Friday, September 27, 2013

Menuju Ondo-ondolu

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/menuju-ondo-ondolu



Selalu ada cerita berjalan dari Batui 5.

Saya dan Auliya selalu berusaha untuk pulang sebelum jam 3 dari Luwuk, karena pulang jam 3 berarti sampai di Ondo-ondolu jam setengah enam. Ondo-ondolu adalah desa transmigrasi tempat Auliya tinggal bersama Kepala Sekolah, sekitar 5 km lewat jalan kerikil dari Batui 5, desa saya, yang bisa makan waktu setengah jam. Akhir-akhir ini, saya dan Auliya berangkat jam empat dari Luwuk, dan selalu harus singgah di Solan dulu. Ketika kami sampai di persimpangan di jalan poros di desa Bakung, sudah jam enam. Jam tujuh malam kami sampai di Ondo-ondolu.

Kali pertama tidak masalah, karena waktu itu bertepatan dengan bulan purnama. Langit cerah dan jalanan terang. Kali kedua sedang bulan baru. Langit cerah pun jalanan takkan terlihat. Kunang-kunang menghiasi pohon-pohon tinggi menjulang di tepi-tepi jalan. Tapi paling tidak kami tidak berkendara sendiri, dan jalanan di sini aman. Sesunyi apapun jalan, kami punya teman untuk mengobrol memecah sunyi.

Senin sore minggu lalu, hujan turun jadi saya tidak bisa langsung ke SPC. Saya tunggu sampai jam lima, barulah saya berangkat. Esok paginya saya berencana turun dengan Pak Nurhuda berburu Wi-Fi untuk memasukkan data guru ke sistem Padamu Negeri. Karena jalan becek diguyur hujan berhari-hari, saya pilih lewat SPB, berarti saya punya cukup waktu untuk sampai di SPC sekira sebelum magrib.

Tapi selepas jembatan SPB ada bunyi dentang keras dari belakang motor, dan laju motor mulai oleng. Kini ada bunyi desisan pelan dari ban belakang. Saya punya dua pilihan: memaksa motor terus ke SPC, dan lewat di atas jembatan yang berlubang-lubang licin dengan roda tanpa udara, atau menambal ban di dusun yang belum ada 20 meter saya tinggalkan sebelum melanjutkan perjalanan.

Saya pilih opsi kedua, dan putar balik sambil mulai bertanya tukang tambal ban terdekat. 200 meter kemudian, di rumah di sebelahnya kepala desa, baru saya dapatkan tempat yang bisa menambal ban saya.

Saya pun menunggu sambil mengobrol dengan bapak-ibu yang cucunya menambal ban saya. Untungnya baru dua minggu lalu saya pulang dari Klaten jadi kemampuan berbahasa Jawa saya tidak terlalu karatan ketika saya harus berbahasa krama dengan pasangan yang aslinya dari Kulonprogo itu.

Pukul enam lewat lima belas baru selesai motor saya ditambal, dan saat itu pulalah baru ketahuan kalau ternyata ban saya bocor di tiga titik, bukan satu. Karena menambal tiga titik lama dan sulit ketika petang sudah menjelang, saya disarankan untuk mengganti saja ban dalam motor saya. Pukul setengah tujuh lewat baru saya bisa meluncur ke SPC.

Di kegelapan, sendirian.

Di kegelapan jalan antara SPC dan SPB tepian pohon dan langit berbaur menjadi satu. Hanya ada suara motor saya menderu. Gelap dan sunyi adalah lahan subur imajinasi. Daun-daun basah berkilau dengan cahaya lampu motor membingungkan. Merah, hijau dan hitam berkelebat. Bayangan apa yang akan saya temui di tikungan depan?

Saya baru bisa menghembus nafas lega ketika saya sudah lewat jembatan SPC. Jalan sudah beraspal, titik-titik cahaya lampu rumah sudah tampak. Belenggu kegelapan hutan sudah aku tinggalkan.

Aku aman.

No comments: