..while in Indonesia:
- Cari CD The Trees And The Wild. Dan artis-artis lainnya! Karena lebih murah daripada beli di Jepang. Yang kepikiran sekarang: St. Vincent, Hurts, OK Go, The Morning Benders, Girls, Mutemath. Belum memutuskan apa bakal beli OST Eclipse atau nggak. Di satu sisi, lagu-lagunya keren. Di sisi lain... Twilight saga. Bah.
- Buku! Kopi Merah Putih. Chickenstrip, kalau orang rumah belum beli. Kalau sampai pulang belum beli Skulduggery Pleasant juga, mungkin di Indonesia ada.
- Nyobain Penyetan Mas Kobis (?) yang dikoar-koarin Danti. Tapi perlu latihan makan cabe lagi dulu.
Kalau meet-up sih jelas lah ya. :D
Tuesday, August 10, 2010
Wednesday, August 4, 2010
Tips Membatalkan Presentasi
Anda baru pertama kali datang/ berpartisipasi di konferensi ilmiah? Anda tahu kalau sebagian hadirin akan tidur meski tidak lelap? Atau Anda tahu tapi tetap demam panggung? Jangan kuatir, ikuti langkah jitu berikut untuk membatalkan sesi Anda!
1. Kenalilah panitia penyelenggara yang ada. Mereka biasanya mudah dikenali dengan baju panitia, tag nama panitia, ataupun sikap yang sangat sosial.
2. Perhatikan panitia yang punya fitur tubuh paling unik. Bisa berupa, misalnya: panitia cowok yang punya rambut dikepang panjang sepunggung. Mirip punya suku Na'vi gitu.
3. Tebar pesona Anda. Deiphnophobia? Atasi dulu untuk sementara hingga Anda bisa duduk bersebelahan di suatu kesempatan. Paling baik di waktu makan siang hari pertama, karena jelas semua peserta masih berada di venue.
4. Basa-basi, hingga ke topik yang paling jelas: tanyakan apakah [fitur tubuh uniknya] asli, dan untuk kasus rambut suku Na'vi, bolehlah minta pegang.
5. Genggam erat, tarik kuat [YANK!] hingga ia hilang keseimbangan dan jatuh! Segera setelah ia jatuh, tindih badannya dengan kaki atau lutut Anda [Pin him to the ground!] dan tertawalah sesuai karakteristik tawa jahat jumawa anda [MUAHAHAHAHA!], lalu sambung dengan pernyataan lantang dan menggelegar, "Gorg 59A-omega, kita bertemu lagi! Tapi kali ini aku mengenalimu biarpun kau menyamar menjadi manusia! Muahahahaha! Muahahahahahahaha!"
Jika diikuti dengan i'tikaf dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa (dan yang berwenang) insya Allah slot bicara Anda akan ditarik. Insya Allah amin!
Penyangkalan: penulis sama sekali tidak bertanggung jawab atas potensi kerugian material maupun non-material yang mungkin timbul sebagai akibat mengikuti panduan ini. Seluruh tanggung jawab dan konsekuensi ditanggung oleh pelaksana panduan.
1. Kenalilah panitia penyelenggara yang ada. Mereka biasanya mudah dikenali dengan baju panitia, tag nama panitia, ataupun sikap yang sangat sosial.
2. Perhatikan panitia yang punya fitur tubuh paling unik. Bisa berupa, misalnya: panitia cowok yang punya rambut dikepang panjang sepunggung. Mirip punya suku Na'vi gitu.
3. Tebar pesona Anda. Deiphnophobia? Atasi dulu untuk sementara hingga Anda bisa duduk bersebelahan di suatu kesempatan. Paling baik di waktu makan siang hari pertama, karena jelas semua peserta masih berada di venue.
4. Basa-basi, hingga ke topik yang paling jelas: tanyakan apakah [fitur tubuh uniknya] asli, dan untuk kasus rambut suku Na'vi, bolehlah minta pegang.
5. Genggam erat, tarik kuat [YANK!] hingga ia hilang keseimbangan dan jatuh! Segera setelah ia jatuh, tindih badannya dengan kaki atau lutut Anda [Pin him to the ground!] dan tertawalah sesuai karakteristik tawa jahat jumawa anda [MUAHAHAHAHA!], lalu sambung dengan pernyataan lantang dan menggelegar, "Gorg 59A-omega, kita bertemu lagi! Tapi kali ini aku mengenalimu biarpun kau menyamar menjadi manusia! Muahahahaha! Muahahahahahahaha!"
Jika diikuti dengan i'tikaf dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa (dan yang berwenang) insya Allah slot bicara Anda akan ditarik. Insya Allah amin!
Penyangkalan: penulis sama sekali tidak bertanggung jawab atas potensi kerugian material maupun non-material yang mungkin timbul sebagai akibat mengikuti panduan ini. Seluruh tanggung jawab dan konsekuensi ditanggung oleh pelaksana panduan.
Sunday, July 4, 2010
Dari Majalah ke Sepeda
Jadi ceritanya saya Jumat kemarin diajakin untuk ikut latihan debat. Habis kelas Elementary Listening yang habis buat twitteran, saya cari bangku yang kosong di perpus pusat sambil nunggu balasan SMS cari tahu ruangnya di mana. Bosen, saya hampir ambil jurnal akademis tentang seni keramik (!) dari rak pas tiba-tiba pandangan tertumbuk pada satu rak yang isinya majalah Time.
Kebeneran ada satu yang mencuat yang cover storynya tentang Twitter. Dan karena saya waktu itu lagi nyelesain nulis bagian terakhir Tokyo chronicle, lumayan kan kalo ada tambahan bahan hinaan?
Tapi seperempat buka-buka halamannya, ternyata ada artikel tentang Tebing Tojinbo, yang deskripsi lokasinya disebut "Dari Kyoto ke arah utara." Yang akhirnya bikin saya twitteran tentang topik bunuh diri ini deh.
Dulu sekitar tahun 2007-2008, saya rutin beli Newsweek dan Time di Reading Light. Maklum, murah, cuma 6000 rupiah. Dijual--entah kenapa--tanpa cover. Sayangnya--entah kenapa lagi--lama-lama mereka ga jualan majalah itu lagi. Baru pas saya tinggal di Obaku, mereka langganan Time yang disediakan buat dibaca di common room. Lumayan buat bacaan kalau sambil nunggu baju kotor dicuci di ruang sebelah.
Saya ngga kangen pengen tinggal di Obaku, buat ke kampus 1 jam sendiri, jalan kaki 15 menit ke Obaku station, lalu dari Demachiyanagi station jalan kaki lagi 15 menit buat ke kampus. Pas berangkat sih OK, jalannya turun, kalo lagi buru-buru bisa lari. Waktu balik? Udah cape, nanjak lagi. Mau beli sepeda juga tanggung, toh tetep harus jalan ini.
Jadinya saya baru punya sepeda setelah pindah deh.
Saya cerita soal sepeda saya sekalian ya, biar puas ngalor-ngidulnya.
Terakhir saya punya sepeda tuh waktu SMP, yang jaraknya mungkin sekitar satu km lebih sedikit dari rumah. Ya sekira jarak apartment saya sekarang lah ke kampus. Sekira dua puluh menit kayuh santai.
Omong-omong, saya ga pernah yakin harus nyebut tempat tinggal saya sekarang apa. Apartemen rasanya terlalu bergengsi, karena asosiasinya sama gedung bertingkat tinggi di pusat kota. Sementara gedung saya tinggal ini cuma 3 lantai. Dorm? Cocok sih buat tempat tinggal saya di Obaku, karena memang itu punya universitas. Tapi tempat sekarang ini kan dikelola swasta. Mau disebut kosan, rasanya seperti bukan kosan, yang punya implikasi ada ibu kos. Tempat ini ga ada supervisornya yang hidup di sini. Bahasa Jepangnya sih 'heya', yang punya arti generik, karena ruangan tempat dosen di prodi juga disebut 'heya'. Nama gedungnya sendiri ada kata 'plaza'-nya.
Ehm, saya melantur. Mari kembali ke sepeda saya saja. Yang paling saya suka adalah fakta bahwa sepeda ini saya terima gratis dari Mbak Kiki waktu dia mau balik ke Indonesia. Katanya sih dia juga dapet dari lungsuran mahasiswa Indonesia juga awalnya. It has character lah.
Kesan pertama waktu saya pertama pakai dari kampus buat ketemu Mbak Kiki buat terakhir kali sebelum paginya dia pulang adalah: ringan banget dikayuhnya. Dan hampir tanpa suara! Maklumlah, sepeda terakhir yang saya pakai itu sepeda jengki, yang tiap dikayuh ada bunyi "sreeet, sreeet, sreeet".
Jadi saya mengayuh dengan bahagia deh buat pertama kalinya, pulang dari kampus ke Apartemen/Dorm/Kosan/Kamar. Apapunlah.
Taunya paginya bannya bocor. :( Memang Mbak Kiki bilang dia jarang pakai sih. Wong kontrakan dia jalan dari kampus ngga sampai 5 menit.
Kalau dipikir-pikir, biar saya dapetnya gratis, saya udah keluar duit lumayan banyak beli ini-itu buat si sepeda item lungsuran ini. Mulai dari jasa tambal ban (pertama kali saya bayar 1680 yen. Sebulan kemudian tambal ban lagi di tempat lain, 790 yen), karet rem baru (dua set, untuk ban depan dan belakang, masing-masing 698 yen), lampu (798), oli (198), pompa (598), bel (397), kawat rem (298), dan tentu saja, jas hujan. Saya sekarang punya tiga jas hujan. yang pertama model standar, satu lembar besar dengan lubang untuk kepala (798), yang tahunya tetep bikin basah jins. Lalu saya nemu ada yang jual jas hujan 270 yen, dengan kancing di depan dan panjangnya sampai separuh paha. Dan tetap bikin jins basah. Pasrah, saya akhirnya beli yang agak mahal sedikit, 1270 yen, jas hujan yang model jaket dan celana.
Selain jas hujan, pertama kali beli karet rem, habis beli, bingung masangnya pakai apa, akhirnya beli pernik-pernik kunci buat buka dan pasang sekrup-sekrupnya deh. 298 yen.
Jadi kalau ditotal, euh, hampir sepuluh ribu yen? Buset.
Mau tahu barang terakhir yang saya beli terkait sepeda ini? Barang terakhir ini agak unik, karena awalnya saya bahkan ga tau saya perlu. Saya cuma tahu kalau setiap ke kampus atau pulang, pantat saya basah. Karena saya pikir ini keringat, maka saya lempar pertanyaan ini di jaringan sosial saya.
Elisa menyarankan kalau mungkin penyebabnya adalah seperti di bawah ini:
Yang membuat saya pasrah. Apa boleh buat toh? Kan ga mungkin saya telanjang pantat ke kampus? Seseksi apapun pantat saya.
Tahunya di hari Minggunya saya bosen ngamar, dan pengen keluar sekalian belanja stok makanan. Mumpung lagi agak cerah setelah Sabtu seharian gerimis. Waktu saya membungkuk buat buka kunci rantai sepeda, saya tekan sadelnya untuk tumpuan. Dan "pssssssssh", sponnya mendesis sambil meneteskan air.
OH! Jadi ternyata karena sadelnya berlubang, tiap kali saya duduki, tekanan berat badan saya (yang lebih ringan dari beratnya Tjues :D) membuat sponnya mengeluarkan simpanan airnya. Dan alih-alih menetes ke jalan, celana saya menyerap tampungan air hujannya, yang lalu membuat celana saya basah sampai tujuan.
Jadi sesuai metode ilmiah, sayapun menyusun hipotesa, kalau ada yang menutupi lubang itu, airnya ga akan diserap celana, dan saya pun tetap kering sepanjang hari! Di coop kampus ada yang jual lakban, tapi sorenya di D2 Home Depot saya menemukan penutup sadel. 498 yen. AHA! Ini lebih praktis dan bisa langsung dipasang!*
Dan pantat saya kini tetap terjaga kekeringannya!** :D
Terakhir, ada yang tahu kenapa kata 'gowes' sering dipakai buat sinonim kata 'kayuh'? Menggowes sepeda. Gowes ke Bandung. Kenapa ke barat (Go west?)? Kenapa ga ke timur? Atau utara? Atau ke bawah? Atau kalau bukan dari arah, apakah itu onomatopoeia? Tapi yang bunyinya wesewesewes kan angin yang diusir pake Tolak Angin? Kalau ada yang tahu, boleh lho saya dicerahkan.
----
* Tahunya ukurannya ga pas, karena cover itu diproduksi untuk sadel city bike, sementara mountain bike saya sadelnya lebih kecil. Tapi toh yang penting bekerja.
** Mungkin ini sebabnya iklan-iklan pembalut wanita ngomongin kering kali ya?
Sunday, June 27, 2010
Fools Rush In
Ladies and gentlemen, behold the gooey goodness that is Zooey Deschanel*:
I was about to write a lengthy note about how sometimes out of a song, all it takes is just a phrase or a line in its lyrics, or a violin interlude to make it stuck in your head, but then I figured I can't really describe it. It would just be an exercise of futility.
It won't always make sense. What got me hooked to Saint Motel's "Butch" was "I can see us walking down the aisle." Yeah, I know, right? Speaking of which, I actually have a draft about the findings from massive SXSW torrent I downloaded earlier this year.
The best thing about that 8 GB worth of music torrent download was that it's legal. So not only I can feel generally cooler, listening to music from bands no-one ever heard about, it's kinda guilt-free.
We're practically swimming in the sea of illegally obtained music, movies, and series that it's honestly all too easy to take all that for granted. But really, we shouldn't.
Imogen Heap sure is not the only one. While artworks will always be produced, if only for its own sake, isn't it all too obvious that some (good quality) art would never see the light of day because the persons who would've created it thinks that it simply is not worth their time?
Surely it won't kill to once in a while, paying back for things we actually enjoy? After all, we pay for various things we don't need and we don't enjoy. Why should the reverse be applied for music--that entertains us and is actually enjoyable? And just so you know, CDs and live shows are three times as expensive here than in Indonesia**.
Which is why I feel grateful when an artist I like put his/her/their work for free. Or sometimes in exchange of your email address/tweet, but still, in essence, free. You can always delete a tweet later, or filter your mail if they starts flooding your inbox. That's how I got She & Him's "Fools Rush In" for free, in an exchange for Levi's sending mails to my inbox. Rogue Wave's "Solitary Gun"? A tweet.
---
* Do pardon the pun, please.
** Remember that there was a time when people actually saves up to buy casettes/records? Talk about caving in to instant gratification.
Wednesday, June 16, 2010
Tentang Sitkom
Pernahkah kau melihat pola di balik berbagai tayangan komedi situasi? Meski tidak tepat sama, tapi seolah-oleh ada pola yang diikuti dalam pembuatannya. Coba lihat tiga komedi situasi berikut: The Big Bang Theory, How I Met Your Mother, dan Better Off Ted.
Tentu saja batasan jumlah tokoh utama tidak bisa dielakkan. Bahkan di luar tiga judul yang disebut di atas, suatu sitkom/serial hanya akan memiliki tokoh penting sekitar lima atau enam. Dan sitkom tersebut jelas akan memiliki:
1. The Rulemaker.
Dengan penokohan yang eksentrik, tidak peduli apa kata orang, dan sering membuat anggota kelompok lainnya menghela nafas panjang. Di HIMYM, ada Barney Stinson yang selalu mengejar wanita; di TBB, ada Sheldon Cooper yang terlalu cerdas; dan di BOT ada Veronica Palmer yang memimpin dengan tangan besi.
Mungkin bahkan bisa disebut bahwa tipe inilah yang menggerakkan unsur komedi dari sitkom tersebut melalui ide gila, syarat yang tidak beralasan, dan tindakan yang tidak masuk akal.
2. The Sensible One
Ted Mosby, Ted Crisp, Leonard Hoffstader. Tokoh ini adalah tokoh yang kemungkinan besar paling mirip dengan pemirsanya. Sadar akan norma sosial tapi terjebak dengan si rulemaker, dan seringkali dibawa plot untuk terombang-ambing dengan..
3. The Pretty One
Di season pertama HIMYM, Ted Mosby langsung tergila-gila dengan Robin Scherbatsky, seperti Leonard pada Penny di TBB. Dari season pertama BOT, Linda Zwordling mulai merasa ada yang istimewa dengan hubungannya dengan Ted Crisp. Terakhir di bagian grup itu, ada:
4. The Couple.
Tidak selalu pasangan romantis seperti Lily dan Marshall di HIMYM, tapi bisa juga seperti Phil dan Lam di BOT, yang sering bersama-sama menjadi obyek teror Veronica. Di TBB jelas ada Raj dan Howard.
Kita tertawa dan terhibur atas kesialan mereka, dan kadang terinspirasi. Kadang pula kita melihat beberapa teman kita dalam tokoh-tokoh yang ditampilkan para aktornya. Lalu apakah art imitates life?
Wednesday, June 9, 2010
Yang Lama, Yang Baru
Sebelum saya datang ke Jepang, saya sempat panik mencari ponsel yang kompatibel. Masalahnya, ponsel saya sejak 2007, w810i bukanlah ponsel 3G, jadi jelas tidak mungkin dipakai di sini. Selain itu, saya juga tahu kalau nanti ponsel apapun yang saya bawa dari Indonesia tidak akan berumur panjang. Karena toh agar bisa menggunakan layanan selular di sini saya harus beli kartu yang dibundel dengan ponsel baru.
Saya pun lalu sepakat bertukar ponsel dengan adik saya: W810 menjadi G502. Sama-sama SonyEricsson, saya bisa mengambil kontak lama dengan MyPhoneExplorer. Dari kunjungan singkat terakhir ke Singapura, saya punya SIM card Starhub, yang tinggal diaktifkan jelajahnya ke jepang. Jadi untuk beberapa waktu saya bisa menunda beli ponsel baru.
Sayangnya, Starhub ini kalau terima telepon dari Indonesia di jepang langsung menguras pulsa. Kirim sms ke Indonesia/Singapura/nomer lokal pun sama mahalnya. Akhirnya saya hanya sekali isi ulang kartu Starhub itu sebelum akhirnya beli ponsel. Hmm, jadi ingat: saya berhutang berapa ya ke Septian buat isi pulsa waktu itu?
Akhirnya saya diantar membeli ponsel. Karena kata orang-orang AU paling murah, saya putuskan untuk menjadi pelanggan AU. Di toko itu ada macam-macam model, dan dengan bodohnya saya terbujuk rayu untuk menjadi berbeda dan memilih ponsel dengan merek yang tidak lazim di Indonesia: sharp. Baru belakangan saya sadar: kalau AU pakai jaringan CDMA yang berbeda, jadi waktu pulang tidak bisa dibawa dan difungsikan. Lalu colokan yang berbeda jelas menambah sampah elektronik dan susah cari lingga yang kompatibel.
Namun demikian, adanya ponsel baru ini akhirnya mengistirahatkan G502.
Ponsel baru yang tidak sempurna. Tapi Toh untuk sementara waktu saya gembira: bisa ditelepon lagi, bisa perbarui twitter dari jalan, dll. Hingga saya sadar: AU tak punya fitur SMS. Untungnya tak berapa lama saya menemukan Diolabs. Bukan solusi yang sempurna, tapi terjangkau dan memenuhi kebutuhan saya.
Kejutan kedua adalah tagihan yang datang tak pernah di bawah 5000 yen. Saya kira awalnya ini karena buat aktivasi, tapi setelah bulan ketiga, saya pasrah dan hanya bisa ngegerundel.
Terakhir, selain User Interfacenya sangat tidak bersahabat (untuk input tanda koma saya perlu tekan tombol "0" belasan kali), baterainya juga payah. Dengan waktu bicara yang saya curigai kurang dari 4 jam, percuma saja koneksi lancar dan kencang kalau tak ada daya. Maka saya pun sering bengong saja di kereta, sampai ingat punya bacaan Animorphs di Stanza iPod.
Datanglah bulan april. Berbekal pencarian Google, saya pergi ke Softbank Ebisubashi sendirian. Kenapa sendirian? Karena saya tak tahu lagi mau ngrecokin siapa. Untungnya, semua lancar dan si manager yang fasih empat bahasa itu agak menghibur sementara saya menunggu proses verifikasi. Pertama kali saya dengar orang bercakap-cakap dengan bahasa arab di telepon.
Saya ke Ebisubashi dengan niat membeli pocket wifi. Karena apartemen yang baru tak dilengkapi dengan akses internet dan pendaftaran Hikari perlu kartu kredit yang saya tidak punya, saya kembali ke sistem cicilan paskabayar.
Yang saya suka adalah, kini iPod saya juga bisa terkoneksi internet lewat wifi, dan saya bisa memasang berbagai aplikasi.
Namun kini tiap pagi saya membawa empat item elektronik: sumbat telinga, iPod, pocket wifi dan ponsel. Karena memori masih harus dipakai untuk mengecek dompet, jam tangan, kunci, jaket dan kacamata, jelas akhirnya rawan lupa.
Dan minggu ini saya sudah dua kali ketinggalan ponsel di lab. Seperti yang saya bilang ke Ega dan dibilang oleh Cindy ke saya, ponsel Sharp saya ini kini ibarat istri tua. Tak dipedulikan, tapi kalau ketinggalan toh tak rela rasanya. (apalagi karena saya perlu alarmnya yang super nyaring di pagi hari).
Saya lalu jadi berpikir, mungkin kelakuan ini tidak terbatas di elektronik saja. Waktu SMA kelas satu dan dua, saya duduk semeja dengan teman saya yang namanya Yoga. Entah bagaimana, meja kami sering berdekatan dengan meja Retno dan Nana. Bukan ada masalah atau apa, hanya saja, setahun kemudian kami ada di kelas-kelas yang berbeda. Untuk menyingkat cerita, saya bilang saja we drift apart. And it's such a shame. Di tahun terakhir saya di sekolah itu, saya justru jadi dekat dengan kelompok baru. Yang baru kemarin menghina--dan menghibur saya yang nggak yakin manggar itu apa :)
Di sini saya mau menarik kesamaan dengan ganti-gantinya elektronik saya: begitu bertemu yang baru, yang lama jadi gampang terlupakan. Tapi tidak seperti friendship theoremnya Septian, saya menjadi berjarak bukan karena ada konflik, jadi tak bisa diterapkan. Kami kini masih berteman di Facebook (eh saya belum tambah Yoga jadi teman ding) tapi mungkin sebatas teman yang terbenam di ratusan atau ribuan teman maya yang lain. Yang alay dan yang normal. Yang narsis dan yang pemalu dan yang malu-maluin.
(alinea di bawah ini khusus ada karena saya tahu kakak saya baca blog ini. Say hi, everyone! Or better yet, stop reading)
Karena drift ini berlangsung jadi organik, saya juga tidak yakin akan berujung di mana. Apalagi setelah teman saya pacaran dengan kakak saya. Ya bagaimana ya, saya memang agak dingin dan susah berubah; jadi setelah ada jarak, ya agak awkward saja. To rephrase: I'm totally ok (i swear), but it might need something extraordinaire to--uh, you know, us to bond again. No hard feeling, tapi kalau ada beberapa hal yang sifatnya TMI dari teman *dan* kakak, saya perlu waktu untuk memprosesnya. Beberapa milenia cukup kok. Hehehe.
Eh saya jadi melantur ke mana-mana kan? Padahal awalnya cuma ingin bernostalgia dengan W810i malah berujung ke nostalgia SMA (yang membuat saya merasa tua; saya salahkan anak-anak sma yang baru lulus kemarin dengan segala dramanya!). Saya punya firasat besok tes kanji susulan bakal acakadut, jadi mengutip Apu pada pengunjung Kwik-E-Mart, "Thank you, come again!"
Thursday, June 3, 2010
The Park
To be diplomatic, the take away from my visit to Hiroshima and Tokyo is this: I learned more mankind and myself. Which should be valuable in the long run, I hope. While in the short run, I’m all out of money: lodging, transport. Talk about burning hole in my pocket.
But I, again, digress. Let’s now start with Hiroshima. The purpose of my visit was… doesn’t matter. :P Just let me tell you about the peace memorial park. It’s a vast park hosting, among others, various monuments dedicated to various facets of the atomic bombing. It’s also where the Dome and the Museum located.
Genbaku Dome in a chilly morning.
As I expected, it was the museum that succeeded to steal my attention. But it was different. I thought that I would be most bothered by the remains of the bomb victims: actual nails, locks of hair, and what-not. After all, that’s what was emphasized on David Sedaris’ account of the museum in When You Are Engulfed in Flames. “Each exhibit was sadder than the last,” he said.
But such is the beauty of a museum. It has different appeal for different people. Sick appeal.
Before I get too tedious, with my rambling, let me just say what really, really bothers me the most: the reason why Japan was chosen as the target of atomic bomb. Not Germany, not Italy.
In a nutshell, it was this: US believed that JP technology was less advanced than German’s; so should the bomb failed to explode, the likelihood of JP army (or navy?) being able to retrieve and picking out the bomb’s technology was slimmer.
That was point one. Lack of knowledge possession can indeed harm a country.
Two, is why the destruction wreaked was so massive. US made a list of potential A-bomb target cities before the actual bombing. The cities under the list was spared from air raids just so when it’s finally hit, the extent of the damage of an atomic bomb can be observed with certainty that those are the damage of an atomic bomb alone. No respect whatsoever of human lives. And if I got my memory straight, there was very little time window between the warning and the strike.
Not that it mattered, anyway. With the toxic black rain that comes after the initial strike and the residual radiation, I wondered if it really was better to perish under the mini-sun (the temperature of explosion was around 5000K, equivalent to the effective temperature of the sun).
It was unfathomable that US has no idea an A bomb will create massive devastation. So why go along with it? Here’s the lesson I learnt:
Men are petty.
Hiroshima was chosen because there was no PoW camp detaining Allied forces there. See, this is typical human. When I have no interest to be protected, might as well swing free. Just how many times we’ve seen conflicts/war/disaster in faraway lands and not moved even an inch to help? But come a conflict where someone we know lives there, and we raise hell.
Also, along the line of the declassified memo, I grasp that there was a pressure to use the atomic bomb against the enemy. Around that time, Japan was already on her knees. Even if the bomb had never been deployed, I believe we would’ve still seen her surrender. Germany had surrendered sometimes earlier, so, again, why bombing it still?
The answer was because Project Manhattan’s budget had ballooned to an astronomical scale. Had the war ended without its contribution, people who run the project would have been put under heavy scrutiny by the US congress. Which means that:
All that matter for men is to save their own asses.
Even further, the action was supported anyway, because the US wanted to limit Soviet’s influence on post-war reconstruction in Japan. At the time of the blow, Soviet had not been openly declared war with Japan, so their contribution to the result can be discounted. In other word, the whole thing is basically a
Battle of ego.
Sadly, I didn’t get very clearly why Nagasaki also got bombed several days later. But suffice it to say that I will need a huge leap of faith to believe in altruism ever again.
The saddest part is that from that time on, the mayor of Hiroshima always send a letter of appeal to countries conducting nuclear weapon test each time a test is conducted. They have a huge wall filled with the copy of all the letters sent. Impassionate, rational pleas. All but fall to deaf ears.
From that point on, every time I’m in a debate and got the side arguing for nuclear weapon, it feels like a little part of something dies within me.
Which if you happen to read my Tokyo chronicles, it really is my luck, no?
Monday, May 24, 2010
Bahasa, Language, 言語, Basa
Belajar bahasa baru adalah belajar melatih kesabaran. It teaches you humility, throws you back to the simplest of sentences. Ora gampang, tapi yen wis ngerti bakal iso pamer. 英語とインドネシア語と日本語とジャワ語。
01
Do I read a lot? Not enough, I think. Because what I read mostly are (young adults) fiction. I can't flaunt that I've read Marx or some influential bigwig biographies. Meanwhile, Jeff Lindsay's Dexter thoroughly entertained me.
I was bored out of my mind reading Stiglitz's Globalization and Its Discontent. I never finished Abraham. Dawkins' The God Delusion? Halfway. I have no curiosity to read Mein Kampf. I steer away from self-help books. Partly because I think "Who Moved My Cheese?" was a miss. That much money, for a 5-minute worth of reading.
And for some reason, I remember the last of YLI workshop series that I attended. There were six or seven persons in a table, and each table was given a book. We're supposed to negotiate among ourselves who got the book. I don't even remember the title, My Brother's Honeymoon? Honeymoon with My Sister? I don't remember who got the book, but it was a girl.
And suddenly a sliver of regret come across my mind. It must have been a good book, seeing that the facilitators went to the trouble of picking out the book. Did I miss an opportunity? Why did I refused it flat-out in the beginning?
Oh, what-ifs, life wouldn't be complete without you, would it?
02
Waktu Ega menulis tentang merasa tersinggung, saya terusik. Penasaran, kalau saya ada di posisi dia apa saya juga akan tersinggung. Sayang dia tak mau cerita.
Eh tapi ada yang marah dibilang "udah item, hidup lagi". Sampai-sampai si empunya kata diskors tiga semester. Kalau yang biasa ditujukan ke saya sih, kata sifatnya ditambah satu lagi: gendut. Tapi kok saya nggak berasa pengen gorok orang ya?
Sempat juga Luna Maya kelepasan bicara--maaf, twit--menyamakan wartawan dengan profesi tertua di dunia. Heboh tak terkira.
Lalu ada juga orang yang mengumpat, "Dasar homok!". Pakai "k", biar mantep. Kalau kebetulan yang diumpat orientasi seksualnya memang ke sesama jenis, tersinggungkah dia? (atas umpatannya, bukan huruf "k" nya).
Di SEF, kata-kata macam "Cino!" atau "Padang!" atau bahkan "Jawa!" dulu sering saya dengar. Kadang-kadang juga ditujukan ke saya. Tersinggung? Ngga.
Ada yang bikin gambar-gambar Nabi Muhammad. Saya lihat, tapi kok reaksi saya cuma bisa membatin kalau gambarnya jelek-jelek dan kasar ya?
Tampaknya jelas kalau batasan saya bukan batasan normal. Tapi lalu harus ditarik di manakah garis batas itu?
03*
ゴールデンウィークに私は友達と東京へディベートの大会に行きました。
京都から東京までハイウエーバスで行きました。その大会は東京のICUが催しました。そこには200人ぐらいがいました。そして、とてもにぎやかでした。私たちのチームはクオーターファイナルのラウンドでわせだ大学に負けました。
3日間後に新幹線で帰りました。次の日は先生のホームパーティに行きました。天気が良かったから、バーベキューをしました。
ゴールデンウィークは忙しかったですが、とてもおもしろかったです。
04
Saumpama paribasan "witing tresna jalaran saka kulina" kuwi pancèn bener, kudunè saiki aku wis bener-bener seneng karo astronomi.
Tekan saiki, yen diitung, ameh enem tahun sinau astronomi: setaun ing pelatihan lomba olimpiade, petang tahun kuliah, lan ameh setaun ing Jepang.
Tapi pancèn dasarè menungsa mesthi ana wae sing ra kebeneran, seprana-seprene ing jepang isanè sambatan kepengen bali.
--------
*Sebenarnya si turnamen itu bukan pas Golden Week sih, tapi karena pas GW sebenarnya saya ngerem di kamar untuk mengerjakan terjemahan, rasanya ngga pas buat dikumpulin di kelas Elementary Writing. Yes, it's a copy of my assignment.
Thursday, May 20, 2010
Commonplace congratulation
What to do when congratulations become quotidien?
What to do when I need a congratulation that's more than the ordinary?
Whatever that is, I am proud I was--and I hope still am--a part of Student English Forum Institut Teknologi Bandung, Champion of ALSA UI E-competition 2010, EFL League of United Asian Debating Championship 2010, National Debating Competition Unpad 2010, Indonesian Varsities English Debate 2010. I raise my proverbial glass for them. And wishing them all the best of luck for JOVED and NUEDC!
Actually, proud is an understatement for this warm fuzzy feeling I got when I heard the news. Or was it too much weird concoction that tried to pass as sambel the night before?
What to do when I need a congratulation that's more than the ordinary?
Whatever that is, I am proud I was--and I hope still am--a part of Student English Forum Institut Teknologi Bandung, Champion of ALSA UI E-competition 2010, EFL League of United Asian Debating Championship 2010, National Debating Competition Unpad 2010, Indonesian Varsities English Debate 2010. I raise my proverbial glass for them. And wishing them all the best of luck for JOVED and NUEDC!
Actually, proud is an understatement for this warm fuzzy feeling I got when I heard the news. Or was it too much weird concoction that tried to pass as sambel the night before?
Sunday, May 2, 2010
Tentang Memenggal Nama
Normalnya, orang Indonesia punya nama 2-4 kata. Kalau ada yang namanya 5 atau 6 bagian, berarti orang tuanya kreatif atau bener-bener niat ikut program KB. Kalau mereka rencana punya anak banyak, namanya bisa dibagi buat beberapa anak tuh.
Nama saya terdiri dari 3 bagian. Dan tahukah Anda bahwa kata Masyhur adalah salah satu lema dalam KBBI?
Omong-omong lagi tentang nama di Indonesia, apakah Anda pernah memperhatikan kalau semua nama panggilan pasti ada versi suku kata tunggal-nya untuk memanggil dan menyapa? Misal ada teman Anda namanya Joko, pasti kalau manggil jadi "Jok, Jok, beliin cendol dong." atau kalau nama teman Anda Endang, jadi "Ndang! Buang kucing itu!"
You get the idea.
Trus kalau Masyhur? Pemenggalannya yang benar ya Masy-hur. Tapi cuma ada dua orang yang mengikuti kaidah ini: teman saya Tomo yang manggil Masy (atau Mash ya?), dan Toto yang manggil "Hur, Hur."
Sisanya? Ada tiga kategori:
- yang pemenggalannya ga sesuai tapi ngejanya bener: "Syhur, Syhur" di kategori ini ada misalnya, Ria.
- yang manggil saya mas, bisa karena saya lebih tua, atau ngikutin nama panggilan saya di rumah: Mamas. Yah, orang-orang rumah yang ga ada darah Sunda mana tahu kalau saya akhirnya kuliah di Bandung? Omong-omong, kalau Anda belum tahu, ‘mamas’ di bahasa Sunda digunakan untuk menyebut penis. So there.
- orang yang salah eja, dan manggil saya dengan jadi either 'masur', 'mansyur', ato 'mansur'. Golongan ketiga ini mayoritas adanya. *hela nafas* Versi satu suku katanya: "sur"
Ada lagi golongan pencilan: adik saya, yang manggil saya "le" *rolling eyes*
Karena saking seringnya dipanggil orang-orang golongan ketiga, lama-lama jadi kebiasaan juga. Kalau saya dipanggil oleh Tomo atau Toto suka nggak nyaut. Masalah kebiasaan saja Awal-awal di sini, karena memperkenalkan diri pakai nama ‘Hilmy’ (kalau Farah bilang: Hirumii), suka ngga nyaut juga.
Yang saya heran adalah nama Aziz. Populer, tapi entah kenapa sering salah dieja juga, jadi ‘azis’. Atau, lebih parah lagi, ‘ajis’. Yang cuma beda satu huruf dengan najis. Tapinya, ‘aziz’ dieja dengan katakana, jadinya a-ji-zu. Ya sudahlah ya.
Kontradiktif memang: orang-orang tua ingin memberi nama-nama keren, tapi masyarakat belum siap menerimanya *ditoyor*. Paling tidak sisi positifnya adalah: orang-orang seperti saya akan menjadi banyak dan bisa bersimpati satu sama lain! Anyone with me for TALIMAS/komuniTAs pemiLIk naMA Susah? :P
--------------------------------------------------------------
Kalau saya ditanya pengennya dipanggil kayak gimana, saya paling suka opsi satu. Boleh kok kalau bener ngejanya trus pamer/ngeluh dikit ke saya, kayak misalnya sms "Syhur (buset panjang bener sih manggil lu biar bener ngejanya), dateng latihan jam 3 ya." Yah, kayak Norman atau Aino gitu.
The tweet here inspired this post.
Also related: apalah artinya sebuah nama! more spelling and names? cerita sebuah bon. (actually, banyak bon)
Subscribe to:
Posts (Atom)