Saturday, November 30, 2013

Jadi PM!

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/jadi-pm



Tahun lalu, teman-teman saya khawatir ketika tahu saya akan bergabung dengan IM. "Kamu kan takut sama anak-anak, Mas?" Iya sih, tapi yang waktu itu saya tidak sadari adalah anak-anak juga bisa takut sama saya, karena saya orang baru. Tapi nyatanya tidak sampai satu bulan saya bukan lagi Pengajar Menakutkan: yang ada saya digelayuti saja.

Ini yang bikin agak rikuh juga ketika saya diundang bertandang ke rumah PJS kepala desa. Saya diminta membantu urusan manipulasi grafis, tapi ketika di sana justru anak-anak tetap menggelayut. Walaupun sejujurnya, saya lebih pilih bermain dengan anak-anak daripada harus menjadi Pemalsu Muda, membuat tiruan kartu keluarga untuk warga yang tidak pernah menyempatkan diri mengurus KK di kota.

Wajar sih, karena jarak ke kota lumayan jauh. Untuk ke kecamatan saja perlu waktu satu jam naik motor. Masih untung kalau pas ke kecamatan, ada Pak Camat bisa ditemui di kantornya. Kalau tidak ya berarti buang uang bensin percuma. Menyebalkan memang, sementara kalau mau beli bensin di POM antriannya panjang. Dan kalau menuju POM sambil pakai rompi IM, ada banyak pengendara dengan rompi serupa di jalan, membuat kami sering disangka Pengojek Muda.

Kami memang tidak bisa berbuat apa-apa dengan rompi yang mirip tukang ojek atau pegawai survei BPS, tapi saya pribadi sempat berharap jadi PM berarti bisa menjadi Penjelajah Muda. Lumayan kan, kalau ternyata bisa singgah ke Togean.

Sayangnya, harapan itu tidak jadi kenyataan. Paling jauh kami baru sampai kecamatan Pagimana, Luwuk Timur, dan Toili. Nuhon batal disambangi, Bunta hanya dengar nama, daerah kepala burung, apalagi. Biar begitu, menjadi PM berarti tetap harus siap singgah dan menginap di banyak tempat. Sementara, volume tas terbatas berarti tak banyak baju ganti yang bisa dibawa. Ini sebabnya kenapa kami ke mana-mana siap sedia sabun cuci, agar bisa menjaga standar higienis baju yang dipakai. Putra-putri terbaik bangsa, menjadi Pencuci Muda.

Menjadi Pencuci Muda jelas bukan pekerjaan hina. Karena kalau bisa mencuci, itu berarti sedang ada air di Batui Lima. Dengan air berlimpah, hidup tak tersiksa. Tanpa air, untuk sekadar buang air saja seorang Pengajar Mules dari kota tak berdaya. Melas.

Selain mensyukuri air, saya bersyukur tidak mengalami apa yang harus dialami Ika: menjadi Pengusir Memedi yang merasuki muridnya. Tapi sebetulnya cocok sih bagi Ika, dari sejak microteaching di pelatihan saja dia suka makan-makan bunga.

Di sini, saya cuma kadang pening terlalu lama melihat layar komputer. Pening ini datangnya periodis: sekitar waktu ujian semester, akreditasi sekolah, dan supervisi. Karena itu adalah waktunya menjadi Pengetik Muda, berjibaku dengan layar dan pencetak, mengubah tulisan tangan guru-guru menjadi ketikan soal yang bisa dibagikan ke murid satu-satu.

Padahal, sementara mengetik, saya juga harus berjaga-jaga menghalau anak-anak yang siap merubung setiap saya membuka laptop. Demi kerahasiaan ujian, jelas mereka tidak bisa dibiarkan mendekat ketika saya mengetik. Pilihannya lalu ada dua: menunggu guru-guru lain menjadi Pengajar Murka yang menghardik mereka, atau mengalihkan perhatian mereka.

Sejauh ini, paling mudah mengalihkan perhatian dengan teknologi serupa: kamera saku. Dengan anak-anak yang tidak malu-malu, mereka bisa dibujuk tenang dengan iming-iming bisa meminjam kameraku. Tidak banyaknya orang yang punya kamera di desa membuat saya rentan mencolok sebagai Potografer Muda.

Meski begitu, jadi PM itu lebih dari sekadar menjadi Pengajar Muda. Pengajar Menakutkan. Pemalsu Muda. Pengojek Muda. Pencuci Muda. Pengajar Mules. Pengajar Melas. Pengetik Muda. Pengusir Memedi. Pengajar Murka. Rentetan titel itu mungkin akan saya dapat kalaupun saya tidak jadi Pengajar Muda. Disangka ojek. Jadi tukang ketik. Merana mules. Tapi ketika cerita ini terjadi selama perjalanan satu tahun terakhir, cerita ini menjadi Pengalaman, dengan P besar.

Karena jadi PM itu Pergi Mengalami.

No comments: