//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/harapan-dan-kebanggaan
Saya senang Pak Kepala Sekolah menerima usul saya untuk mengumumkan peringkat hasil semifinal Olimpiade Sains Kuark (OSK) yang lalu di hadapan semua siswa ketika apel diadakan. Saya senang apelnya diadakan ketika bapak-bapak dari Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Banggai datang berkunjung ke SDN Trans Batui 5 untuk acara Dinas Dikpora Mengajar 2013.
Karena di situ saya bisa dengan bangga mengumumkan bahwa I Putu Yoga Tunas Sugitha, murid kelas 6 kami, berhasil meraih peringkat 1 se-Kabupaten Banggai pada semifinal OSK level 3 bulan April lalu. Saya lalu minta sertifikat hasil tersebut diserahkan ke Yoga oleh Pak Tasman dari Dinas Dikpora. Rasanya segala jerih payah saya yang lalu pupus dihapus kegembiraan dan kebanggan atas harapan yang menjadi nyata. Ketika Yoga lolos ke semifinal di urutan ke-3 se-kabupaten di babak penyisihan, saya berharap sekali ia bisa mendapat hasil yang baik. Memang ia belum berhasil menembus babak final, tapi hasil peringkat 1 se-kabupaten ini adalah hadiah hiburan yang amat berharga. Saya hanya menyesal tidak bisa memberitahu langsung hasil gembira ini kepada ibunya. Ibu Yoga adalah orang tua yang sangat suportif meski ia sedikit protektif. Ia juga sering datang ke rumah saya untuk menjemput Yoga ketika Yoga belajar malam hingga agak larut, jam delapan lewat. Saya tidak bisa memberi tahu langsung selain karena Ibu Yoga bekerja di perkebunan kelapa sawit hingga sekitar pukul dua, saya juga harus ikut kepala sekolah saya untuk ikut mengiringi rombongan Dinas Dikpora yang hendak singgah di rumah kepsek sebelum mereka kembali ke Luwuk.
Usai rangkaian acara selesai, saya dan Auliya--yang tinggal bersama kepsek saya--berkemas-kemas untuk turun gunung ke Luwuk. Auliya hanya minta kami singgah di rumah orang tua Anisa, murid SD Inp. Ondo-ondolu SPC, yang juga mendapatkan penghargaan peringkat 3 level 2 se-kabupaten Banggai untuk menyampaikan langsung berita tersebut.
Ketika kami bertemu dengan Ibu Anisa di rumah kepala desa, Auliya lalu mengangsurkan sertifikat yang telah dibingkai cantik ke dia sembari memberitahu tentang hasilnya. Sontak Ibu Anisa mengucap, "Alhamdulillah," sembari mengelap sudut-sudut matanya.
Saya bersyukur saya tidak ikut menangis juga, tapi saya ikut terharu. Saya bersyukur bisa menyaksikan ini. Saya berpikir, kalau sebagai guru saja saya bisa menandak-nandak kegirangan mendengar prestasi yang diraih murid, apalagi orang tua murid-murid kami ini. Meskipun tentu saja ekspresi mereka bukan dengan melompat kegirangan, tapi saya bisa merasakan perasaan mereka yang meluap-luap juga.
These are the moments we live for. These are the moments to savor.
These moments touched me in a nostalgic way because in a way, I can see my past self in Anisa and Yoga. I can easily imagine Anisa's mother was my own mother too, when she was told that I made it to be our Kecamatan's representative in Kabupaten-wide math contest for 5th graders. And again when I showed her my trophy after I won the runner-up prize in kabupaten.
The nostalgia came too easily.
After Anisa's mother ruffled her hair and in cracked voice told her, "Terus semangat belajar ya Nak," she told Auliya how Anisa prefers to spend her recess time in library, reading. "Kowe ra pengen dolanan to nduk, moco terus," I mentally compared her to my 10-year old self. She was, of course, more fortunate with an abundant selection in her school's library. Unlike mine.
I can vividly recall how Yoga's mom recounted to me numerous times when she was picking her son that, "Sa sering suruh Yoga ini istirahat, Pak Guru, jangan terlalu banyak bebaca juga; nanti rusak de pe mata." I was effortlessly transported to my 13-year old self, lurking under the shadows in my room to ensure that I could finish the two new Harry Potter books I just got that day without any interruption.
Spending a year here, we are often touted as proofs that our mothers still bear fighters. That the lineage didn't stop with Bung Karno and Bung Hatta, but it lives on. Yet here I see that these Yogas and Anisas of Indonesia are the real evidence of that claim, not us. Most of us PM are privileged enough to have access to quality education; not these kids. They are the fighters of our future.
It's our task to ensure that the odds are forever in their favor.
No comments:
Post a Comment