//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/haram-jadah-bahasa-jawa
Tahun lalu, ketika diumumkan bahwa saya akan bertugas setahun di daerah transmigrasi yang banyak orang Jawanya, saya bersyukur dan menyesal. Bersyukur dengan asumsi rintangan saya berkurang satu: kendala bahasa. Menyesal karena dua alasan: 1. Bahasa Jawa saya acakadut, saya tidak bisa berbahasa krama inggil, dan 2. asumsi bahwa kuosien kekerenan saya pasti tidak setinggi Luqman yang ditempatkan di daerah Bajo, atau Lilli di daerah Saluan.
Yang jelas, sejak saat itu program Kamus Bahasa Banggai yang saya unduh minggu sebelumnya jadi terlupakan. Dan ternyata memang meski daerah ini memiliki nama kabupaten Banggai, untuk mencari orang yang bercakap-cakap dengan Bahasa Banggai kita harus menyeberangi Selat Peleng dulu ke Pulau Banggai di Kabupaten Banggai Laut atau ke Pulau Peleng di Kabupaten Banggai Kepulauan.
Di daerah dengan banyak orang Jawa, saya berasumsi kalaupun bahasa Jawa saya membuat orang mengernyit, saya masih bisa mendengarkan warga bercakap-cakap. Betul ternyata, mendengarkan itu gampang. Mengerti apa yang mereka percakapkan, itu lain soal.
Bahasa Jawa yang mereka pakai kok macam haram jadah dari Bahasa Jawa yang saya tahu selama belasan tahun saya hidup di tanah Jawa? Tersembunyi, hidup di tanah pengasingan dari saudara-saudaranya.
"Mesakke, Pak Fulan ket mau ngluru bensin," ujar Ibu. Kasian, Pak Fulan dari tadi ngluru bensin. Apa itu ngluru? Ngelu? Bensinnya meluruh? Atau dibuat tidur (turu)?
"Iki lho, sayure isih mberah," kata ibu kandungnya Pak Kepsek. Ini lho, sayurnya masih mberah. Apa itu mberah? Sayur apa yang masih mau diperah? Atau itu keluhan sayurnya masih berwarna merah? Tapi kami sedang makan sayur popoki (terong) yang hijau sih sebetulnya.
Dengan makna ucapan yang jelas berbeda, kedekatan ujaran mereka dengan kata Bahasa Jawa yang saya tahu membuat saya hanya mengangguk-angguk sopan.
Dengan mereka, saya tak bisa bertanya macam dengan murid saya. Ketika kali pertama bertemu murid saya, mereka bilang, "Pak, nanti sore torang boleh bales?" saya yang kebingungan balik bertanya "Apanya yang dibales?" "Ba-les, Pak," "Apa itu?" "Belajar sore Pak," "Ooooo."
Dengan ibu kandungnya pak Kepsek, aneh dan sungkan rasanya kalau saya harus bertanya, "Mberah niku nopo to Mbah?"
Nanti dia makin terpingkal-pingkal. Macam ketika dia tahu bahwa saya berdarah Jawa. "Oaalaaah, lha gene wong Jowo." Ternyata orang Jawa, dia bilang. Dan makin bertekadlah dia untuk membuatku bisa berbahasa Jawa dengan sesuai dengan pakem Jawanya. Ketika dia bisa sukses membuat menantunya yang orang Lombok untuk berbahasa Jawa sehari-hari, jelas menurutnya kecil saja untuk mengubahku menjadi Jawa fasih.
Menurutku, bisa jadi ini adalah varian bahasa Jawa bagian utara yang benar-benar asing bagi saya. Keluarga kepala sekolah saya dan orang-orang sekitarnya berasal dari Jepara, Jawa Tengah bagian utara. Bagi saya yang berasal dari Klaten di bagian selatan yang hampir tak pernah menginjak Semarang dan sekitarnya, saya hanya tahu kalau budhe saya yang tinggal di Semarang memanggil sepupu laki-laki saya dengan panggilan "Nang". Padahal namanya Bagus.
Ketika di sini hampir semua orang memanggil anak laki-lakinya dengan sebutan serupa, saya coba simpulkan bahwa ini adalah Jawa variasi utara.
Haram jadahnya bahasa Jawa ini makin sulit ditebak larinya ketika dia kawin-mawin dengan bahasa Manado pasar. Jadilah ia bahasa Jawa yang lari dikuntit partikel "te". "Sudah kamu matikan, te?" "Iya, te?"
Aku pikir aku sudah tidak akan bertemu partikel "mo" setelah kabur dari Jepang ke Sulawesi. Tidak terbayang juga aku akan bergelut dengan partikel "te" ketika aku tidak berada di Bandung. Bahasa teh memang rumit.
No comments:
Post a Comment