Sebelum saya datang ke Jepang, saya sempat panik mencari ponsel yang kompatibel. Masalahnya, ponsel saya sejak 2007, w810i bukanlah ponsel 3G, jadi jelas tidak mungkin dipakai di sini. Selain itu, saya juga tahu kalau nanti ponsel apapun yang saya bawa dari Indonesia tidak akan berumur panjang. Karena toh agar bisa menggunakan layanan selular di sini saya harus beli kartu yang dibundel dengan ponsel baru.
Saya pun lalu sepakat bertukar ponsel dengan adik saya: W810 menjadi G502. Sama-sama SonyEricsson, saya bisa mengambil kontak lama dengan MyPhoneExplorer. Dari kunjungan singkat terakhir ke Singapura, saya punya SIM card Starhub, yang tinggal diaktifkan jelajahnya ke jepang. Jadi untuk beberapa waktu saya bisa menunda beli ponsel baru.
Sayangnya, Starhub ini kalau terima telepon dari Indonesia di jepang langsung menguras pulsa. Kirim sms ke Indonesia/Singapura/nomer lokal pun sama mahalnya. Akhirnya saya hanya sekali isi ulang kartu Starhub itu sebelum akhirnya beli ponsel. Hmm, jadi ingat: saya berhutang berapa ya ke Septian buat isi pulsa waktu itu?
Akhirnya saya diantar membeli ponsel. Karena kata orang-orang AU paling murah, saya putuskan untuk menjadi pelanggan AU. Di toko itu ada macam-macam model, dan dengan bodohnya saya terbujuk rayu untuk menjadi berbeda dan memilih ponsel dengan merek yang tidak lazim di Indonesia: sharp. Baru belakangan saya sadar: kalau AU pakai jaringan CDMA yang berbeda, jadi waktu pulang tidak bisa dibawa dan difungsikan. Lalu colokan yang berbeda jelas menambah sampah elektronik dan susah cari lingga yang kompatibel.
Namun demikian, adanya ponsel baru ini akhirnya mengistirahatkan G502.
Ponsel baru yang tidak sempurna. Tapi Toh untuk sementara waktu saya gembira: bisa ditelepon lagi, bisa perbarui twitter dari jalan, dll. Hingga saya sadar: AU tak punya fitur SMS. Untungnya tak berapa lama saya menemukan Diolabs. Bukan solusi yang sempurna, tapi terjangkau dan memenuhi kebutuhan saya.
Kejutan kedua adalah tagihan yang datang tak pernah di bawah 5000 yen. Saya kira awalnya ini karena buat aktivasi, tapi setelah bulan ketiga, saya pasrah dan hanya bisa ngegerundel.
Terakhir, selain User Interfacenya sangat tidak bersahabat (untuk input tanda koma saya perlu tekan tombol "0" belasan kali), baterainya juga payah. Dengan waktu bicara yang saya curigai kurang dari 4 jam, percuma saja koneksi lancar dan kencang kalau tak ada daya. Maka saya pun sering bengong saja di kereta, sampai ingat punya bacaan Animorphs di Stanza iPod.
Datanglah bulan april. Berbekal pencarian Google, saya pergi ke Softbank Ebisubashi sendirian. Kenapa sendirian? Karena saya tak tahu lagi mau ngrecokin siapa. Untungnya, semua lancar dan si manager yang fasih empat bahasa itu agak menghibur sementara saya menunggu proses verifikasi. Pertama kali saya dengar orang bercakap-cakap dengan bahasa arab di telepon.
Saya ke Ebisubashi dengan niat membeli pocket wifi. Karena apartemen yang baru tak dilengkapi dengan akses internet dan pendaftaran Hikari perlu kartu kredit yang saya tidak punya, saya kembali ke sistem cicilan paskabayar.
Yang saya suka adalah, kini iPod saya juga bisa terkoneksi internet lewat wifi, dan saya bisa memasang berbagai aplikasi.
Namun kini tiap pagi saya membawa empat item elektronik: sumbat telinga, iPod, pocket wifi dan ponsel. Karena memori masih harus dipakai untuk mengecek dompet, jam tangan, kunci, jaket dan kacamata, jelas akhirnya rawan lupa.
