Saya sebenarnya ingin bercerita tentang orang-orang di tempat belajar baru saya, tapi karena niatnya lebih ke ghibah, saya bikinnya di ceruk saya yang satu lagi. Saya kasih password saja sekalian lah ya.
Jadi saya sekarang ingin bercerita tentang teman saya yang lain lagi. Awalnya saya menyapanya karena ingin minta pendapat hal remeh tentang kemampuan bahasa. Setelah ngalor-ngidul sedikit, dia bercerita kalau dia sedang mengurus masalah pindah kewarganegaraan. Dia bilang, katanya mau pindah ke negara subtropis itu.
Yang bikin saya tercenung justru ini: sejak saya hidup di Jepang, rasanya saya kok malah menggapai-gapai sisa-sisa akar Indonesia saya. Lebih spesifik lagi: mencari warna Jawa saya. Jelas saya tidak sendiri sebagai Jawa murtad: nggak bisa ngomong Jawa dengan unggah-ungguh yang sesuai, malas diajak ngobrol basa-basi dengan tetangga-tetangga yang lebih tua karena rasanya pakewuh kalo ngga pake bahasa yang bener, tapi toh nggak tahu caranya. Jelas ada banyak jamur yang saya kenal, tapi rasanya kalau jamur yang lahir-besar-hidup 18 tahun di daerah yang notabene bukan area perkotaan besar, rasanya saya baru nemu satu: saya sendiri.
Um, mungkin sama adik/kakak saya ding. Tapi rasanya mereka lebih bisa bersosialisasi. Oh, omong-omong, maksud saya jamur itu Jawa murtad.
Jadilah saya sekarang orang Jawa, yang tidak bisa berbahasa Jawa, hidup di Jepang yang jauh nian, dan hanya mampu berlangganan beberapa blog bahasa Jawa di RSS reader saya. Kalau anda pengen tahu, boleh lho dicek, di sebelah kiri laman di yang saya taut di sini ada folder "jawa".
Tapi mari kita balik lagi ke masalah kewarganegaraan. Pertama kali saya ke luar negeri waktu SMA, saya ingat waktu di mobil menuju Simeiz dari Sevastopol, saya sempat berpikir, "Kayaknya kalau hidup di sini enak juga nih," sambil memandangi lahan-lahan yang memang rata-rata kosong dan hanya ditumbuhi semak-semak di sepanjang jalan. Mungkin secara intrinsik manusia pengen tahu bagaimana rasanya tinggal di luar negeri kali ya. Kalau kata teman saya yang lain lagi, urip kuwi sawang sinawang: kita melihat orang lain, membandingkan diri, dan berandai-andai jadi orang itu. Hidup di Indonesia: nggak bisa naik bis tanpa ketemu pengamen, ngga bisa berhenti di lampu merah tanpa ketemu pengemis, ngga bisa ke stasiun tanpa ditawarin porter atau calo tiket. Semuanya jadi berasa lebih baik di negeri orang. For better or for worse, beberapa hari setelahnya saya berturut-turut: mengalami insiden kantor pos, melihat pedagang buku dengan aksara cyrilic yang asing, dan secara umum makan makanan yang ngga ada rasanya. satu rombongan akhirnya menghabiskan condiment yang ada di meja tiap kali makan (masih ingat waktu saya cerita insiden babi?). Tahunya lagi, beberapa bulan setelah saya pulang, Ukraina beberapa kali ditampilkan di halaman depan Kompas: unjuk rasa di lapangan pusat kota Kiev, pendukung oranye versus pendukung biru, dan drama calon PM yang diracun hingga wajahnya menjadi buruk rupa.
Intinya, saya sekarang dalam kondisi sawang sinawang sama teman saya yang pertama saya ceritakan di awal tulisan ini. setahu saya dia nggak menguasai bahasa negara tujuannya. tapi dengan sukarela .... Ya sudahlah ya. Saya sendiri sekarang nggak berpikir pengen jadi warga negara Jepang. Baca saja belum lancar. Dan sekarang saya sekedar menghitung hari. Untuk kembali. Ada apa setelah kembali? Kita pikir saja nanti.
No comments:
Post a Comment