Kalau Hitler mirip saya, maka tak mungkin banyak orang menderita. Karena waktu diberitahu total pengeluaran biaya perang maka dia akan balik melotot, "BERAPA?"
Kalau Hitler mirip saya, mungkin lebih banyak warga Yahudi yang tidak disiksa. Terutama karena saya tak pernah bisa membedakan yang Jawa dan yang Sunda. Apalagi rambut pirang dan kulit terang? Bagi saya mirip semua.
Kalau Hitler mirip saya, mungkin perang dunia tak perlu ada. Kalau saya diajak memperluas tahta, saya tolak saja, toh tak perlu Polandia kalau sudah punya tanah Austria.
Kalau Hitler mirip saya, tak perlu ada ide kreasi ras adidaya. Apalagi ras sendiri, karena lebih sering saya frustasi dengan sifat budaya sendiri. Tak malu-malu kalau tak tepat waktu, tapi begitu ada mau, bicara tak bertuju.
Kalau Hitler mirip saya, mungkin setelah mati jasadnya tak jadi rebutan di mana-mana. Karena kalau Hitler mirip saya, dia tak banyak beda dengan orang biasa.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Anda mungkin suka juga: Aku bayangkan Indonesia jadi adidaya
3 comments:
Hitler adalah seorang genius, walaupun terkenal dengan bau mulutnya yang membuat burung-burung jatuh dari udara.
Dia dengan sangat jitu melihat bahwa rasa nasionalisme bisa dibangkitkan dengan membangkitkan rasa kebencian terhadap ras/bangsa lain. Bagaimanapun jahatnya kedengarannya hal itu, tetapi ia benar.
Lihatlah kita, kapan rasa nasionalisme kita menggebu-gebu? Saat kita ada konfrontasi dengan Malaysia, soal Sipadan Ligitan lah, soal tari pendet lah, etc, rasanya semua orang jadi cinta bangsa. Lem perekatnya adalah: kebencian.
Saat kebencian itu pudar, kita kembali berantem di jalanan soal Century, soal Antasari, etc. hehehe
Maaf kelupaan, saya tadi pengin menyertakan anchor ke Satir di koran der Spiegel tentang mulut Hitler yang bau, tapi kelupaan, jadi saya taruh disini saja ya anchornya.
Sayang saya ga jadi belajar bahasa Jerman dulu. *helanafas*
Tentang Sipadan-Ligitan, saya pernah ditanya teman dari Malaysia apa saya pernah dengar tentang pulau itu. Saya jelas jawab iya. Tapi komentar dia berikutnya adalah, "It's so beautiful there, isn't it?" Sementara bagi orang Indonesia sendiri, yang terbayang hanya sekedar sepetak tanah yang hilang.
Kalau nasionalisme yang hanya dibangkitkan oleh keberadaan musuh bersama yang beda bangsa/ras, tidakkah itu menjadi nasionalisme semu saja? Tapi melihat suksesnya genosida Hitler, mungkin memang lebih banyak individual yang puas dengan sekedar nasionalisme semu. (I think hate is such a strong word, and whether nationalism is something that is still relevant may be yet another issue to deal with).
Post a Comment