Ini adalah hari-hari suram, ketika malam-malam panjang membawa pertanyaan-pertanyaan yang merangsek pikiran tenang. Pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan, dan jalan-jalan yang bersimpangan bercabang-cabang.
Tiap-tiap cabang jalan memanggil lantang, menawarkan petualangan-petualangan menantang. Tapi tiap cabang jalan juga berkesan seram, macam malam tanpa dian. Langkahku menjadi pelan. Lalu tertahan.
***
Ini adalah masa-masa kelabu, ketika tanya-tanya ragu tentang suku datang beregu. Belum lagi ragu itu berlalu, tanya-tanya baru berkedok paras lugu menuntut tahu pada apa hidupku berhulu.
Siapa aku? Adakah Indonesia di dadaku? Siapa aku? Tuhan manakah tempatku berserah kalbu?
Tahun sudah hendak menjelang baru, pikirmu tetap terperangkap wasangka kaku.
Baik jika begitu, maka ini waktu meramu perjalanan arungi laut biru, dan daki punggung-punggung gunung hingga nafas menderu-deru. Tempat angin berhembus syahdu.
***
Tapi siapa hendak menjadi kawan untuk berkelana? Kawan-kawan lama terikat kerja, terkadang kesulitan waktu pula untuk hanya sekadar berjumpa. Cakap dan wicara kami semua sering tak lagi ada di lembar yang sama, dengan bahasa yang kadang tercemar bisa berbahaya.
Ini adalah saat-saat nestapa, ketika asa menjadi langka. Gamang dengan kemampuan bicara yang semenjana. Bimbang menentukan kecakapan mana hendak ditempa.
***
Ini adalah waktu-waktu sendu.
2 comments:
Kalau kata Chairil Anwar, nasib adalah kesunyian masing-masing. Jadi yang kamu rasakan memang sudah semestinya begitu. Mungkin.
Mengerikan sekali, Hali. Masing-masing kita terjebak sunyi, sendiri. Tapi kata Chairil ini juga menenteramkan: walau sunyi sendiri-sendiri, masing-masing melewatinya.
Post a Comment