Thursday, December 5, 2013

Gelap Terang Lentera

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/gelap-terang-lentera



Ika menatapku aneh ketika aku bertanya-tanya padanya detail pertanyaan yang diajukan seorang ibu kepala sekolah di Luwuk. "Ngapain kamu tanya-tanya, Syhur?"

"Mau aku jadikan Tajuk Rencana buletin kita," jawabku enteng.

"Seriusan kamu?"

---

Saat itu, kami sedang diburu waktu untuk menyelesaikan buletin, karena sementara kami bekerja, perkemahan di Lembah Sehu Salodik sudah berjalan dua hari. Kami berencana untuk pasang badan mengiklankan diri di persami tersebut karena di acara seperti inilah berkumpul banyak siswa dan guru dari seluruh kecamatan di Kabupaten Banggai. Kalau tahun lalu, kami hanya mengenalkan Indonesia Mengajar secara lisan, tahun ini kami ingin memperdalam perkenalan tersebut: dengan kegiatan bermanfaat dan material-material fisik. Satu kardus print-out website Anak Bertanya Pakar Menjawab dan Ruang Belajar kami siapkan. Termasuk di antaranya adalah membagikan buletin buatan kami sendiri.

Sayangnya, kiriman paket dari FGIM belum sampai di Banggai waktu itu. Jadilah sebelum berangkat ke bumi perkemahan, Auliya dan Ika sibuk membuat Badan si Badun, telepon tali gelas bekas, dan memotong-motong kartu angka untuk permainan perkalian.

---

Awalnya kami hampir tidak membuat edisi kedua Lentera untuk Persami Salodik, apalagi ketika kami membuat edisi pertama Juli yang lalu, guru PAI di sekolah saya berkomentar, "Ini terlalu banyak tulisannya Pak. Orang sini tidak suka baca yang begini. Tidak berwarna lagi."

Saya tersenyum kecut.

Hanya saja, satu bulan sebelum Persami, Mbak Yanti sukses membuat semangat kami terlecut ketika ia bercerita bahwa seorang pengawas di kecamatannya memuji metafora yang ada blurb buku Catatan Kecil Pengajar Muda yang saya taruh di halaman terakhir buletin saya yang lalu. Ia setuju bahwa pengajar adalah petani peradaban.

Wah mereka baca buletin kami! Ayo kita bikin lagi!

---

Mulailah hari-hari penuh teror itu berjalan: menagih tulisan dari Luqman, Yanti dan Lilli. Membabat tulisan mereka dari kisaran ribuan kata agar muat di halaman-halaman A5. Mengabaikan ratapan pedih* mereka, "Aku ga bisa baca hasil editanmu, Syhur. Yang aku masukin tentang Arya ini penting semua sebenernya," keluh Luqman.

"Trade-off, Man. Mana bisa sepanjang itu jadi dua halaman A5 sama foto. Kamu ngga ngasih foto lagi di tulisanmu."

Di akhir-akhir penyusunan, saya mempertimbangkan mengawali tajuk rencana dengan ucapan perpisahan. Tugas kami toh sudah memasuki masa bonus. Tapi keterikatan tema turun tangan oleh orang-orang di luar pendidikan terasa sayang untuk diabaikan. Ketika orang-orang yang bukan guru saja rela meluangkan waktu untuk mengajar di kegiatan Dikpora Mengajar, Hari Inspirasi dan meluangkan waktu untuk mendukung pengajaran seperti di FGIM, kami berdecak heran (dan sedikit geram dengan nadanya yang meremehkan) pada si ibu kepala sekolah merangkap wakil ketua PGRI yang mempertanyakan, mengapa IM menjaring lulusan non-pendidikan?

"Mbak dan mas ini background pendidikannya apa?"

"Ini salahnya pemerintah, PGSD saja belum tentu bisa ngajar, apalagi yang bukan dari pendidikan?"

"Oh, bukan pemerintah? Ini salahnya program anda, kenapa yang diangkat bukan pendidikan, yang dari pendidikan saja banyak?"

"Kami apresiasi ya mbak dan mas ini mau datang dari Jawa, tapi kenapa tidak diangkat yang dari Luwuk saja?"

---

Selesai menulis, aku perlihatkan tajuk rencana itu pada Ika untuk di-proofread dan diedit. Sontak terbahak-bahak dia membaca kalimat "Toh para siswa tak hendak bertanya asal diploma terakhir gurunya. Pun mereka takkan bertaklid buta meski melihat pemegang diploma dari Jepang dan Cina." Dia mendaulatku sebagai perwakilan PM untuk menyerahkan buletin kami ke si ibu jika nanti bertemu.

---

Ketika Persami akhirnya usai, kami tak juga bertemu dengan si ibu. Tapi kami pun hampir tidak ingat sama sekali tentangnya. Karena ternyata jauh lebih mudah mencari sumber energi positif di acara itu: riuh-rendah lomba yel-yel, belajar badero di tenda Kwarran Luwuk Timur, mengagumi rumah adat Kwarran Batui dan Batui Selatan, karnaval spektakuler semua Kwarran, dan menularkan semangat berkarya Arya pada peserta Persami lainnya. Senang rasanya ketika kami dibuat tercengang oleh siswi SMP dari kecamatan Balantak yang tahu penggunaan kata 'merongrong' yang baik, atau siswa SMAN 1 Luwuk yang bisa menjabarkan sekolah impiannya dalam gambar berkelas arsitek profesional. Menyenangkan mengagumi cita-cita siswa dari Nambo yang ingin menjadi pelukis batik.

Karena meski di akhir perkemahan badan sudah lemah, kata-kata ini terujar mudah: Indonesia punya masa depan cerah!

---

* Iya ini sengaja lebay.

No comments: