//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/satu-mil-ekstra
Kalau camp pelatihan pengajar muda ada di dunianya The Handmaid's Tale yang dikarang oleh Margaret Atwood, mungkin kami--yang dinilai kompeten untuk melakukan lebih dari yang disyaratkan--akan menerjemahkan frasa "go the extra mile" secara harfiah dan menambah porsi lari pagi wajib menjadi 18 menit setiap hari.
Tapi tentu saja kalau melihat teman-teman yang bergerak digelayuti kantuk tiap pagi buta, gamblang dan nyata kami tidak hidup di keseragaman distopia. Untungnya.
Dengan lima puluh dua kepribadian berbeda, tentu akhirnya kompetensi itu muncul dalam puluhan bentuk yang berbeda. Paling jelas mungkin ketika malam seni: saya bersyukur tampil pertama, jadi tidak terlalu kelihatan bahwa kelompok PM Banggai bakat eksibisi artistiknya minim, tidak terlalu kelihatan juga kalau kami (saya) pilih menyimpan energi untuk satu mil ekstra ini.
Saya jelas lebih pilih memunculkannya di tempat-tempat yang saya suka, seperti meresensi buku Keberanian Mengajar. Bukan karena ini buku yang menggetarkan cakrawala, bukan juga agar saya bisa mengintimidasi Ika, pasangan saya untuk tugas resensi ini (walaupun harus diakui ini adalah efek samping yang menyenangkan), dan bukan juga agar post-it notes yang saya beli terpakai (maklum, jauh euy belinya, di Bandung). Lebih karena saya merasa terganggu dengan versi terjemahannya yang buruk, dan membedah kelemahan-kelemahan logis buku itu lewat catatan lebih menyenangkan.
Sama menyenangkannya dengan mencari tahu asal usul mengapa alfabet kita saat ini berbentuk seperti yang kita tahu. Mengapa huruf E besar disusun oleh satu garis vertikal dan tiga garis horizontal? Mengapa huruf-huruf yang lain bentuknya seperti itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika Bu Wei dan banyak narasumber lainnya, termasuk alumni-alumni PM menceritakan bahwa kami mungkin akan menghadapi tantangan mengajarkan calistung bahkan kalaupun kami mengajar kelas tinggi.
Mungkin lingkung proyeksi diri saya terlalu kuat, saya bayangkan saya saat ini diajari alfabet baru, saya pasti akan bertanya, mengapa bentuknya seperti itu? Jadilah saya membayangkan calon-calon murid saya akan bertanya seperti itu, dan kalang kabutlah saya mencari jawabannya di akhir minggu ketika akses internet dibuka.
Nyatanya, di sini saya memang bertemu dengan tantangan seperti itu, tapi minus pertanyaan asal mula bentuk alfabet. Biar begitu, saya tidak merasa rugi meluangkan waktu mencari tahu, karena saya jadi belajar bagaimana hieroglyph dari Mesir dibawa oleh orang Sumer dan Phoenicia hingga menjadi alfabet seperti yang kita kenal saat ini.
Saya tersadar lagi tentang memberi lebih ketika dini hari saya baru beranjak tidur di Sinorang, usai merancang pelatihan guru di kecamatan Moilong untuk lusanya. Harus diakui, menyenangkan sekali dipaksa memutar otak (dan tidak ketemu jawabannya) bagaimana menumbuhkan motivasi belajar untuk pengajar. Berawal dari keinginan berbagi materi kecerdasan majemuk, yang lalu bisa dikaitkan dengan juga dengan cara guru mengajar kreatif. Saya yang tidak cerdas musik sama sekali merasa lebih nyaman memperkaya pengajaran dengan permainan kata-kata; bertolak belakang dengan Mbak Yanti yang disleksianya jadi bulan-bulanan canda kami, tapi gemar mengajarkan dan membuat lagu-lagu pelajaran. Kami pikir, ketika guru tidak suka dengan materi yang diajarkan, akan besar kecenderungannya untuk sekedar melepas siswa mereka di ranah imla, salin buku sampai habis dengan keterlibatan minimum. Anak bosan, guru merasa kewajibannya tergugurkan, tidak ada yang paham.
Maka pertanyaan hipotetis yang muncul malam itu sederhana, bagaimana kalau salah satu hadirin guru cerdas itu bertanya, "Saya guru honorer, saya tidak mampu mengajar [sebut mata pelajaran], berarti menurut teori itu saya boleh cuci tangan dari mata pelajaran itu? Saya toh bakatnya bukan di situ."
Hingga malam usai, kami tak menemukan formula jawaban yang pas. Usulan-usulan jawaban saya dimentahkan Yanti dengan "Terlalu normatif." Usulan dia saya mentahkan dengan, "Apa bedanya sama usulanku tadi? Ya memang itu occupational hazard jadi guru." Ika cuma mencoba menengahi, "Ya itu cara lain bilangnya sih Mas," katanya sambil garuk-garuk kepala (yang sepertinya gatal betulan).
Di hari-H, pertanyaan hipotetis itu tidak terlontar, dan guru-guru nampak tetap antusias mengikuti sesi-sesi berikutnya.
Bisa jadi malam itu kami adu pikir sia-sia, tapi ketika saya menceritakan pada Pak Nurhuda, iapun sepakat bahwa yang terpenting adalah menumbuhkan motivasi, tentu dengan disisipi dogma bahwa akhiratlah preferensi utama. Bukan sia-sia, pikir saya, hanya satu mil ekstra.
Satu mil ekstra, tajuk wicara di H-14 akhir dari 14 bulan penugasan.
No comments:
Post a Comment