Thursday, March 17, 2016

Refleksi Selebrasi Lima Tahun IM

“Ketemu di Gambir yaaa,” komentar teman Penyala Banggai ketika saya bertanya apakah dia ada rencana datang ke Jakarta. Saya sama sekali lupa kalau ada yang janggal dengan kalimatnya. Saya waktu itu berpikir wajar saja kalau orang ke Jakarta tibanya di Gambir, tapi tidak sadar kalau tidak ada jalur langsung Jakarta-Banggai via kereta api.

Baru ketika dia mengepost update bahwa Penyala Makassar dan Penyala Jogja sudah bertolak ke Jakarta untuk ikut Selebrasi saya jadi ngeh kalau ada orang-orang yang rela bersusah-payah ke Jakarta untuk acara ini. Momen-momen seperti ini yang membuat saya kangen kembali berada di penempatan, tempat saya berkenalan dan berinteraksi dengan banyak orang yang mengupayakan kebergunaan, termasuk teman saya tadi.

Saya suka bernostalgia, jadi selalu menyenangkan berkumpul dengan teman-teman sepenempatan. Saat berkumpul, obrolan kami sering bermuara pada penyesalan akan minimnya pengetahuan kami ketika bertugas di penempatan. Seandainya saja dulu kami tahu hal-hal yang sekarang kami tahu, pasti ada lebih banyak hal yang bisa dilakukan. Pasti ada cara-cara berbeda yang bisa dicobakan. Pasti kami tidak perlu merasa kerepotan harus kembali menciptakan roda dari awal. 

Dengan para Penyala, misalnya. Seandainya pengetahuan saya dulu lebih luas, saya membayangkan bisa bercengkerama dengan mereka tentang penelitian Michael Kremer di Kenya yang menunjukkan bahwa yang meraup manfaat pemberian buku di sekolah-sekolah hanyalah siswa-siswa yang kemampuan membacanya sudah kuat. Ini sebabnya untuk sekolah dengan kondisi calistung kelas awal yang lemah, pendampingan baca siswa perlu diberikan porsi khusus. Bagi mereka yang belum lancar membaca, keberadaan buku ini kecil manfaatnya. 

Sayangnya, murid belum lancar membaca dan berhitung galib adanya, termasuk di desa penempatan saya. Di awal penugasan, saya menemukan satu murid kelas tiga yang tidak saya ajar ternyata belum lancar penjumlahan 1-10. Saya ingat bahwa saya merasa gagal mencari cara yang bisa saya pakai secara cepat dan akurat untuk mengukur kemampuan dasar matematika dan membaca siswa. Seandainya saja waktu itu saya memiliki panduan diagnosa kemampuan baca dan bagaimana menanganinya, saya berpikir mungkin saya akan bisa lebih berguna dalam waktu satu tahun di sana.

Kini setelah lebih dari dua tahun meninggalkan desa, saya menemukan bahwa ada instrumen seperti EGRA dan EGMA, yang bisa dipakai untuk mengukur kemampuan murid dalam hal matematika dan membaca. Saat mendapatkan instrumen ini, hal pertama yang terbersit di bayangan saya adalah betapa bergunanya instrumen ini apabila dulu saya tahu akan ditempatkan di sekolah baru tanpa PM pendahulu yang bisa memberikan gambaran detail kemampuan tiap anak. 

Di luar lingkup pedagogis tentang bagaimana saya sebagai guru bisa merancang strategi penguatan calistung untuk anak-anak tertentu, saya kini juga tahu bahwa pengukuran sistematis bisa membantu saya juga mengadvokasi kepedulian orang tua pada pendidikan. Pandangan ini saya dapatkan ketika saya membaca tentang bagaimana NGO Pratham di Jaunpur, India melibatkan orang tua untuk mengetes kemampuan mengeja anak-anaknya dengan tes serupa EGRA dan EGMA. 

Sama seperti di Indonesia, ketika orang tua melihat sendiri bahwa anak-anaknya sulit membaca, reflek mereka adalah menabok anaknya. Namun, hasil pengetesan ini lalu bisa menggerakkan warga untuk menjadi sukarelawan yang membantu anak-anak di desa itu untuk belajar membaca. Para sukarelawan ini lalu diberi pelatihan satu minggu oleh Pratham, dan hasilnya cukup membanggakan. Di akhir program, semua anak di desa program Pratham yang sebelumnya tidak bisa membaca sama sekali menjadi bisa mengenali huruf (sementara hanya 40% anak di desa pembanding yang bisa mengenali huruf). Untuk anak-anak yang sebelumnya hanya bisa mengenali huruf, proporsi yang menjadi bisa membaca cerita singkat lebih tinggi 26% di desa program daripada di desa pembanding.

