Akhir pekan ini, saya membaca artikel majalah The Economist yang menarik. Di situ, disebutkan bahwa skema seperti Teach for America mulai menyebar ke belahan-belahan dunia yang lain. Dari Chili ke Haiti; dari India hingga ke Lithuania ("I Choose to Teach") dan Latvia ("Mission Possible").
Banyaknya gerakan-gerakan serupa ini mungkin bukan berita baru untuk teman-teman yang ada di balik layar Indonesia Mengajar (yang saya dengar mendapat lawatan Teach for Malaysia)--tapi bagi saya, ini jadi membuat saya girang membayangkan banyaknya orang-orang muda (seperti alumni pengajar muda!) yang mencoba meninggalkan jejak-jejak kebaikan. Tidak mungkin rasanya mereka terpanggil dengan slogan-slogan yang sama: untuk "Melunasi Janji Kemerdekaan", atau untuk menawarkan jawaban bagi pesan "Ibu Pertiwi Memanggil", tapi toh berduyun-duyun juga mereka mendaftar. Artikel itu menyebutkan bahwa rata-rata pelamar yang diterima hanya sepersepuluh yang mendaftar. Saya harus akui di sini saya berhitung sederhana, lalu merasa jemawa. Sepersepuluh? Masing-masing pengajar muda angkatan kelima saja menyisihkan lebih dari seratus pendaftar! Di tiga bulan pertama, seperlima pengajar angkatan pertama program di Chili menyerah? Lemah! (Iya, saya ini songong sekali.)
Selain itu, menyenangkan sekali menerka-nerka tantangan seperti apa ya yang para pengajar gerakan serupa itu alami di negara mereka masing-masing. Haruskah mereka mengarungi laut untuk menuju sekolah dari kota? Adakah tempat mereka mengajar yang beku terisolir salju ketika musim dingin--alih-alih lumpur laknat ketika musim hujan? Atau mereka justru mengajar di sekolah-sekolah terpinggirkan di pusat-pusat keramaian kota? Apakah mereka juga menghadapi komentar-komentar cemar yang menyangsikan kemampuan mereka mengajar?
Ah tapi kan pengajar muda dipuji tidak terbang, dikritik tidak tumbang. Walaupun bisa jadi kadang-kadang doyong-doyong juga perlu pegangan. Untuk masa-masa rentan dirundung pertanyaan "Apakah mengajar satu tahun bisa membawa perubahan?", saya beberapa waktu yang lalu menemukan satu studi yang bisa jadi penguatan.
Studi ini hasil buah pikir seorang profesor Harvard, Raj Chetty. Beliau adalah seorang akademisi cemerlang, dapat Clark Medal, dan dapat tenure (jabatan tetap guru besar) di UC Berkeley di usia 27. Saya tahu sih ketika selesai penugasan, alumni pengajar muda dihimbau untuk tidak membanding-bandingkan diri, tapi ya tetap saja saya merasa bagai butiran debu ketika tahu hal itu. Dua puluh tujuh tahun, beliau dapat tenure, sementara saya... ya sudahlah. Salah sendiri juga hari Minggu kok ambisius nonton video konferensi AEA. Fix, saya ini kurang piknik.
Mari kita kembali ke studi yang saya bilang tadi saja: di studi itu, Raj Chetty menyajikan data dampak guru ke murid-muridnya hingga mereka dewasa. Kita mafhum, guru bagus bisa meningkatkan pemahaman materi muridnya. Mampu matematika, cakap berbahasa. (Chetty menunjukkan nilai anak-anak yang mendapat guru bagus ini naik.) Tapi selepas diajar guru bagus, apakah kemajuan itu lalu perlahan-lahan tergerus?
Ternyata, data menunjukkan bahwa murid-murid yang mendapat guru bagus tidak hanya punya skor ujian yang lebih baik. Tapi, mereka juga lebih cenderung melanjutkan kuliah, memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi, dan memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk hamil di usia remaja. Perbandingan dengan data pajak pendapatan di Amerika ini juga menunjukkan bahwa dampak diajar guru bagus selama setahun ini bisa meningkatkan pendapatan si murid sebesar ~1 milyar rupiah selama masa hidupnya. Lumayan lah, kalaupun jadi guru ga bisa bikin kaya, paling ngga bisa memberi kesempatan muridnya hidup sejahtera. Walaupun saya akui terasa miris juga mendengar cerita Patrya, yang bertandang kembali ke penempatan lalu dipameri mantan murid yang sudah bawa momongan. Saya bergidik membayangkan percakapannya lalu dilanjutkan dengan pertanyaan, "Kamu kapan?"
Karena bagi saya, lebih seru kalau pertanyaan lanjutannya tentang dampak guru-guru tidak bermutu. Dan di sini saya merasa ngenes membayangkan murid-murid yang tidak beruntung mendapatkan guru-guru seperti itu: kemampuan kognitif tidak berkembang, tak bisa berharap banyak pada masa depan. Di paparannya, Chetty mengulangi saran memberhentikan guru-guru berkemampuan lemah dengan (setidaknya) guru berkemampuan setara rata-rata. Saya bayangkan saran ini tidak bisa serta-merta diterapkan. Pasti ada banyak perdebatan, mulai dari bias kriteria pengukuran mutu hingga penggajian yang layak dan banyak hal lagi.
Tentang bias pengukuran mutu, harus diakui penyelidikan mana sebab dan mana akibat memang perlu. Terbersit juga di pikiran saya, agak tautologis juga kalau bagus-tidaknya guru dinilai dari kemampuan mereka meningkatkan nilai ujian muridnya. Jangan-jangan guru jadi bagus itu karena murid-muridnya bagus, mereka yang dari kalangan berada dan orang tuanya rela memberi bimbingan ekstra. Namun, Chetty menunjukkan bahwa kriteria ini tetap bisa dipertimbangkan, karena perhitungan mereka menunjukkan kalau variabel tingkat pendapatan orang tua itu ortogonal dengan kriteria mutu berdasarkan hasil ujian (silakan tilik halaman 22-25).
Tentu mungkin ada variabel lain yang terlewatkan untuk diperiksa ortogonalitasnya. Dan hal ini mungkin menjadi bagian dari argumen sanggahan saran yang diajukan. Asal berbasis data atau analisis yang kuat, saya sendiri melihat saran apapun dan berbagai sanggahannya adalah bagian penting dari proses pembuatan kebijakan yang ideal. Terkadang kita perlu menggunakan narasi cerita agar data bisa bermakna, tapi begitupun tak apa asal kita sadar dengan batas-batas bias yang tersaji dari penggunaan cerita alih-alih data.
Jadi, apa simpulan dari lanturan ini? Saya sih hanya ingin mengagih tulisan-tulisan menarik, yang di antaranya bisa digali dari tautan-tautan di sepanjang lanturan ini. Selebihnya, silakan ditarik sendiri. Dan kalau ada yang menyimpulkan bahwa ini menunjukkan saya ada di titik gawat darurat keseriusan, boleh lho saya diajak bergembira macam lazimnya anak muda--walaupun sudah ada satu-dua yang bilang gaya bahasa tulisan saya macam angkatan Balai Pustaka.
Tapi saya pikir-pikir lagi, biar saja ding, kan angkatan Balai Pustaka akan terus terpatri di lubuk pikir para cendekia. Siapa tahu saya suatu hari bisa menyamai mereka!
No comments:
Post a Comment