Tuesday, December 30, 2014

Risalah Kelas Alumni PM: Tips Wawancara

Harap maklum kalau niat posting rangkuman risalah kelas alumni PM jadi tertunda, karena ternyata mengorek-orek kotak surat yang bertumpuk itu suka perlu niat kuat. Tapi setelah yang lalu risalah kelas CV dan menulis perjalanan, berikut risalah kelas latihan wawancara yang diadakan setelahnya:


From: Masyhur Hilmy
Subject: [alumnipm] Kelas AlumniPM Interview (Review)
Sent: Wed, Feb 19, 2014 11:15:58 AM 

Ketika saya datang untuk kelas alumni PM minggu lalu, seperti biasa sudah ada Mesa yang hadir, bahkan ketika saya sudah berangkat lebih awal. Tapi tak apalah, toh saya tetap bisa ikut berbesar hati ketika Pak Taufiq mengapresiasi kami yang datang sebelum sesinya dibuka--sembari memperingatkan kami untuk jangan pernah datang terlambat untuk interview, apapun alasannya (kecuali kalau kiamat datang, mungkin interview kerja kita akan diganti peradilan yang lebih mendesak).

Dari kelas alumni ini ada beberapa takeaway points. Dan takeaway point pertama saya adalah;

1. Datang tepat waktu.

Nasihat untuk datang tepat waktu tentu adalah nasihat klise--bahkan mungkin kita sendiri sering memberikannya ke siswa dan guru lain ketika di penempatan, tapi ketika nasihat yang sama diberikan ke kita, apakah kita sudah menerapkannya atau sekadar meloloskannya dari telinga kiri ke telinga kanan? 

Pada intinya, banyak hal dari sesi ini yang sebetulnya adalah penyegaran dari banyak hal yang sudah diberi tahu dan ditulis oleh banyak orang, tapi belum tentu diterapkan. Yah kalau kitab suci saja isinya perlu diingatkan setidaknya seminggu sekali, mungkin hal-hal yang lebih remeh-temeh macam tips dan etiket interview ini harus diulang-ulang lebih sering lagi supaya bisa dihayati.

Untungnya, tips dan etiket ini tidak sepanjang kitab suci jadi reviewnya pun tidak panjang-panjang. Apalagi karena latihan interviewnya baru berlangsung setelah jam 2. 

Di awal sesi, kelas dibuka dengan review CV peserta yang tidak hadir minggu lalu (Beryl dan Kristia yang CVnya bagus dan ringkas, hanya 1 halaman), serta CV peserta yang sudah dipermak setelah diberi masukan (Mesa). Dari sesi CV lanjutan ini yang bisa diambil adalah, 

2. Perkuat CV.

Yang ditekankan lagi oleh Pak Taufiq adalah pentingnya summary di CV. Dan karena CV akan mengarahkan material wawancara, maka penting sekali untuk tidak memasukkan yang aneh-aneh di CV, seperti interest yang tidak relevan. Boleh sih memasukkan "Interest", tapi usahakanlah interest yang memberikan tambahan jualan diri. Misalnya, interest lari maraton bisa menunjukkan pribadi yang gigih, tapi interest karaoke lagu-lagu hits JKT48 mungkin malah memberi kesan negatif bagi pewawancara yang antipati pada JKT48 (mungkin dia fans puritan AKB48).

Penguatan CV ini juga penting, apalagi kalau kebetulan alumni PM berombongan mendaftar untuk posisi yang sama--seperti pengalaman yang diceritakan Beryl, maka kita harus bisa mengolah CV kita untuk tetap menarik perhatian HR dibandingkan teman-teman PM lainnya.

3. Gunakan summary untuk memperkenalkan diri.

Di awal wawancara, si pewawancara bisa meminta kita untuk menceritakan tentang diri kita. Tapi apa yang harus kita ceritakan? Sebagian besar orang akan menggunakan frasa-frasa klise ("I'm a people person ..." dll) tapi sebetulnya kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk meng-highlight kekuatan diri kita yang paling menjual. Paling enak sih kalau kita sudah tahu apa yang mau kita jawab, dan itu berarti datang ke wawancara sudah berpikir dan mempersiapkan diri buat pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.

4. Jawab pertanyaan dengan STAR.

Di sini saya merasa kena karma, karena setelah 7 tahun belajar astronomi masih saja berurusan dengan bintang. Yah paling tidak saya tidak harus menjelaskan tentang limit massa Chandrasekhar, walaupun mengingat-ingat situasi yang sudah lewat dan menceritakannya lagi dalam format STAR sebetulnya tidak mudah juga. 

Tapi, ini penting untuk dilakukan, karena jawaban yang berputar-putar tanpa STAR hanya akan mengundang pertanyaan lanjutan untuk menggali STAR yang sebenarnya. Begitu pula dengan cerita STAR yang tidak lengkap. Selain itu, ada juga 3 kelompok jawaban yang kurang memberi gambaran nyata tentang kompetensi kita,
a. Jawaban dengan vague statements, seperti menggunakan kata "always", "usually", "I believe", atau menggunakan kata ganti majemuk "kami" alih-alih "saya". 
b. Jawaban yang sebenarnya opini, seperti "In my opinion ..." atau "I think ..."
c. Jawaban dengan situasi yang belum terjadi "Saya akan ...", "Saya ingin ...", "Saya hendak ..."

5. Gunakan selalu kata-kata positif.

Apalagi kalau ditanya "What's the worst failure of your life?"/"Pernahkah membuat keputusan yang ternyata salah?"

6. Tarik benang merah.

Apalagi buat yang pengalamannya ga nyambung, habis dari perikanan, trus IM. Kalau begini jangan melulu IMnya yang dijual, tapi tarik kompetensi apa sih yang dikembangkan di IM yang juga berguna di posisi yang kita lamar? Pak Taufiq menyarankan agar kita menyiapkan success stories (dalam STAR!) yang terkait dengan 
- kemampuan leadership
- analytical skill
- teamwork
- communication.
(Saatnya membuka file Self Assessment yang dikumpulkan pas OPP kali ya.)

Pak Taufiq bilang kalau prinsip yang dipegang pewawancara adalah "Past behavior predicts future behavior". Ini sebabnya success stories untuk menonjolkan kompetensi dan kata-kata positif itu penting. Dengan struktur STAR pewawancara akan lebih mudah menangkap cerita kita.

7. Perhatikan gestur tubuh.

Contoh yang baik adalah Ria yang banyak senyum sehingga kelihatan jadi tipe-tipe pekerja yang cocok untuk NGO. Walaupun kebanyakan senyum juga pasti akan mengundang pertanyaan, "Kok senyum terus sih?" 

Posisi tangan yang baik itu jangan disembunyikan di bawah meja, maupun disilangkan di depan dada. Kesannya menutup diri dan ga percaya jadinya. 

Usahakanlah kontak mata yang pantas, jangan sampai tidak menatap matanya sama sekali. Tapi kalau sembari bicara kita menatap tengah dahi pewawancara, itu seperti arah tatapan mata atasan ke bawahan. Area wajah pewawancara yang berterima untuk ditatap ya daerah mata ke bawah hingga ke leher saja. Kalau sampai ujung kaki ditatap juga tentu jadinya juga aneh.

Di sini Pak Taufiq memberi contoh kalau pewawancara handal bisa tahu kalau yang diwawancarai membual dalam menjawab, hanya dari mata. Begitu yang diwawancara pandangan matanya ke kanan atas, itu berarti ia mengakses bagian otak yang berfungsi kreatif untuk menambah-nambahi informasi. (Ia menampilkan cuplikan film yang judulnya The Negotiator yang memberi contoh bagaimana tatapan mata ini bisa dibaca). Yang saya tidak yakin adalah interpretasi menatap ke bawah yang menurut film itu berarti si pembicara sedang menggali memori, tapi menurut Gordon & Fleisher (hal 115-116 Effective Interviewing and Interrogation Techniques, 2nd ed. 2006) itu berarti "the person cannot recall information". Intinya ga usah bohong aja kali ya, jawab sejujurnya dengan tenang sampai wawancaranya berakhir.

Kalau sudah berakhir, hor--eh? Saya bisa bertanya balik?

8. Jangan lupa bertanya.

Kalau otak sudah terasa diperas kering, tapi ingin menunjukkan minat, yang paling gampang sih dengan pertanyaan-pertanyaan kalengan (ini adalah terjemahan yang terlalu harafiah dari frasa canned questions). Contoh dari Pak Taufiq yang bisa digunakan,
- What are the company's expectation for this post?
pertanyaan ini tidak bisa dipakai kalau ketika wawancara sudah dijelaskan. Nanti ketahuan kalau pas dijelaskan malah ga merhatiin.
- Considering current economic climate, what's the corporation's strategy?
Sepertinya kalau bertanya ini harus siap-siap dengan jawaban yang teknis juga.
- Bagaimanakah continuous improvement menjadi budaya di perusahaan ini?

Dan kalau sudah benar-benar selesai sih ya tinggal berharap saja lah ya hasilnya baik. Kalau mau sedekah ke anak-anak yatim supaya dapat karma baik dari perilaku altruistis ya silakan saja. Tapi kalau sudah sedekah dan ga tembus wawancaranya ya jangan lalu salahkan anak yatimnya ya. Kasihan, hidup mereka udah berat. 

----

Dan kelas Alumni PM pun ditutup. Delapan ayat saja, dengan sekelumit penjelasan yang mudah-mudahan berguna. Terima kasih buat yang datang dan sharing pengalaman dan contoh CV bagus, terutama Beryl dan Kristia. Terima kasih buat yang mau ngasih contekan takeaway points (Vany). Terima kasih juga buat Bu Evi dan Pak Taufiq yang memfasilitasi kelas ini.

Ayo, kelas Alumni PM dari Surabaya dan Yogya, ditunggu sharingnya ya ;)

Salam,
Masyhur 

Wednesday, December 17, 2014

Are you sure you want to have a child now?

Declare yourself a pessimist and watch people instantly dismiss your suggestion that they should defer having children. And that is as best as you'll get for a response, because the other options are getting scoffed at, or finding yourself taking a defensive stance as they go--incredibly--on the offensive.

"Why, it's not like you even plan to get married in this decade, so why should I listen to you? And really, when will you get married? Are you sure you don't want me to introduce me to a lovely young lady that I'm sure will take a good care to your smug pretentiousness so we will all finally be able to get going with our lives in peace. You know, she's also a lecturer in a reputable university, and she comes from a good family, too. She's religious, and crosses all her t's and dots all her i's and never confuses colonoscopy with cosmology. And did you know her brother is going to be the youngest university chancellor soon?"

You know the drill.

And you'll regret of bringing the topic up in the first place.

But really, if you are a pessimist, you could rightfully espouse the view that people should defer having children. The world is a terrible place, with men killing innocent men or men subjecting other men to heinous torture, or killing children, or subjecting minorities to subjugation or destroying the environment and tradition and history and culture and just generally fuck the world up.

It is a terrible place and you can't wait to bring an extra person to share the hopelessness of it all? Are you out of your mind? Will somEBODY THINK OF THE CHILDREN?

Ahem.

The point was, there's just so much hurt and hate that you'd have to be a blind optimist to think that you are giving the best world to your children and your children's children.

So allow me to help.

I would like to argue that even for an optimist, it makes perfect sense to delay having children as much as possible. Trust me, I'm an optimist, too (and could you please stop with the laughing? I can really be an optimist, too, you know. I am, honestly!).

If you're not an optimist, let me tell you how easy it is to become one. We're living in the golden age of science, when new discoveries are made every other day, and we're venturing uncharted territories of space. Comet landing! New Horizon soon to explore Pluto! Voyager goes out of our solar system to the unknown interstellar realm beyond! All this alone would boggle the mind of even Newton had somebody traveled backward in time to tell him the things we achieved in the twenty first century.

And that's not everything, too. More people are literate, ever. More people are getting out of poverty, more people live longer, too. An average young man in 14th century England wouldn't dream of being able to ride a jet, flying him to the Caribbean to escape the dreary, dreary winter, but this is not unthinkable to do so now.

When you stopped to take a look at the palace of the Japanese emperor, you'll soon find that you are richer than even the most powerful king of the land in the medieval era. Did the emperor have central heating? Did his highness have plumbing and air conditioning? Did the grandchild of the Sun god sleep on a spring bed? No, no, and no.

The inexorable march of time has delivered countless improvements to human lives. And for the most part, even the unwashed mass are benefiting from this.

But see now, if you insist on having children, right. Fucking. Now. don't you think your children will miss out on progress that they, too, would have been able to experience if they were born five or fifteen years later? This could also potentially be important if on the later stage of their live there's a miracle drug that proves to be a panacea to nearly all of the chronic illnesses that is the hallmark of our time. Will it not be the best life possible for them, then?

Unless if all you care about is *your* own gain, and not your children's potential gains in the future, then by all means, be my guest.

So listen to me, and promise me you'll try to think it through? It's for your children, too, you know.

For their future.

Tuesday, December 9, 2014

Ini adalah waktu-waktu sendu

Ini adalah hari-hari suram, ketika malam-malam panjang membawa pertanyaan-pertanyaan yang merangsek pikiran tenang. Pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan, dan jalan-jalan yang bersimpangan bercabang-cabang.

Tiap-tiap cabang jalan memanggil lantang, menawarkan petualangan-petualangan menantang. Tapi tiap cabang jalan juga berkesan seram, macam malam tanpa dian. Langkahku menjadi pelan. Lalu tertahan.

***

Ini adalah masa-masa kelabu, ketika tanya-tanya ragu tentang suku datang beregu. Belum lagi ragu itu berlalu, tanya-tanya baru berkedok paras lugu menuntut tahu pada apa hidupku berhulu.

Siapa aku? Adakah Indonesia di dadaku? Siapa aku? Tuhan manakah tempatku berserah kalbu?

Tahun sudah hendak menjelang baru, pikirmu tetap terperangkap wasangka kaku.

Baik jika begitu, maka ini waktu meramu perjalanan arungi laut biru, dan daki punggung-punggung gunung hingga nafas menderu-deru. Tempat angin berhembus syahdu.

***

Tapi siapa hendak menjadi kawan untuk berkelana? Kawan-kawan lama terikat kerja, terkadang kesulitan waktu pula untuk hanya sekadar berjumpa. Cakap dan wicara kami semua sering tak lagi ada di lembar yang sama, dengan bahasa yang kadang tercemar bisa berbahaya.

Ini adalah saat-saat nestapa, ketika asa menjadi langka. Gamang dengan kemampuan bicara yang semenjana. Bimbang menentukan kecakapan mana hendak ditempa.

***

Ini adalah waktu-waktu sendu.