Tuesday, April 7, 2015

Recehan

Mas Efendi, manajer administrasi dan keuangan kantor saya mengirimkan pesan agar kami tidak meninggalkan barang-barang berharga di meja kantor. Di e-mail yang sama, ia lanjutkan bahwa tukang-tukang akan mulai merenovasi kantor kami mulai minggu depan.

Sekilas saya edarkan pandangan ke barang-barang yang terserak di meja saya. Tumpukan dokumen aneka rupa. Kumpulan pulpen yang penyok ujungnya. Satu eksemplar buku panduan penelitian. Selembar kartu pos dari Pittsburgh. Segenggam kepingan recehan.

Recehan juga uang. Haruskah saya mengamankannya?

***

Recehan juga uang. Ini sebabnya saya pernah sakit hati pada pengamen di Pasar Balubur yang melemparkan balik keping dua ratusan rupiah saya sambil bersungut-sungut. Lah kalau ga mau dapat receh jangan ngamen Mas! Tumpukan recehan kalau dikumpulkan juga bisa berharga!

***

Jangan salah sangka, tumpukan recehan di meja saya ini bukan hasil mengamen. Suara saya yang sumbang dan mimik saya yang tidak mengancam rasanya akan membuat saya gagal mendapatkan sekadar keping-keping ratusan kalaupun saya memaksa berdendang di jalanan.

Keping-keping ini adalah kumpulan kembalian, dari pembelian tiket TransJakarta koridor enam, dari kopaja-kopaja yang melaju serampangan, dan dari jajan gorengan. Risih mendengar dencing-dencing koin di kantong celana, saya biasa lemparkan mereka ke sudut meja ketika saya sampai di Salemba.

Dengan adanya onggokan koin di meja, ketika melihatnya kadang saya merasa saya ini kaya.

***

Tidak susah menanamkan pemahaman bahwa recehan adalah status kekayaan ketika di masa kecil Donal Bebek menjadi sumber bacaan rujukan. Bayangan Paman Gober yang berenang-renang senang di kolam recehan menjadi penguat imajinasi bahwa yang punya segalanya belum tentu kaya.

***

Maka ada dua memori yang mengingatkan saya tentang rasanya menjadi kaya. Yang pertama adalah ketika celengan ikan yang sering saya timang-timang bagai gada kesayangan digorok di akhir suatu tahun ajaran SD. Dari perut merah jambunya yang terburai saya dapatkan seratus ribu. Senyum saya terkembang tak padam-padam, membayangkan kesenangan bisa membeli apa yang saya mau kapanpun saya berikutnya ke toko buku.

A penny saved is a penny earned.

Memori kedua adalah ketika saya pertama kena tilang. Saya yang mendongkol bersumpah hanya akan mau membayar dendanya dengan recehan, dan rasanya saya memang punya cukup banyak recehan. Di pengadilan, usai hakim menetapkan denda yang harus saya bayar, saya menjinjing kresek saya yang penuh berisikan keping-keping ratusan dan lima ratusan ke ibu penerima pembayaran. Ia langsung tergelak melihat apa yang saya bawa.

***

Sementara itu, rasanya koin yang berserakan ini belum seberapa bernilai. Saya bahkan tidak tahu berapa jumlahnya. Hitung punya hitung, ada belasan ribu terkumpul dari dua puluhan koin lima ratus rupiah, dua ribuan dari belasan koin dua ratusan rupiah, dan seribuan dari sisa koin seratusan rupiah. Dengan kertas bekas saya gulung receh saya menjadi bentuk-bentuk tabung, berdasar besar ukurannya. Selasa malam saya tinggalkan tabung-tabung ini di pojok meja yang sama.

Langkah pulang saya ringan, dengan absurd akhirnya merasa kerja mulai membuat saya kaya.

***

Perasaan ringan ini bertahan hingga Kamis pagi, ketika di kantor saya dapati gulungan lima ratusan rupiah saya menghilang. Kamis pagi, ketika di kolong meja saya kini terpasang soket listrik baru hasil pekerjaan renovasi para tukang.

***

Saya merutuk pelan. Ah! Kenapakah tidak saya dengarkan nasihat Mas Efendi?

Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan buat apa pula saya merisaukan belasan ribu saja? Receh sebanyak itu masih tak akan cukup untuk membeli penganan di mal. Uang sebanyak itu bahkan mungkin tak cukup untuk membayar pajak yang dikenakan pemerintah ketika saya dan teman teman berkumpul di mal. Koin sebanyak itu harusnya tak bikin saya risau.

Saya tidak risau, tapi saya juga tak habis pikir, untuk imbalan yang sedemikian kecil, tidak terusikkah si pengutil dengan keburukan perbuatannya? Paling banter saya pikir ia hanya akan dapat sebungkus rokok dari receh saya. Sementara itu, kalau dia beriman pada surga dan neraka, tidakkah ia akan merasa receh ini akan menggelayutinya sebagai dosa?

***

Lalu akan saya apakan sisa tabung uang dua ratusan dan seratusan yang masih ada di meja? Haruskah saya pindahkan ke tempat aman? Tapi betapa meremehkannya saya, mengira uang yang tak sampai tiga ribu rupiah ini akan bisa menggoda iman orang. Jumat menuju akhir pekan, saya tinggalkan dua tabung ini tetap teronggok di pojok.

***

Selasa pagi, saya dapati tabung seratusan rupiah saya kini teronggok sendiri.

No comments: