//reposted for posterity from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/guru-dari-jepang
Ada yang membuat saya geli ketika saya berkirim pesan whatsapp dengan Dimas, trustee pembawa risalah andragogi ke kabilah PM Banggai. Ketika itu, dia bertanya bagaimana kabar murid-murid saya sebelum menambahkan, "Kalau saya jadi mereka pasti senang sekali ya. Belum tentu seumur hidup dapat guru lulusan S2 dari Kyoto."
Untungnya, murid-murid saya di SD Trans Batui 5 tidak pernah menilai gurunya dari gelar S2. Bagi mereka, lebih penting saya datang hari Rabu mengajar bahasa Indonesia untuk melanjutkan materi wawancara. Buat mereka, lebih penting saya tidak terlalu sering turun ke SPC/kota agar saya tidak capek dan bisa memberi belajar sore. Untuk mereka, lebih penting tidak hujan agar saya mau diajak pigi mandi kuala.
Also, if I have my way, they'd go on studying in ITB or in other universities where they'll have professors from abroad teaching them by the dozen. Atau ke Astronomi ITB saja lah, lulusan Kyoto ada sak-ombyok yang mengajar di sana, cukup untuk empat kali umur hidup (karena ada empat orang). Better still, I'll have them make their way to study in Japan themselves.
Untuk sekarang, saya hanya punya satu pembanding tentang lulusan Jepang yang masuk kelas di Kabupaten Banggai.
Namanya Pak Takei, jajaran direksi PT DS LNG yang beroperasi di Banggai. Bersama dengan pimpinan dan staf lain dari PT DS LNG mereka mengadakan kunjungan ke SD-SD penempatan PM. Yang pertama mereka datangi adalah SD Inpres Solan, tempat Lilli mengajar.
Mungkin dengan pertimbangan afinitas kota yang pernah kami tinggali, Lilli meminta saya untuk mendampingi Pak Takei ketika ia masuk ke kelas 5 dan (rencananya) membacakan buku serta bercerita. Sayapun bersiap-siap mengambil peran figuran, karena memang sudah ada guru kelasnya juga yang ikut mendampingi. Pak Takei berencana membacakan dari buku bergambar tentang teknologi yang lazim ada di mall: eskalator, elevator, dan pintu otomatis.
Dari situ saya harusnya sadar kalau persiapan matang memang mutlak diperlukan kalau hendak berhadapan dengan anak SD. Meski Solan adalah desa penempatan PM yang paling dekat dengan ibukota kabupaten, kalau di kabupatennya sendiri tidak ada mall dengan eskalator atau elevator ya tetap saja susah nyambungnya. Plus Pak Takei sepertinya tidak menguasai Bahasa Indonesia logat Sulawesi. Sebetulnya kemampuan Bahasa Indonesianya bagus, jelas jauh lebih bagus dari kemampuan Bahasa Jepang saya yang luntur ketika saya pulang, tapi bagi anak-anak, tentu bukan itu yang mereka lihat.
Pada akhirnya, saya kagum pada Pak Takei yang cepat membaca situasi. Agar interaksi tetap terjaga, selesai memperkenalkan buku, ia mengubah taktik: ia ajak anak-anak bertanding jan-ken-pon dengan dia. Satu per satu mereka maju, yang menang dapat hadiah berfoto bersama (ada banyak kamera karena mereka datang berombongan). Selesai, iapun berpamitan.
Di luar kelas, barulah ia menyeka keringat dan mengipasi badan yang sudah basah kuyup dengan keringat, sembari berkomentar tentang energi anak-anak yang tidak ada habisnya.
Enam bulan sejak kunjungan itu, kini saya punya perspektif baru: bukan almamater atau strata yang penting bagi anak-anak, tapi kesungguhan dan kemauan ketika kita ada di hadapan mereka. Baik di dalam kelas, maupun di luar.
No comments:
Post a Comment