or build or sing or live as only you can. And I hope, somewhere in the next year, you surprise yourself.”
Very late in 2015 I learned that I will never be as good as Neil Gaiman in expressing my hopes for the then-coming year. But I felt content as I looked back over the passing year. If the 2014-Masyhur had wished the 2015-Masyhur the exact wishes above, he would have been very happy to know that they came true.

Because 2015 was a year of good madness, as in it’s good that I managed not to get mad. At its peak, I occupied three desks for work, one at Cempaka Putih, one at Kebon Sirih, and another at Salemba[1][2]. In between the three locations, I squeezed in working on Duolingo’s English course for Indonesian speakers, and supporting G83 foundation’s STEAM training for teachers[3].

I read books, and some made lasting impressions. I found that many contemporary Indonesian writers surpassed my expectation, and it spurred me to catch up the gaps in my reading history. I haven’t read everything by Eka Kurniawan, or Leila Chudori, or Okky Madasari, or Ahmad Tohari, but I think I will enjoy making the effort to catch up with their works this year.

One book in particular left a very deep mark: Jonathan Safran Foer’s Eating Animals. I am saying this not only because I get to learn new words from reading the Indonesian translation[4], but also because Foer made me racked my brain to see if I can come up with an ethical reason to justify eating meat. Convenience, habit, indulgence, nutrition all come to mind, but none were strong or compelling enough.

But ethics and practicality often run in different directions at the same time. One of the professors that I’m working for is a vegetarian, so even before I fully considered the ethical dimension of eating meat, I have been aware that being vegetarian can limit one’s option when eating out. But contemplating this issue had primed me to pay attention to other people’s take on vegetarianism (notably Satya, Freida, and one of Tuti’s PIs)[5].

So as I dabbled with casual vegetarianism, a host of new questions follows naturally. How should vegans live, i.e. should I espouse a stringent environmentarianism view[6]? Should I prefer beef over chicken because it's more ethical to cause suffering to one cow rather than many chickens[7]? Should I prefer chicken over beef because beef has worse environmental impacts? Should I just work to replace meats with oysters and mussels?

That is not to say that Foer made me changed my mind--I think I was just undecided to begin with[8]. It's not like I used to see vegetarianism with contempt and it brought me around. I suspect that for these kind of book, they left a mark on me because they better articulate the thoughts and strands of ideas that had been swirling in my mind. I guess this is why keeping one's mind open is hard and providing information alone won't cut it.

And when I know that I can control the extent of how my reading influenced me, how much do I want to change for every new information that I encounter? This has been in my mind ever since I shared the article from Vice claiming Starbucks in Indonesia and other MAP brands are owned by a corrupt tycoon who embezzled money during the 1997 crisis. Aside from the necessity to strive to make ethical purchases, for me taking actions (or boycotts) based on a journalistic product validates the existence of journalism to inform the general public. It is also consistent with my general world view that journalism is a necessary force of good.

On the other hand, one year since I shared that article, I found that I had very limited options outside MAP stores to buy swimsuits and goggles. Now we'll see if the changes Foer made in me will last more than a year.

In the meantime, 2016 promises me more books to read, knowledge to learn, relationships to savor, and goals to pursue. This looks like a good year to blow my mind:
"At year’s end you should look back at your thoughts and opinions twelve months before and find them quaint. If not, you probably didn’t read or explore or work hard enough."
------
[1] I live in South Jakarta. Salemba and Kebon Sirih are in Central Jakarta. Cempaka Putih is in East Jakarta. This was more than enough to make my daily commute antarkota dalam provinsi (AKDP).
[2] Oddly enough, in these three buildings my office(s) were always located in the topmost floor. the 16th floor in Kebon Sirih, 6th floor in both Salemba and Cempaka Putih. In a way, this continued the tradition that I had since I was in ITB (4th floor in Labtek III), and Kyoto (6th floor).
[3] Between all that and my stubbornness to maintain my learning streak in Duolingo, running, and a lot of miscellaneous IM-related activities, I noticed some of my friends have begun to berguna-shame me. Because fat-shaming, slut-shaming, and gay-shaming are so passé.
[4] joran, todak, rawai.
[5] I think this also goes to show how your friends and your environment shapes your perspectives.
[6] This is a really good essay, and I think it deservedly won the Oxford Uehiro Prize.
[7] It's a shame I can't locate where I read about the annual average of beef consumption is equivalent to 0.6 cow per year, whereas eating chickens necessitates killing more chickens than cow overall.
[8] I think I read something along this line at Marginal Revolution, where one of the bloggers mentioned that there are very few books that changed his mind. Most of the books that influence his thinking were on issues that he was undecided on when he read them during his undergrad.