Monday, February 16, 2015

Kelimun Berduyun

Akhir pekan ini, saya membaca artikel majalah The Economist yang menarik. Di situ, disebutkan bahwa skema seperti Teach for America mulai menyebar ke belahan-belahan dunia yang lain. Dari Chili ke Haiti; dari India hingga ke Lithuania ("I Choose to Teach") dan Latvia ("Mission Possible").

Banyaknya gerakan-gerakan serupa ini mungkin bukan berita baru untuk teman-teman yang ada di balik layar Indonesia Mengajar (yang saya dengar mendapat lawatan Teach for Malaysia)--tapi bagi saya, ini jadi membuat saya girang membayangkan banyaknya orang-orang muda (seperti alumni pengajar muda!) yang mencoba meninggalkan jejak-jejak kebaikan. Tidak mungkin rasanya mereka terpanggil dengan slogan-slogan yang sama: untuk "Melunasi Janji Kemerdekaan", atau untuk menawarkan jawaban bagi pesan "Ibu Pertiwi Memanggil", tapi toh berduyun-duyun juga mereka mendaftar. Artikel itu menyebutkan bahwa rata-rata pelamar yang diterima hanya sepersepuluh yang mendaftar. Saya harus akui di sini saya berhitung sederhana, lalu merasa jemawa. Sepersepuluh? Masing-masing pengajar muda angkatan kelima saja menyisihkan lebih dari seratus pendaftar! Di tiga bulan pertama, seperlima pengajar angkatan pertama program di Chili menyerah? Lemah! (Iya, saya ini songong sekali.)

Selain itu, menyenangkan sekali menerka-nerka tantangan seperti apa ya yang para pengajar gerakan serupa itu alami di negara mereka masing-masing. Haruskah mereka mengarungi laut untuk menuju sekolah dari kota? Adakah tempat mereka mengajar yang beku terisolir salju ketika musim dingin--alih-alih lumpur laknat ketika musim hujan? Atau mereka justru mengajar di sekolah-sekolah terpinggirkan di pusat-pusat keramaian kota? Apakah mereka juga menghadapi komentar-komentar cemar yang menyangsikan kemampuan mereka mengajar?

Ah tapi kan pengajar muda dipuji tidak terbang, dikritik tidak tumbang. Walaupun bisa jadi kadang-kadang doyong-doyong juga perlu pegangan. Untuk masa-masa rentan dirundung pertanyaan "Apakah mengajar satu tahun bisa membawa perubahan?", saya beberapa waktu yang lalu menemukan satu studi yang bisa jadi penguatan.

Studi ini hasil buah pikir seorang profesor Harvard, Raj Chetty. Beliau adalah seorang akademisi cemerlang, dapat Clark Medal, dan dapat tenure (jabatan tetap guru besar) di UC Berkeley di usia 27. Saya tahu sih ketika selesai penugasan, alumni pengajar muda dihimbau untuk tidak membanding-bandingkan diri, tapi ya tetap saja saya merasa bagai butiran debu ketika tahu hal itu. Dua puluh tujuh tahun, beliau dapat tenure, sementara saya... ya sudahlah. Salah sendiri juga hari Minggu kok ambisius nonton video konferensi AEA. Fix, saya ini kurang piknik.

Mari kita kembali ke studi yang saya bilang tadi saja: di studi itu, Raj Chetty menyajikan data dampak guru ke murid-muridnya hingga mereka dewasa. Kita mafhum, guru bagus bisa meningkatkan pemahaman materi muridnya. Mampu matematika, cakap berbahasa. (Chetty menunjukkan nilai anak-anak yang mendapat guru bagus ini naik.) Tapi selepas diajar guru bagus, apakah kemajuan itu lalu perlahan-lahan tergerus?

Ternyata, data menunjukkan bahwa murid-murid yang mendapat guru bagus tidak hanya punya skor ujian yang lebih baik. Tapi, mereka juga lebih cenderung melanjutkan kuliah, memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi, dan memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk hamil di usia remaja. Perbandingan dengan data pajak pendapatan di Amerika ini juga menunjukkan bahwa dampak diajar guru bagus selama setahun ini bisa meningkatkan pendapatan si murid sebesar ~1 milyar rupiah selama masa hidupnya. Lumayan lah, kalaupun jadi guru ga bisa bikin kaya, paling ngga bisa memberi kesempatan muridnya hidup sejahtera. Walaupun saya akui terasa miris juga mendengar cerita Patrya, yang bertandang kembali ke penempatan lalu dipameri mantan murid yang sudah bawa momongan. Saya bergidik membayangkan percakapannya lalu dilanjutkan dengan pertanyaan, "Kamu kapan?"

Karena bagi saya, lebih seru kalau pertanyaan lanjutannya tentang dampak guru-guru tidak bermutu. Dan di sini saya merasa ngenes membayangkan murid-murid yang tidak beruntung mendapatkan guru-guru seperti itu: kemampuan kognitif tidak berkembang, tak bisa berharap banyak pada masa depan. Di paparannya, Chetty mengulangi saran memberhentikan guru-guru berkemampuan lemah dengan (setidaknya) guru berkemampuan setara rata-rata. Saya bayangkan saran ini tidak bisa serta-merta diterapkan. Pasti ada banyak perdebatan, mulai dari bias kriteria pengukuran mutu hingga penggajian yang layak dan banyak hal lagi.

Tentang bias pengukuran mutu, harus diakui penyelidikan mana sebab dan mana akibat memang perlu. Terbersit juga di pikiran saya, agak tautologis juga kalau bagus-tidaknya guru dinilai dari kemampuan mereka meningkatkan nilai ujian muridnya. Jangan-jangan guru jadi bagus itu karena murid-muridnya bagus, mereka yang dari kalangan berada dan orang tuanya rela memberi bimbingan ekstra. Namun, Chetty menunjukkan bahwa kriteria ini tetap bisa dipertimbangkan, karena perhitungan mereka menunjukkan kalau variabel tingkat pendapatan orang tua itu ortogonal dengan kriteria mutu berdasarkan hasil ujian (silakan tilik halaman 22-25).

Tentu mungkin ada variabel lain yang terlewatkan untuk diperiksa ortogonalitasnya. Dan hal ini mungkin menjadi bagian dari argumen sanggahan saran yang diajukan. Asal berbasis data atau analisis yang kuat, saya sendiri melihat saran apapun dan berbagai sanggahannya adalah bagian penting dari proses pembuatan kebijakan yang ideal. Terkadang kita perlu menggunakan narasi cerita agar data bisa bermakna, tapi begitupun tak apa asal kita sadar dengan batas-batas bias yang tersaji dari penggunaan cerita alih-alih data.

Jadi, apa simpulan dari lanturan ini? Saya sih hanya ingin mengagih tulisan-tulisan menarik, yang di antaranya bisa digali dari tautan-tautan di sepanjang lanturan ini. Selebihnya, silakan ditarik sendiri. Dan kalau ada yang menyimpulkan bahwa ini menunjukkan saya ada di titik gawat darurat keseriusan, boleh lho saya diajak bergembira macam lazimnya anak muda--walaupun sudah ada satu-dua yang bilang gaya bahasa tulisan saya macam angkatan Balai Pustaka.

Tapi saya pikir-pikir lagi, biar saja ding, kan angkatan Balai Pustaka akan terus terpatri di lubuk pikir para cendekia. Siapa tahu saya suatu hari bisa menyamai mereka!

Monday, February 9, 2015

Perlu

Akhir 2012, banyak teman menjawil saya di dunia maya.

"Tonton Life of Pi, Syhur," kata mereka.

"Lo katanya ngajar malah main film," sergah teman lain lagi.

Ketika saya sempatkan melihat film itu, saya sudah bosan menyanggah kemiripan saya dengan pemeran utamanya. Harus diakui memang, paling tidak dekilnya sama antara Pi di Pasifik dan saya di Banggai.

Tapi menurut mereka kemiripan ini tak cuma tentang perawakan Pi saja. Teman-teman saya terbahak melihat saya menyanggah anggapan mereka bahwa upaya Pi menghafal nilai konstanta pi itu tipikal kelakuan saya. Ketika keluarga Pi berkomentar bahwa tiap minggu ia punya agama baru, saya diam saja deh biar digoda-goda juga.

Friday, February 6, 2015

Entrok is not a happy story

Just before picking up Okky Madasari's Entrok, I was feeling a little bit weary. I have finished nine books in 2015, and I had been finding it hard to connect to the characters.

I finished The Name Of This Book Is Secret, and I found the characters too simple. Catch-22 disarmed me to involuntary chuckles, but overall it was too thick with non-sequiturs. I'm not even sure the story is being told chronologically. Meanwhile, Eugenides' stealthy sleuthing in the Attolia series was too crafty for me to associate myself with.

So I was only half-heartedly picking up Entrok. I braced myself by thinking, "At least I'll have one fewer book in my to-read pile after this."

*****

Entrok started with a daughter telling her mother of a much-awaited happy news. Despite the happy news, though, you get the sense that something really bad had happened and the daughter blamed herself for her mother's senility. The contradicting atmosphere of her regret piqued my interest enough to keep me continue reading.

And I can't put it down until I finished it two hours later.

The story itself is told alternatingly between the mother (Marni), and the daughter (Rahayu).  With a story that encompasses 40 years of their lives, it provides ample food for thought with its diverse topics. The topic ranges from marital infidelity and aspiration of moving socially upward, to clashes of theological beliefs and fighting injustice masquerading as march of progress as peddled by an authoritarian regime. Such amazing breadth, without coming across as condescending or preachy.

It was very easy to relate to. With no effort at all Marni made me think of my own mother. Not only because she poured all her efforts to her daughter in hope that her daughter would have had a better living, but also how she was hurt when her only daughter misunderstood her belief.

Aku membenci Ibu. Dia orang berdosa.
Aku membenci Ibu. Kata orang, dia memelihara tuyul.
Aku membenci Ibu, karena dia menyembah leluhur.
Aku malu, Ibu.
"Yang kuasa itu Gusti Allah, Bu. Bukan Mbah Ibu Bumi," kataku dengan suara keras[.]
"Sampai setua ini, sampai punya anak sebesar kamu, Nduk, aku tidak pernah tahu Gusti Allah. Mbah Ibu Bumi yang selalu membantuku. Mbah Ibu Bumi yang memberiku semua ini. Apanya yang salah?"
Dia bilang aku ini dosa. Dia bilang aku ini sirik. Dia bilang aku penyembah leluhur. Lho.. lha wong aku sejak kecil diajari orangtuaku nyembah leluhur kok tidak boleh.[...] Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lha iya, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana mau nyuwun kalau kenal saja belum.

That is why Marni's story resonate especially loudly for me when her belief clashed with her daughter's. I see my mother's likely perspective in her bafflement why her daughter is bent on her new belief while she had had a belief that was good enough. I see myself in Marni, because she faced ostracism from her society for her traditional belief--I can imagine it's the same ostracism society will direct to me for my being in the minority with my lack of belief. Marni is a rich character.

It was also remarkable how topical the struggles she pictured in this book could be. Given that the land conflict Rahayu faced was set in the 1980s, one can only marvel of its similarities with the struggles in Rembang. On a more global level, the same narrative of conflicts wouldn't be out of place in the Arab Spring.

At the end of the story, I learned why Marni was the way she had been in the prelude, and it was a cue to start reading again from the beginning.

*****

Reading Entrok made me felt giddy, conflicted, happy, and dejected at the same time. What a great story! On which sides would I be: Marni's or Rahayu's? Rahayu's or the government's? At least Rahayu in the end got a normal ID card! But life is horribly unfair, if all Marni's hard work in building a fortune amounts to nothing in the end!

With everything that it offers, it felt sacrilegious that I bought Entrok because it was dirt cheap in the bargain bin. IDR 10,000 for a great novel is a definite sacrilege when my dinner at a warteg costs me more than that. And because rating it in goodreads only took 3 seconds, it somehow did not leave me feeling satisfied that I've addressed this sacrilege properly.

So you understand, this review is partly to redeem that.

How else would you redeem yourself for a five-star book?

Sunday, February 1, 2015

Jelai

Ini pint bir keempat dan ini waktu yang tepat untuk merenungkan dunia. Ketika aku minum separuhnya, apakah gelas ini separuh kosong, atau masih separuh isi? Jika mereka punya kesadaran, apakah jelai-jelai yang dikecambahkan menjadi malt bahan bir ini memilih jadi bir? Atau jadi roti, mengenyangkan? Atau tumbuh jadi jelai baru?

Apa pula bedanya masing-masing kita dengan tanaman jelai ini? Si jelai bisa bermimpi merintis ladang baru; kita bermimpi jadi presiden untuk mengisi waktu. Usai panen, ia rekahkan akarnya jadi kecambah malt, hanya untuk mengalami hilangnya air pembawa pertumbuhan.

Tidak ada ladang baru untuk jelai ini. Malt tidak mengubah dunia.

Ini saatnya pint kelima.