//reposted for posterity from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/buku-untuk-ari
Ada rasa gembira yang membuncah ketika kami mandi buku kiriman Indonesia Menyala yang baru datang. Kami berebutan memilah mana yang akan dibawa ke desa, sembari membayangkan binar-binar bahagia anak-anak mendapat bacaan-bacaan baru.
Komik Legenda Nusantara dari PGN. Majalah Kuark. Pearson's Reading Street. Lima Sekawan dan kumpulan cerita rakyat. Bobo. National Geographic.
Terbayang anak-anak pun akan ikut berebutan ketika aku nanti sampai di desa.
Maka diam-diam aku menyisihkan buku-buku yang aku pikir Ari akan suka.
Karena aku suka ketika semester lalu dia tamatkan dua buku Sapta Siaga, lalu dia ceritakan ulang ke aku, "Itu dorang Susie Pak, dorang pe adik mau ikut-ikut saja," dengan wajah yang berbicara semua. Dengan binar mata hidup dan mimik yakin.
Kelebihan Ari memang bukan di kemampuan matematikanya, atau di bidang atletik. Tapi tak ada cerita yang tak hidup ketika dia bercerita, biarpun cuma cerita bermain hujan. Apalagi kalau cerita melihat temannya baku pukul, tidak usahlah ditanya lagi.
Itu sebabnya aku agak sedikit kecewa ketika aku naik ke desa dan mendapati dia tidak ada. Kata kakaknya, dia ke Bungku, tempat bibinya.
Tidak apalah, mungkin memang mumpung liburan puasa. Satu bulan libur penuh tidak cuma bikin para guru mati gaya, murid-murid juga. Lebih dari separuh anak-anak yang biasa meramaikan desa menghilang, dibawa turun ke tempat saudara di kota bersama orang tuanya.
Perasaanku baru campur aduk ketika kali berikutnya aku bertemu kakaknya dia berkata, "Ari so pindah pak, nanti masuk sekolah lagi di Bungku."
Aku tidak ingin kecewa, tapi aku akan kangen dia.
Aku tahu, tidak masalah di mana dia bersekolah, selama dia masih bersekolah. Aku ingat, kalau di Bungku berarti dia bisa bersama lagi dengan adiknya yang tinggal dengan bibinya. Aku paham, kalau dia di sana, ia terhindar dari cekcok rumah tangga yang mungkin terjadi di sini.
Di sisi lain, kelasku akan jadi lebih ribut. Rasio murid yang tertib akan berkurang, karena ia adalah satu dari sedikit murid yang bisa bekerja tanpa harus diawasi terus. Aku suka ia di kelasku karena ia bukan anak yang akan menjahili temannya ketika tidak mengerti materi yang diberikan. Akan berkurang juga jumlah murid yang tulisan tangannya terbaca rapi dengan ejaan yang sesuai.
Kuhela nafas; tapi aku tahu bahwa mau tak mau aku harus rela.
Sampai di hari terakhir sebelum kepulanganku untuk berlebaran di Jawa. Aku mampir ke rumahnya, beli bensin dan berbincang dengan ibunya. Aku tanya tentang Ari, dan ibunya lalu bercerita.
"Mau saya, di sana saja, biar belajar mengaji"--aku angguk-angguk dalam hati--"biar temankan adiknya juga. Tapi tidak mau itu dorang Ari saya kasih pindah, menangis begitu."
Ari ternyata tidak mau pindah! Aku boleh lega!
"Tidak mau betul itu Ari. Menangis dia. Dia bilang, 'Nanti saja Mak, kalau Pak Masyhur sudah pulang Jawa. Saya suka sama Pak Masyhur, biar saya tidak tahu, saya ada belajar mengerti sedikit,'"
Di titik itu saya merasa saya bisa bilang peduli setan apa kata orang, kalau satu tahun saya bisa bikin satu anak saja tidak takut belajar, itu cukup buat bagi saya. Tidak perlu itu anak dapat "Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas, sistematis dan logis, dalam karya yang estetis".
Di titik itu, saya merasa bahwa di atas segalanya, kita para pendidik tak lebih dari pelayan siswa-siswa kita. Bukan pelayan kepala sekolah atau dinas pendidikan. Yang menentukan gagal dan berhasilnya kita adalah murid-murid kita. Bukan pengawas sekolah, sama sekali bukan. Kita baru boleh tidur nyenyak ketika nurani kita mampu menjawab bahwa kita telah melakukan yang terbaik untuk para pemimpin masa depan bangsa.
Tidak pantas kita menyandang gelar pendidik kalau kita memilih untuk tidak datang ke sekolah, atau mempersulit guru ke sekolah dengan alasan, "Dorang cuma enam orang saja itu di kelas."
Dalam doa saya, cuma ada satu hal yang pantas untuk mengganjar orang-orang yang menyengajakan aral bagi murid-murid kita seperti Ari: Bung Karno bangkit dari kubur dan menempeleng orang-orang macam itu, disusul Sayuti Melik juga bangkit dari kubur dan mencubitinya.
Biar masa depan bangsa ini tak lagi dijadikan mainan remeh para pendidik gadungan itu!
No comments:
Post a Comment