Saturday, September 7, 2013

Tangisan Apriansyah

//reposted for posterity from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/tangisan-apriansyah



"Pak, torang sekarang kelas lima, Pak beajar kelas lima. Nanti torang naik kelas anam, sama Pak juga saja!" kata Ita, muridku di kelas lima yang sejak tahun lalu aku ajar ketika dia di kelas empat.

"Iya Pak, nanti torang SMP, Pak ikut beajar SMP saja, sampai torang SMA, sama Pak terus!" timpal Libra, muridku yang lain lagi.

Aku mau, aku mau sekali, jawabku dalam hati.

Tak sampai hati aku menjawab mereka dengan jawabanku biasanya, kalau nanti bulan dua belas akan datang PM penerusku. Empat bulan lagi saja.

Ucapan yang mereka lontarkan sukses membuatku sesaat kehilangan irama menjelaskan materi sistem pencernaan di pelajaran IPA siang tadi. Aku tak yakin apa yang aku pikirkan benar-benar terlontar juga menjawab ucapan mereka. Aku pikir, asal mereka tidak putus sekolah, belajar sampai SMA bahkan lebih tinggi, I would like nothing better than that. I would fight to ensure they have the best education this nation can offer them.

But I'm a little bit troubled.

Karena Apri mulai menyita perhatianku lagi.

Kenaikan kelas lalu, aku berpikir untuk tidak menaikkannya. Kemampuan menulisnya rendah, dua dari lima kata yang dia tulis akan rumpang hurufnya. Perkalian dia belum hafal. Nilai ujian semester mengharuskannya ikut remedial di semua mata pelajaran yang aku ampu. Lebih dari 30 hari di satu semester dia absen. Keterselesaian tugasnya rendah.

Apri memang harus diperhitungkan sebagai kasus khusus. Berbeda dengan Libra, yang cenderung usil ketika tidak diberi kerja ekstra, dia tidak bisa diberi terlalu banyak kerja kalau aku tak siap mensupervisi dia. Yang ada mungkin malah seperti hari Kamis sore: tak sabar menanti aku mengoreksi jawaban anak-anak lain, dia meninggalkan bukunya untuk main, lalu pulang. Baru malamnya dia datang ke rumah untuk bertanya apa aku bawa buku dia supaya dia bisa belajar saat. Itu. Juga. Ga pake lama.

Kalau dia aku paksa duduk diam saja, daya konsentrasi dia yang pendek akan membuatnya menjahili teman-temannya.

Yang akan bikin teman-temannya menangis.

Ini alasannya kenapa hari Sabtu dua minggu yang lalu aku ambil dia dari kursi dia, lalu aku asingkan dia di kantor. Bagaimana tidak, satu pelajaran, tidak kurang dari tiga temannya dia buat menangis. Yang membuatku akhirnya menariknya adalah entah bagaimana dia melepaskan kaos Liong dari badannya.

Sialnya, karena itu hari Sabtu dan setelahnya aku harus ke kota, aku tak bisa berlama-lama pegang kunci kantor. Jadi setelah bel pulang, aku serahkan ke Pak Penjaga Sekolah, lalu aku ajak Apri duduk di depan pintu kantor yang dikunci. Di tempat terbuka macam begitu aku tak terlalu nyaman mau bicara betulan dengan dia. Pun karena anak-anak SMP dari sebelah bisa melihat kalau kami duduk berdua saja. Melihat, dan penasaran, lalu mendekat untuk menguping.

Aku agak berharap bisa mengulangi pembicaraan kami semester lalu, ketika aku memintanya berjanji tidak akan memukul temannya lagi walau mereka mulai mengejek duluan, tapi settingnya kurang pas. Aku terburu-buru, ruangan terbuka, banyak anak yang harus aku halau.

Sementara itu, Aprinya sudah mulai menangis duluan. Yang membuat anak-anak SMP dari jauh makin penasaran kenapa dia--yang biasanya membuat anak-anak lain menangis, sendirinya menangis. Di sebelahku pula.

Hari itu pun berakhir antiklimaks, tapi setidaknya aku berhasil minta dia berjanji kalau dia Senin akan datang sekolah lagi.

Seminggu terakhir, dia masuk sekolah penuh. Hari Rabu dia sempat bilang mungkin dia akan diajak turun ke kota--dan aku dalam hati langsung mencelos membayangkannya makin jauh mengejar ketertinggalan pelajarannya, apalagi dengan kemampuan menulisnya yang setingkat dengan adiknya di kelas 3. Tapi hari Kamis toh dia ada lagi.

Dia kini hafal prosedur perkalian bersusun, dan sudah menguasai penjumlahan dengan simpanan. Ketika dia melihat nilai matematikanya hari itu dapat 4, dia memilih untuk pulang terlambat untuk mengerjakan ulang hingga betul.

All is not lost.

Of course, the whole effect was a bit ruined when he told me sheepishly, "Saya ditempeleng mamak saya tadi Pak,"

"Saya tadi loncat dari jembatan [ke sungai], hehehe."

Words fail me then.

No comments: