Monday, February 9, 2015

Perlu

Akhir 2012, banyak teman menjawil saya di dunia maya.

"Tonton Life of Pi, Syhur," kata mereka.

"Lo katanya ngajar malah main film," sergah teman lain lagi.

Ketika saya sempatkan melihat film itu, saya sudah bosan menyanggah kemiripan saya dengan pemeran utamanya. Harus diakui memang, paling tidak dekilnya sama antara Pi di Pasifik dan saya di Banggai.

Tapi menurut mereka kemiripan ini tak cuma tentang perawakan Pi saja. Teman-teman saya terbahak melihat saya menyanggah anggapan mereka bahwa upaya Pi menghafal nilai konstanta pi itu tipikal kelakuan saya. Ketika keluarga Pi berkomentar bahwa tiap minggu ia punya agama baru, saya diam saja deh biar digoda-goda juga.

Saya jadi membayangkan, irikah Pi pada saudara-saudaranya? Mereka tidak risau tentang masalah Tuhan. Dan saya tahu mereka tidak sendirian. Kalau kamu punya waktu luang untuk bertanya ke semua orang di dunia, paling tidak untuk setiap sepuluh orang, sembilan di antaranya akan menjawab bahwa mereka percaya ada Tuhan.

Pantas saja Voltaire pernah menulis bahwa seandainyapun Tuhan tidak ada, maka manusia perlu menciptakan-Nya. Tidak hanya karena menurutnya, Dia bisa membuat para raja berpikir dua kali tentang pembalasan Yang Maha Adil sebelum bertindak semena-mena. Bagi rakyatnya pun (yang akhirnya tetap ditindas juga, karena siapalah rakyat jelata ini) Tuhan memberikan pengharapan atas keadilan. Kalau keadilan memang belum datang sekarang, tak apalah di tahun depan. Atau di kehidupan mendatang. Toh waktu tak membuat Tuhan lekang.

Bagi kita yang hidup tak lagi bergantung pada pengharapan ini, Pandora jadi terkesan kejam. Kenapa pula tak ia buka sekalian kotaknya, ketika harapan ternyata juga bisa berubah menjadi kekang?

Di sini saya sadar bahwa saya masih gagal berwelas asih. Tahu apa saya yang hanya tahu kenyamanan tentang hidup yang bergantung hanya pada harapan? Kalau hanya harapan yang tersisa pada mereka yang papa, tegakah saya mencerabut itu dari mereka? Dan mengapa pula saya bertingkah macam saya mampu menihilkan harapan yang teguh mereka pegang? Saya mungkin hanya harus paham: bagi mereka, Tuhan perlu ada agar mereka bisa bertahan diinjak kesewenang-wenangan alam dan para pemegang kekuasaan.

Tolong jangan anggap saya sebagai pribadi yang jumawa, hendak memaksakan pandangan. Saya hanya kadang berang, ketika mereka yang mengaku bertuhan cepat sekali mengayun parang. Merendahkan perempuan. Memaksakan pelajaran. Menumpas perbedaan. Dan tanpa rasa ironi berkata bahwa perbedaan itu berkah, dengan lantang.

Mungkin begitu kalau candu ini dihisap juga oleh mereka yang menetapkan aturan yang berlaku. Oleh yang pria untuk wanita. Oleh jemaat yang berlipat untuk yang jumlahnya melarat. Bagi mereka, Tuhan perlu ada untuk melanggengkan kuasa. Anehnya, bagi mereka yang tanpa daya tersisihkan dari kuasa, Tuhan perlu ada untuk jadi penghilang derita. Sampai ajal benar-benar tiba.

Takutkah saya pada ajal? Ya. Berpikir tentang ajal tak pernah gagal membuat hati berdebar. Namun saya pikir ini normal. Hasrat hidup adalah hasrat paling mendasar. Melampaui batas-batas mutlak kematian, manusia ingin tetap ada kehidupan. Untuk Yang Maha Bisa, ini gampang saja: Ia kekal, begitupun ciptaan favorit-Nya. Bagi yang beriman, selepas kematian firdaus boleh kita genggam. Khilaf berdosa? Bersabarlah melalui api penyucian, nanti setelahnya surga boleh kau dapat juga. Bahkan untuk yang menyekutukan-Nya, jiwa mereka tetap mendapat kekekalan, meski harus ditukar kesengsaraan dilempar ke jahanam.

Kini tinggal tersisa bagaimana menggolongkan yang bertakwa dan yang berdosa. Tak sabar menunggu akhir dunia, banyak manusia yang lebih senang melakukannya bersama-sama saat ini juga. Untuk apa lagi perang-perang berkedok agama ada? Tapi di ujung semuanya, bisakah mereka mengatasi kecewa jika ternyata upaya mereka sia-sia karena yang mereka bela sama fananya?

Tak yakin saya hal-hal seperti ini bahkan terbersit di benak mereka. Tuhan pasti ada karena Tuhan perlu ada. Tuhan saya pasti ada karena saya perlu Tuhan ada. Kalau Tuhan kamu, mungkin itu palsu. Mau bertaruh apa kamu?

Kau tahu, anggap saja aku sedang galau, meracau tidak tentu. Tunjukkan saja padaku mereka yang memuja Ia dengan seni yang menyentuh kalbu. Arahkan saja aku ke sastra-sastra yang mampu menggugah haru. Biar tak lagi aku ragu berseru, hadirnya Tuhan itu perlu.

1 comment:

Muhamad Fajar said...

Semesta terlalu teratur untuk ketiadaan Tuhan dan terlalu cepat habis untuk disebut kekal. Semoga pesan Tuhan menyergapmu di saat kamu butuhkan dalam terang maupun tersembunyi.

- Dari pembelajar belantara hidup, kawan seperjuangan.