Saturday, November 23, 2013

Bahasa Baku di Jalan Berabu

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/bahasa-baku-di-jalan-berabu



"Pai, kamari!" panggilku.

"Hihi, Pak Guru so macam orang sini, bapanggilnya kamari, bukan kemari," kata Pai setelah dia mendekat untuk melihat hasil kerja dia yang aku koreksi.

Percakapan ini terjadi beberapa bulan yang lalu. Waktu itu, aku tidak sadar kalau kosakataku mulai berubah ketika berhadapan dengan orang lokal dan anak-anak di sini. Kini, hampir selesai masa tugas kami, tetap banyak kata-kata yang tidak aku mengerti. Apalagi kalau dorang sudah mulai bicara Bahasa Saluan. Saya tinggal angguk-angguk sopan.

Masa-masa akhir penugasan ini mengingatkan aku pada masa-masa sebelum aku pulang ke Indonesia. Saat itu, ketika ditanya apa rencanaku sepulang ke tanah air, aku biasa menjawab aku akan berjalan-jalan berkeliling Indonesia. Alasannya, kalau berjalan-jalan di Jepang ada kendala bahasa yang menjadi penghalang komunikasi, sementara di Indonesia aku bisa lebih mudah dimengerti. Paling tidak itu asumsiku.

Nyatanya, aku bingung juga mendapati orang-orang Makassar menambahkan partikel "mi" di kalimat-kalimat mereka. Orang Manado menambahkan "jo". Kudengar juga partikel "ji" di sana-sini. Dan aku pikir aku sudah bebas dari partikel-partikel asing yang bertebaran di Bahasa Jepang ketika pulang.

Di Kabupaten Banggai, kudapati kalimat-kalimat warga di sini banyak di akhiri dengan partikel "mo"; mulai dari "Pulang mo," "Makan mo," "Mandi mo dulu," sampai yang paling sering: "Biar mo." Atau kalau dengan Bahasa Saluan, "Pojohok mo."

Gembira rasanya ketika di akhir bulan ketiga aku mengobrol dengan Ika dan kami bisa merumuskan arti terdekat partikel mo ini: sama dengan akhiran -lah, atau saja. "Pulang saja," "Makan saja," "Mandilah dulu," dan "Biar saja."

Sayangnya rasa gembira itu tidak bertahan lama, karena lalu aku sadar ada bahasa lain yang belum aku pahami: bahasa baku.

Kalau di Jawa kita hanya menggunakan kata baku di artikel koran dan cuplikan berita (baku hantam, baku pukul), di sini kata baku adalah bahasa sehari-hari. "Iya, kitorang pe rumah baku hadap sama itu Ibu pe rumah." "Oh, Pak ada baku kenal juga sama Si Fulan?" "Sa kamarin ada baku bantu kasih berdiri rumah tetangga dulu Pak, makanya sa te pigi sekolah,"

Sempat terpikir kata baku ini padanannya kata saling. Tapi lalu di hari Sabtu aku dengar Pak Rusman guru kelas VI berseru pada anak-anak yang bekerja bakti, "Bekerja jangan baku rapat begitu!" Baku rapat jelas tidak bisa dipadankan dengan saling rapat. Terlalu rapat? Tapi baku bantu tidak bisa dipadankan dengan terlalu bantu.

Tapi mungkin tidak perlu juga mencari padanan katanya kalau memang tidak berterima. Toh sejauh ini saya bisa membuat saya dimengerti bahkan hanya dengan memendekkan kata-kata lazim: saya menjadi sa, ngana menjadi nga, punya menjadi pe, tidak menjadi te; menggunakan varian lokal yang lazim untuk kata-kata tertentu: ~nya menjadi de pe ~, kami dan kita menjadi kitorang, serta dia/mereka menjadi dorang. Saya juga mulai membiasakan diri menghindari penggunaan kata kita, karena nampaknya kata ini justru berarti kamu di sini. Aneh sekali rasanya ditanya, "Mau kamana kita?" oleh orang yang jelas-jelas tidak satu perjalanan dengan kita, eh, saya. Beapa nga batanya, nga mau ikot?

Kembali ke kata kamari, saya juga tidak mengerti apakah ada pakem perubahan vokal di kata-kata sehari-hari. Saya tidak mengerti kenapa pecah dibilang picah, besar dibilang basar, dan gelap dibilang galap, tapi kemah tidak dibilang kamah atau kimah.

Sementara itu, saya hanya bisa menerima kontekstualisasi kata-kata yang jelas tidak memiliki arti serupa di Jawa. Orang Jawa dan Sunda setau saya tidak bilang anak buah untuk menyebut anak (keturunan), yang sempat membuat saya kebingungan karena kok aneh sekali guru PJOK di sekolah saya punya pegawai dua ketika dia bercerita bahwa anak buahnya ada dua. Tidak juga ada orang bilang rabu-rabu, dabu-dabu, atau jalan yang berabu di sana. Kecuali memang kalau Gunung Merapi meletus lagi, barulah jalan berabu habis hujan abu. Selain itu, jalan hanya berdebu.

Dabu-dabu enaknya adalah teman makan pisang. Bikin rabu-rabu, jadi. Apalagi kalau digoreng pagi-pagi, nikmat habis merasakan mi paling enak: minyohat*!

----

*minyohat = mengolet, menggeliat

No comments: