Thursday, April 14, 2022

Fragmentatie

 Eksperimen personal saya untuk menulis lebih sering kurang sukses: page ‘now’ yang saya taruh di sidebar updatenya berhenti tiga bulan lalu. Mungkin memang saya kini ada di fase berbeda: tidak lagi harus lapor mingguan ke seorang manajer lagi ngerjain apa aja, tinggal serumah dengan pasangan yang mau tidak mau mengamati gerak-gerik saya sehingga tidak perlu berwarta, dan kawan-kawan saya tercerai-berai lintas benua.

Plus ada medsos. Daftar bacaan hiburan saya ada di Goodreads. Fitur sosial Duolingo kini posisinya sentral. Twitter. Instagram. Tiktok. Platform-platform ini menyerap perhatian saya. Belakangan saya sadar kalau ini adalah bagian hidup yang ini benar-benar menguras energi. 

Energi saya yang terkuras ini bukan semata-mata tentang media sosialnya—tentang ini sudah banyak yang mengulas. Pencerahan yang baru-baru saja muncul buat saya lebih ke fragmentasi atensi saya bahkan untuk satu jenis aktivitas saja. 

Ketika saya mencari hiburan dengan membaca, saya secara simultan membaca beberapa buku di saat yang bersamaan, dengan laju yang berbeda-beda. Di Kindle saya ada The Rent Collector (Cameron Wright) novel tentang kehidupan pemulung sampah di TPA Bantargebangnya Kamboja, kumpulan esai-blognya Eliezer Yudkowski, dan baru semalam saya unduh novellanya Adrian Tchaikovsky. Di meja makan tergeletak Brotherhood, novel debutnya Mohamed Mbougar Sarr, dan nonfiksi It’s Our Time to Eat tentang skandal korupsi di Kenya. Lima buku. 

Tahun lalu saya menambah kursus baru di Duolingo: bahasa Belanda. Dengan streak setahun lebih belajar bahasa Perancis, saya jadi bolak-balik dua kursus dan berulang kali tertukar je yang berarti saya di bahasa Perancis dengan je di bahasa Belanda yang berarti kamu (dilafalkan ‘ye’). Ketika tangkapan layar saya tentang modul sejarah di kursus bahasa Belanda ini meleduk di twitter dan Nils membalas bahwa di kursus bahasa Spanyol Duolingo tidak ada pelajaran serupa saya jadi penasaran bagaimana dengan bahasa Jepang. Maka selama tiga minggu saya jadi bolak-balik berlatih di kursus Jepang dan Belanda. Dua-tiga bahasa. 

Bulan lalu saya presentasi tentang temuan awal riset SMK. Di saat yang sama memulai proses survei telepon proyek riset dana desa. Plus dikejar tenggat revisi paper IM dan dibayang-bayangi tenggat revisi paper inpres. Kerja kolaborasi pendidikan antikorupsi sementara berjalan, dan demi siklus job market tahun depan saya sadar tidak boleh membiarkan riset remitansi dijeda terlalu lama. Supaya tidak teronggok seperti riset altruisme saya. Tujuh proyek riset. 

Belum lagi dua hal administratif besar lainnya: keimigrasian dan perpajakan. 

Perhitungan kasar saya menghasilkan rerata alokasi waktu (hanya!) tujuh jam per aktivitas per minggu. Tapi ini bukan kisaran yang realistis. Per proyek riset sering perlu waktu lebih dari tiga hari kerja. Asumsi lainnya untuk memenuhi panjang “hari kerja” tujuh belas jam sehari tujuh hari seminggu adalah saya tidak perlu rehat, olahraga, mandi, atau makan! Atau punya hubungan personal sama sekali. Ini jelas tidak sehat dalam jangka panjang, dan dengan serta merta menjelaskan kenapa pikiran saya enggan beranjak dari perasaan-perasaan suram bahkan di hari-hari dengan cakrawala yang terbentang cemerlang. Tentu saja ini lebih parah ketika cuaca muram. 

Maka saya mengeksklusifkan kursus bahasa Belanda saja di Duolingo. Pelaporan perpajakan syukurnya sudah selesai (dan kami menebus kurang bayar pajak dua ribu lima ratus dolar dengan sedikit rasa tidak ikhlas). Selesai baca Tchaikovsky dan Brotherhood saya hanya mulai satu buku baru (tentang detektif/ahli bahasa mesir kuno m/m di Massachusetts fiktif abad ke-19). Saya tidak yakin apa yang bisa saya kurangi di pekerjaan tapi paling tidak saya sudah kirim balik manuskrip IM dan benar benar merehatkan draf riset altruisme saya untuk sementara. 

Dengan harapan kewarasan terjaga. 

No comments: