10 Plonga-plongo di Kyoto
— Masyhur Hilmy (@masyhurh) December 25, 2019
11 Bebersih di Tohoku
12 Bau-bau -> Wangi-wangi
13 Ngajar di Banggai
14 Disangka dokter di Salemba
15 AKDP Kb Sirih, Cempaka Putih, Pedurenan
16 Berharap-harap beasiswa (yang lalu gagal)
17 Bertolak ke Boston
18 Lulus qualifier, Duolingo ID lulus beta
Di dua tahun yang sedang berlalu, ada enam perubahan besar dalam hidupku: menikah, mudik, riset, pindah, kucing, dan pandemi. Keenam hal ini bergumul menyatu dalam kegundahanku melihat digerendelnya gerbang ke Nickerson Field BU minggu lalu.
Aku mulai berolahraga lari lagi, dan di akhir musim panas ini aku mulai pergi ke Nickerson Field. Lapangan ini hanya berjarak lima belas menit dari rumah dan kalau aku pergi cukup pagi, lintasan larinya tidak ramai. Ini satu-satunya aktivitas fisik semi-rutinku karena sasana gimnasium kampus ditutup ketika pandemi, sementara Chestnut Hill Reservoir menjadi jauh ketika aku pindah apartemen. Ada Charles River Reservation yang jadi lebih dekat, tapi untuk mencapainya tetap perlu menyeberang jalan tol dan berjalan setengah jam. Aku sudah setengah tahun lebih tidak berenang.
Minggu lalu, aku pergi dengan niat berlari, tapi mendapati gerbang ke lintasannya terkunci. Ini sepertinya langkah kampus untuk membatasi penyebaran covid ketika mahasiswa S1 kembali masuk asrama: kampusku berkeras mengadakan kuliah tatap muka. Ini keputusan berbeda dengan Harvard dan MIT—dua universitas tetangga di seberang sungai.
Kebijakan kampusku dan dua kampus lain itu baru berbeda untuk semester baru ini. Semester lalu, semua pindah online. Freida lulus dari Harvard dan pandemi mengurungkan rencana perjalanan Ibu plus Abang, Kak Linda dan ponakan untuk merayakan kelulusan Freida. Wisuda Freida dialihkan online dan ijazahnya dikirim via pos. Aku dan Sammy si kucing ikut menonton wisudanya sambil tidur-tiduran.
Ini adalah persilangan tiga perubahan yang lain: riset, menikah, dan mudik. Wisuda Freida di akhir Mei hampir bertepatan dengan peringatan setahun pernikahan kami. Tapi karena aku sudah masuk tahap riset independen sejak semester musim semi aku fokus di situ... dan merasa mampet tidak banyak kemajuan selama satu semester. Ini adalah perasaan yang akan terus membayangi hingga akhir musim panas, terlebih jika aku ingat tahun 2019 aku mudik ke Indonesia (untuk menikah) dan membawa pulang dua set data.
Bayang-bayang kemampetan inilah yang membuatku agak sebal dengan ditutupnya akses ke Nickerson Field. Bertahun lalu aku belajar mengakali perasaan suram kemampetan dengan lari pagi di GOR Soemantri: kalau sudah mulai hari dengan suatu hal yang produktif/sehat mau sekacau apapun sisa hariku, suram bisa kuhalau. Sementara kini, lapangan ditutup justru ketika musim dingin mendekat.
Freida bertanya kenapa aku tidak lari di trotoar blok sekitar rumah saja. Aku jawab sulit berkonsentrasi di trotoar karena medannya naik turun tiap melintas persimpangan jalan. (Aku juga baru ingat terakhir aku melakukan ini di Kyoto, dan itu juga aku lebih pilih berlari di tepi Sungai Kamogawa.)
Lalu bagaimana (Pak RT)? Entahlah. Aku masih perlu menghalau suram, tapi tak tahulah bagaimana caranya. Yang jelas untuk semester baru ini aku masih perlu menimbang bagaimana aku mau bekerja: di kampus atau di rumah. Aku khawatir bekerja di kampus menggoda bencana dengan mengundang paparan virus corona. Di sisi lain, selama musim panas aku bekerja sepenuhnya dari rumah dan kekusutanku menggila. Untungnya ada Sammy dan Freida, tapi tetap saja ada minggu-minggu ketika semangatku lenyap entah ke mana. Di minggu-minggu itu, jenuh membekapku. Membuatku ingin beralih ke hal baru.
Aku tak sabar—sembari gentar—untuk beralih ke periode baru.
No comments:
Post a Comment