Sunday, July 4, 2010

Dari Majalah ke Sepeda

Jadi ceritanya saya Jumat kemarin diajakin untuk ikut latihan debat. Habis kelas Elementary Listening yang habis buat twitteran, saya cari bangku yang kosong di perpus pusat sambil nunggu balasan SMS cari tahu ruangnya di mana. Bosen, saya hampir ambil jurnal akademis tentang seni keramik (!) dari rak pas tiba-tiba pandangan tertumbuk pada satu rak yang isinya majalah Time.

Kebeneran ada satu yang mencuat yang cover storynya tentang Twitter. Dan karena saya waktu itu lagi nyelesain nulis bagian terakhir Tokyo chronicle, lumayan kan kalo ada tambahan bahan hinaan?

Tapi seperempat buka-buka halamannya, ternyata ada artikel tentang Tebing Tojinbo, yang deskripsi lokasinya disebut "Dari Kyoto ke arah utara." Yang akhirnya bikin saya twitteran tentang topik bunuh diri ini deh.

Dulu sekitar tahun 2007-2008, saya rutin beli Newsweek dan Time di Reading Light. Maklum, murah, cuma 6000 rupiah. Dijual--entah kenapa--tanpa cover. Sayangnya--entah kenapa lagi--lama-lama mereka ga jualan majalah itu lagi. Baru pas saya tinggal di Obaku, mereka langganan Time yang disediakan buat dibaca di common room. Lumayan buat bacaan kalau sambil nunggu baju kotor dicuci di ruang sebelah.

Saya ngga kangen pengen tinggal di Obaku, buat ke kampus 1 jam sendiri, jalan kaki 15 menit ke Obaku station, lalu dari Demachiyanagi station jalan kaki lagi 15 menit buat ke kampus. Pas berangkat sih OK, jalannya turun, kalo lagi buru-buru bisa lari. Waktu balik? Udah cape, nanjak lagi. Mau beli sepeda juga tanggung, toh tetep harus jalan ini.

Jadinya saya baru punya sepeda setelah pindah deh.

Saya cerita soal sepeda saya sekalian ya, biar puas ngalor-ngidulnya.

Terakhir saya punya sepeda tuh waktu SMP, yang jaraknya mungkin sekitar satu km lebih sedikit dari rumah. Ya sekira jarak apartment saya sekarang lah ke kampus. Sekira dua puluh menit kayuh santai.

Omong-omong, saya ga pernah yakin harus nyebut tempat tinggal saya sekarang apa. Apartemen rasanya terlalu bergengsi, karena asosiasinya sama gedung bertingkat tinggi di pusat kota. Sementara gedung saya tinggal ini cuma 3 lantai. Dorm? Cocok sih buat tempat tinggal saya di Obaku, karena memang itu punya universitas. Tapi tempat sekarang ini kan dikelola swasta. Mau disebut kosan, rasanya seperti bukan kosan, yang punya implikasi ada ibu kos. Tempat ini ga ada supervisornya yang hidup di sini. Bahasa Jepangnya sih 'heya', yang punya arti generik, karena ruangan tempat dosen di prodi juga disebut 'heya'. Nama gedungnya sendiri ada kata 'plaza'-nya.

Ehm, saya melantur. Mari kembali ke sepeda saya saja. Yang paling saya suka adalah fakta bahwa sepeda ini saya terima gratis dari Mbak Kiki waktu dia mau balik ke Indonesia. Katanya sih dia juga dapet dari lungsuran mahasiswa Indonesia juga awalnya. It has character lah.

Kesan pertama waktu saya pertama pakai dari kampus buat ketemu Mbak Kiki buat terakhir kali sebelum paginya dia pulang adalah: ringan banget dikayuhnya. Dan hampir tanpa suara! Maklumlah, sepeda terakhir yang saya pakai itu sepeda jengki, yang tiap dikayuh ada bunyi "sreeet, sreeet, sreeet".

Jadi saya mengayuh dengan bahagia deh buat pertama kalinya, pulang dari kampus ke Apartemen/Dorm/Kosan/Kamar. Apapunlah.

Taunya paginya bannya bocor. :( Memang Mbak Kiki bilang dia jarang pakai sih. Wong kontrakan dia jalan dari kampus ngga sampai 5 menit.

Kalau dipikir-pikir, biar saya dapetnya gratis, saya udah keluar duit lumayan banyak beli ini-itu buat si sepeda item lungsuran ini. Mulai dari jasa tambal ban (pertama kali saya bayar 1680 yen. Sebulan kemudian tambal ban lagi di tempat lain, 790 yen), karet rem baru (dua set, untuk ban depan dan belakang, masing-masing 698 yen), lampu (798), oli (198), pompa (598), bel (397), kawat rem (298), dan tentu saja, jas hujan. Saya sekarang punya tiga jas hujan. yang pertama model standar, satu lembar besar dengan lubang untuk kepala (798), yang tahunya tetep bikin basah jins. Lalu saya nemu ada yang jual jas hujan 270 yen, dengan kancing di depan dan panjangnya sampai separuh paha. Dan tetap bikin jins basah. Pasrah, saya akhirnya beli yang agak mahal sedikit, 1270 yen, jas hujan yang model jaket dan celana.

Selain jas hujan, pertama kali beli karet rem, habis beli, bingung masangnya pakai apa, akhirnya beli pernik-pernik kunci buat buka dan pasang sekrup-sekrupnya deh. 298 yen.

Jadi kalau ditotal, euh, hampir sepuluh ribu yen? Buset.

Mau tahu barang terakhir yang saya beli terkait sepeda ini? Barang terakhir ini agak unik, karena awalnya saya bahkan ga tau saya perlu. Saya cuma tahu kalau setiap ke kampus atau pulang, pantat saya basah. Karena saya pikir ini keringat, maka saya lempar pertanyaan ini di jaringan sosial saya.

Elisa menyarankan kalau mungkin penyebabnya adalah seperti di bawah ini:



Yang membuat saya pasrah. Apa boleh buat toh? Kan ga mungkin saya telanjang pantat ke kampus? Seseksi apapun pantat saya.

Tahunya di hari Minggunya saya bosen ngamar, dan pengen keluar sekalian belanja stok makanan. Mumpung lagi agak cerah setelah Sabtu seharian gerimis. Waktu saya membungkuk buat buka kunci rantai sepeda, saya tekan sadelnya untuk tumpuan. Dan "pssssssssh", sponnya mendesis sambil meneteskan air.

OH! Jadi ternyata karena sadelnya berlubang, tiap kali saya duduki, tekanan berat badan saya (yang lebih ringan dari beratnya Tjues :D) membuat sponnya mengeluarkan simpanan airnya. Dan alih-alih menetes ke jalan, celana saya menyerap tampungan air hujannya, yang lalu membuat celana saya basah sampai tujuan.

Jadi sesuai metode ilmiah, sayapun menyusun hipotesa, kalau ada yang menutupi lubang itu, airnya ga akan diserap celana, dan saya pun tetap kering sepanjang hari! Di coop kampus ada yang jual lakban, tapi sorenya di D2 Home Depot saya menemukan penutup sadel. 498 yen. AHA! Ini lebih praktis dan bisa langsung dipasang!*

Dan pantat saya kini tetap terjaga kekeringannya!** :D

Terakhir, ada yang tahu kenapa kata 'gowes' sering dipakai buat sinonim kata 'kayuh'? Menggowes sepeda. Gowes ke Bandung. Kenapa ke barat (Go west?)? Kenapa ga ke timur? Atau utara? Atau ke bawah? Atau kalau bukan dari arah, apakah itu onomatopoeia? Tapi yang bunyinya wesewesewes kan angin yang diusir pake Tolak Angin? Kalau ada yang tahu, boleh lho saya dicerahkan.

----
* Tahunya ukurannya ga pas, karena cover itu diproduksi untuk sadel city bike, sementara mountain bike saya sadelnya lebih kecil. Tapi toh yang penting bekerja.
** Mungkin ini sebabnya iklan-iklan pembalut wanita ngomongin kering kali ya?

4 comments:

Anonymous said...

Masyhuuuuuuuuurrrr..
aku ngakak abis baca postinganmu. sejak kapan blajar ngelawak syhur? haha, nice post, walaupun GeJe sebenernya..

Liza Aprilia said...

astaga... nambel ban aja 1600 yen! O_o

Anonymous said...

Ngetes, udah bisa komen apa belum..

Alfan Nasrulloh said...

kasusnya sama kayak sadel motorku sur... tau kan motorku, tiap kali dipake selalu ninggalin basah di celana. awalnya aku kasih ganjal jas ujan , tapi akhirnya aku lakban aja, toh gak abis 1 gulung lakban, dan masalah selesai...hahahaha. daripada ganti jok, ntar mahalan joknya daripada motornya...:D