Dan minggu ini saya sudah dua kali ketinggalan ponsel di lab. Seperti yang saya bilang ke Ega dan dibilang oleh Cindy ke saya, ponsel Sharp saya ini kini ibarat istri tua. Tak dipedulikan, tapi kalau ketinggalan toh tak rela rasanya. (apalagi karena saya perlu alarmnya yang super nyaring di pagi hari).
Saya lalu jadi berpikir, mungkin kelakuan ini tidak terbatas di elektronik saja. Waktu SMA kelas satu dan dua, saya duduk semeja dengan teman saya yang namanya Yoga. Entah bagaimana, meja kami sering berdekatan dengan meja Retno dan Nana. Bukan ada masalah atau apa, hanya saja, setahun kemudian kami ada di kelas-kelas yang berbeda. Untuk menyingkat cerita, saya bilang saja we drift apart. And it's such a shame. Di tahun terakhir saya di sekolah itu, saya justru jadi dekat dengan kelompok baru. Yang baru kemarin menghina--dan menghibur saya yang nggak yakin manggar itu apa :)
Di sini saya mau menarik kesamaan dengan ganti-gantinya elektronik saya: begitu bertemu yang baru, yang lama jadi gampang terlupakan. Tapi tidak seperti friendship theoremnya Septian, saya menjadi berjarak bukan karena ada konflik, jadi tak bisa diterapkan. Kami kini masih berteman di Facebook (eh saya belum tambah Yoga jadi teman ding) tapi mungkin sebatas teman yang terbenam di ratusan atau ribuan teman maya yang lain. Yang alay dan yang normal. Yang narsis dan yang pemalu dan yang malu-maluin.
(alinea di bawah ini khusus ada karena saya tahu kakak saya baca blog ini. Say hi, everyone! Or better yet, stop reading)
Karena drift ini berlangsung jadi organik, saya juga tidak yakin akan berujung di mana. Apalagi setelah teman saya pacaran dengan kakak saya. Ya bagaimana ya, saya memang agak dingin dan susah berubah; jadi setelah ada jarak, ya agak awkward saja. To rephrase: I'm totally ok (i swear), but it might need something extraordinaire to--uh, you know, us to bond again. No hard feeling, tapi kalau ada beberapa hal yang sifatnya TMI dari teman *dan* kakak, saya perlu waktu untuk memprosesnya. Beberapa milenia cukup kok. Hehehe.
Eh saya jadi melantur ke mana-mana kan? Padahal awalnya cuma ingin bernostalgia dengan W810i malah berujung ke nostalgia SMA (yang membuat saya merasa tua; saya salahkan anak-anak sma yang baru lulus kemarin dengan segala dramanya!). Saya punya firasat besok tes kanji susulan bakal acakadut, jadi mengutip Apu pada pengunjung Kwik-E-Mart, "Thank you, come again!"
5 comments:
kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu menjadikan corleone 'istri tua'kaaan...? *ngelapin pistol*
:D
maaf saya ingin sekedar memberikan kritik menghancurkan untuk entry anda ini.
saya rasa adalah salah istilah "istri ke dua" yang anda dan teman2 anda berikan kepada hape lama tak terurus anda. kenapa? karena Istri Ke Dua itu adalah istri Muda. Logika nya tentu yang lebih di sayang istri ke dua/istri muda. Anda ini gimana sih? ngangengong *misuh2 ra jelas*
harusnya istri tua gituu~
terimakasih, sekian kritik membangun (dosa) saya.
this is my new blog. whatever. i hate blogspot. -___-
PS: you know what the word verification says "gebruts" and it makes me laugh hysterically.
ok.
@danti aku baru ngeh kamu ngomong apaan. Pantesan bingung, wong emang kita ngomongin hal yang sama: "ponsel Sharp saya ini kini ibarat istri tua." kan istri mudanya jadi iPod touch+pocket wifi.
@puspa ah ini biar ada word verification tetep banyak spam-spam dari cina ga jelas. :/
18 dolar mas, hahaha
Post a Comment