Temuan di atas membuat saya berikan satu salinan EGRA dan EGMA ke PM XI Banggai ketika saya sambangi camp pelatihannya. Harapannya sih agar berguna, tapi saya jadi bertanya-tanya juga apakah justru mungkin instrumen ini lebih berguna di kabupaten-kabupaten baru yang tidak sempat saya ajak mengobrol PMnya. 

Saya membayangkan di kabupaten-kabupaten baru ini para PMnya akan harus meyakinkan banyak orang tua baru yang mungkin sebelumnya jarang bertemu para penggerak pendidikan. Bayangan saya, akan sangat wajar kalau mereka berkilah bahwa anak-anak mereka tidak mungkin mampu meraup seluruh manfaat pendidikan yang mensyaratkan seseorang lulus sekolah menengah agar taraf penghidupannya naik. Di sini sebetulnya data bisa membantu membujuk para orang tua bahwa memberi kesempatan sekedar satu-dua tahun lebih lama di sekolah berkemungkinan memperbaiki upah yang diterima anak mereka di masa depan. 

Saya tahu paling tidak ada dua studi yang terkait hal ini: satu di Madagaskar dan satu lagi di Indonesia, yang melihat dampak pembangunan gedung sekolah Inpres di masa orde baru. Keduanya menunjukkan hasil serupa: rata-rata peningkatan logaritma upah proporsional dengan lamanya seseorang di sekolah hingga SMA, dan kurvanya tidak cekung seperti yang banyak dibayangkan para orang tua.

Tentu saja saya tidak tahu apa-apa tentang menjadi orang tua, tapi pengamatan saya (dan cerita teman-teman) menunjukkan peran itu adalah peran yang luar biasa berat. Bahkan dengan niat yang baik, ketidaktahuan mereka tentang kemampuan anaknya membuat mereka mengambil keputusan yang tidak pas dengan kebutuhan anaknya. Ini yang membuat mereka memilih membeli buku yang tidak sesuai dengan kemampuan anaknya. Ini masuk akal sih, karena kita saja mungkin tidak tahu kalau kategorisasi cara belajar menurut audio, visual, dan kinestetik itu tidak ada dasar ilmiahnya (lihat mitos nomor 4), apalagi para orang tua di desa.

Berita bagusnya adalah, apabila mereka diberi informasi, mereka bisa mengambil keputusan yang lebih sesuai. Ketika dijelaskan tentang setiap angka yang ada rapor yang disederhanakan, mereka membeli buku yang lebih sesuai. Ketika diberi infografik hubungan proporsional pendidikan dan upah, tingkat kehadiran murid-murid meningkat. Bahkan ketika infografiknya sesederhana menunjukkan jumlah karung beras sebagai representasi besar upah yang diterima. 

Mendengarkan paparan tentang studi dari Madagaskar ini juga mengingatkan saya pada Kelas Inspirasi yang banyak digagas di berbagai kota. Membaca paparan bahwa untuk studi ini, mereka mengadakan sesi mengundang profesional untuk datang ke sekolah dan berbagi di hadapan siswa dan orang tua, satu pertanyaan terbersit di kepala saya: adakah penyelenggaraan Kelas Inspirasi yang turut mengundang orang tua di hari inspirasinya? 

Pertanyaan lain yang terbersit adalah, perlukah penyelenggara KI memprioritaskan relawan inspirator yang memiliki latar belakang penuh keterbatasan seperti yang dihadapi siswa-siswa di SD-SD KI? Pertanyaan ini muncul di kepala saya melihat hasil studi tersebut yang hanya mendapati indikasi dampak role model untuk mereka yang menceritakan kisah hidup mereka dari tingkat ekonomi rendah (ayah-ibu petani, sekolah di desa) naik ke tahap madya (memiliki ladang yang produktif/punya toko yang ramai)/tinggi (jadi PNS/manager). Sementara itu, mereka yang memang berasal dari strata ekonomi tinggi (orang tua PNS, bersekolah di swasta elite) tidak banyak menghasilkan dampak. Melihat mereka yang ada di kelompok terakhir ini, kemungkinan para orang tua yang hadir akan merasa bahwa latar mereka yang berbeda meneguhkan perbedaan kemampuan dan capaian antarstrata. Orang tua yang berpendapatan rendah akan melihat mereka yang sukses meski awalnya juga berketerbatasan membersitkan harapan mereka. Untuk cerita mereka yang awalnya ada keuntungan, harapan yang ditimbulkan ini kurang. 

Tapi harapan saja tentu tidak cukup. Saya sependapat dengan Karlan dan Duflo yang baru-baru ini menulis op-ed di NY Times. Mereka berkata, ”Hope and rhetoric are great for motivation, but not for figuring out what to do. There you need data.” 

Bagi kita yang berkecimpung di dunia pembangunan, data ini bisa menjadi panduan penyusunan program agar menjadi tajam. Penajaman ini perlu apabila melihat pengalaman Pratham menggerakkan masyarakat untuk melakukan aksi kolektif yang efektif meningkatkan pendidikan. Efektivitas ini didapatkan dari menunjukkan hal spesifik yang bisa dilakukan masyarakat (jadi sukarelawan mengajar membaca) tanpa mengharuskan mereka terlibat untuk meROMBAK SISTEM PENDIDIKAN DENGAN TRANSFORMASI MENYELURUH. (Pakai huruf kapital untuk klausa terakhirnya karena agak mustahil membaca seruan mengawang-awang jenis slogan peringatan Hardiknas tanpa merasa kayak baca pidato ala orang “penting”).

Ini bukan berarti tidak mungkin masyarakat terlibat dalam perbaikan struktural sistem pendidikan, tapi ya kan nyatanya penempatan guru masih merupakan wewenang BKD, yang lazimnya jauh dari jangkauan para orang tua di desa. Maka mencari sukarelawan desa adalah satu hal spesifik dan nyata yang mereka tahu bisa langsung mereka lakukan. Lalu apa peran yang bisa PM—atau Pengajar Cerdas TBB, atau di tempat-tempat lain seperti Sorong, Bima dan Halmahera—lakukan? Mereka bisa menunjukkan pilihan jalan meningkatkan pendidikan seperti di atas. Memastikan upaya pengadaan bacaan tidak hanya menguntungkan yang lancar membaca. Mengukur tingkat kemampuan anak secara sistematik, dan melibatkan orang tua dalam prosesnya. Memberantas miskonsepsi pendidikan yang hanya berdampak pada kesejahteraan selepas tingkat SMA. Memperbanyak interaksi role model yang beresonansi dengan latar belakang orang tua. 

Atau meniru Roland Fryer, PM bisa menarik teladan dari sekolah unggulan untuk sekolah-sekolah di penempatan. Fryer sendiri menggunakan meta-analisis untuk memilih hal-hal teladan  yang akan diterapkan di sekolah-sekolah seperti di daerah Harlem di New York. Hal-hal yang diterapkan ini termasuk satu jam ekstra di akhir hari sekolah, dan penanaman mindset bahwa meski mereka murid di sekolah yang rentan DO, hidup mereka bisa menjadi lebih baik dengan bersekolah.  Hasilnya? Meski banyak guru awalnya pesimis, ("Ah, itu mah sekolah unggulan. Sekolah kita mana bisa, sekolah kita perlunya dapat anak-anak yang memang pintar dari sononya,") satu paket keteladanan tadi ternyata bisa meningkatkan capaian akademis sekolah target dalam bidang matematika. Presentasi Fryer yang membikin trenyuh dengan pemaparan yang banyak mengundang tawa ini bisa dilihat videonya di sini. (Saya sepakat dengan Alex Tabarrok-nya MR di sini, saya sangat merekomendasikan teman-teman untuk menonton videonya.)

Namun mari kita tarik lagi untuk konteks PM dan gerakan pendidikan lainnya. Untuk menunjukkan pilihan-pilihan di atas, PM harus memiliki pengetahuan tentang jalan-jalan yang ada—dan ini yang membuat saya dan beberapa teman sering merasa geregetan, karena tidak tahu ada pengetahuan-pengetahuan seperti ini ketika di penempatan. Dengan akses informasi yang terbatas pula, kecil kemungkinan saya waktu itu bisa mendapatkannya ketika selesai pelatihan memasuki masa penugasan. 

Di sisi lain, ketika sekarang saya mengobrol dengan banyak orang di daerah tentang pekerjaan riset, mereka biasanya langsung berorasi panjang lebar tentang betapa banyaknya penelitian yang dilakukan berbagai pihak yang lalu tidak dipublikasikan, apalagi diterapkan. Biasanya saya bagus dalam hal mengontrol muka, tapi ada perasaan terlecut juga. Kita tahu kok tentang penelitian-penelitian yang dilakukan dengan sungguh-sungguh! Kita bisa juga kok menerapkan penelitian-penelitian yang ada untuk memperbaiki keadaan! 

Saya tahu, ini adalah pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan oleh satu-dua orang. Inilah mengapa, bagi saya tidak ada jalan lain selain untuk terus belajar dan terus bekerja.

----------------------------------------------------
Penyangkalan: tulisan ini adalah pendapat pribadi, dan tidak mewakili institusi manapun, termasuk institusi tempat saya bekerja sekarang.

No comments: