Tuesday, December 24, 2013

Soft Words for Tears

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/soft-words-for-tears

As if it's a badge of honor, I thought.

It was Tuesday morning, and I was a little distraught that no one actually came to pick me up from Masungkang. So instead of teaching there, I came to school anyway, and I was greeted by the children, "Pak tidak ke Masungkang?"

I evaded the question, heading straight to the teachers' room. And found myself face-to-face with Pak Nurhuda, slated to teach English to the sixth and fourth graders that morning. Him and nobody else. No headmaster in sight, and the other teachers wouldn't arrive until a bit later.

So we ended up talking about how a good headmaster would've been present in the office at 7 am everyday, checking the teaching plans his teachers would've submitted him for authorization before they put that plans to life. He wouldn't have been content when his teachers reported to him that kid A or kid B has troubles, or had been making troubles. He'd call those kid to his office, and giving them counseling himself.

No, he would't have dished out corporal punishment, he'd nudge them with soft words that would go straight to the heart and make the kid weep without him needing to lay a finger.

I actually agree to everything he said, up to the corporal punishment bit. But I'm not so sure about the weeping kid part. The thing is, Pak Nurhuda spoke of it with such reverence that I could not help but sprinkle a couple grains of salt to what he said.

It's just that I've had my students wept, then surreptitiously wiped their eyes, and proceeded to openly weep for so many times this past year. All with nothing else but words. And it never fails to make me feel bad about myself.

And if you wondered whether these weepings were the result of their friends teases and pokes, these weren't. I was only considering the tears that I made them cry. All with nothing else but words.

If that ability is such a wonderful thing, then why, I ask, doesn't it feel wonderful?

So no, I don't prance around with those experience, as if it's a badge of honor.

If anything, when it happens, it made me wonder if I had been fit to teach them. If anything, they made me wonder if I had not been a failure.

There was a day when I made half of the girls in the third grade weep, after I made them recite from memory Sumpah Pemuda in turn. I made them do little else but recite them word for word. When they stumbled, or faltered, or forgot a word, I ask them to recite the whole pledge again. From the beginning.

After several tries, they were visibly frustrated, and so was I. Hadn't they been paying attention? Why did they keep on forgetting the words? It was five to one pm already and there are still students who couldn't recite the pledge. I was at my wit's end. I was this close to implode, and Apri's tantrum from beyond the fifth grade partition was not helping any matter.

I went home absolutely drained afterwards.

There was also this time when I made Rizki, Andrian and Ayu forwent recess because they hadn't done their math homework. The punishment was simple: they had to stay indoor and did 30 math problems like the ones they didn't do. They ended up working on the problem by my desk at the teachers' office, and I spotted once or twice Ayu and Rizki blinked and wiped their eyes to their sleeves, leaving streaks of tearstrain.

Recess ended, and I sent them back to the classroom. Ayu put her head on the desk the whole time, and Niluh, her desk mate told me that Ayu had been feeling unwell then.

There must have been a way for everything to go the way everyone said the ideal lesson: the lessons fun, the pupils understand, the teacher proud. All that while the kids are all able to actively take part in the activities, well behaved and aware of their duties and responsibilities. It hadn't been the condition of my classroom. It hasn't been.

Really, it has been a pandemonium every other day.

Because even in the days when I was in good humour, and the lessons were enjoyable, you can count on Murphy's law to predict that it had to be days when the children are unruliest. Fights, scuffles, and kerfuffles virtually guarantees that one of them will end up weeping, with the other sulking when I made him apologize to his friend.

Faced with incidents like these means that there are only three alternatives to take. One is succumbing to the insanity of the pandemonium. Two is detaching self from the students and letting one becomes an apathetic cynic. Three is constant re-evaluation.

Of the three, I believe only the latter alternative is worth considering, because I value my sanity (who doesn't?), and thus the first alternative can be scratched off. The second alternative is no course an educator worthy of the job in good conscience should even consider. Not only one becomes no longer fit to bear the title of an educator when one is apathetic toward one's students, but that very apathy is the undoing of the education itself.

So only alternative three remains: constant re-evaluation on our part. Of what works, of what doesn't to temper the children's tantrums, to scoot my class one inch closer to the ideal classroom. To educate them.

And to likewise learn from them in the process.

Saturday, December 21, 2013

Satu Mil Ekstra

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/satu-mil-ekstra

Kalau camp pelatihan pengajar muda ada di dunianya The Handmaid's Tale yang dikarang oleh Margaret Atwood, mungkin kami--yang dinilai kompeten untuk melakukan lebih dari yang disyaratkan--akan menerjemahkan frasa "go the extra mile" secara harfiah dan menambah porsi lari pagi wajib menjadi 18 menit setiap hari.

Tapi tentu saja kalau melihat teman-teman yang bergerak digelayuti kantuk tiap pagi buta, gamblang dan nyata kami tidak hidup di keseragaman distopia. Untungnya.

Dengan lima puluh dua kepribadian berbeda, tentu akhirnya kompetensi itu muncul dalam puluhan bentuk yang berbeda. Paling jelas mungkin ketika malam seni: saya bersyukur tampil pertama, jadi tidak terlalu kelihatan bahwa kelompok PM Banggai bakat eksibisi artistiknya minim, tidak terlalu kelihatan juga kalau kami (saya) pilih menyimpan energi untuk satu mil ekstra ini.

Saya jelas lebih pilih memunculkannya di tempat-tempat yang saya suka, seperti meresensi buku Keberanian Mengajar. Bukan karena ini buku yang menggetarkan cakrawala, bukan juga agar saya bisa mengintimidasi Ika, pasangan saya untuk tugas resensi ini (walaupun harus diakui ini adalah efek samping yang menyenangkan), dan bukan juga agar post-it notes yang saya beli terpakai (maklum, jauh euy belinya, di Bandung). Lebih karena saya merasa terganggu dengan versi terjemahannya yang buruk, dan membedah kelemahan-kelemahan logis buku itu lewat catatan lebih menyenangkan.

Sama menyenangkannya dengan mencari tahu asal usul mengapa alfabet kita saat ini berbentuk seperti yang kita tahu. Mengapa huruf E besar disusun oleh satu garis vertikal dan tiga garis horizontal? Mengapa huruf-huruf yang lain bentuknya seperti itu?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika Bu Wei dan banyak narasumber lainnya, termasuk alumni-alumni PM menceritakan bahwa kami mungkin akan menghadapi tantangan mengajarkan calistung bahkan kalaupun kami mengajar kelas tinggi.

Mungkin lingkung proyeksi diri saya terlalu kuat, saya bayangkan saya saat ini diajari alfabet baru, saya pasti akan bertanya, mengapa bentuknya seperti itu? Jadilah saya membayangkan calon-calon murid saya akan bertanya seperti itu, dan kalang kabutlah saya mencari jawabannya di akhir minggu ketika akses internet dibuka.

Nyatanya, di sini saya memang bertemu dengan tantangan seperti itu, tapi minus pertanyaan asal mula bentuk alfabet. Biar begitu, saya tidak merasa rugi meluangkan waktu mencari tahu, karena saya jadi belajar bagaimana hieroglyph dari Mesir dibawa oleh orang Sumer dan Phoenicia hingga menjadi alfabet seperti yang kita kenal saat ini.

Saya tersadar lagi tentang memberi lebih ketika dini hari saya baru beranjak tidur di Sinorang, usai merancang pelatihan guru di kecamatan Moilong untuk lusanya. Harus diakui, menyenangkan sekali dipaksa memutar otak (dan tidak ketemu jawabannya) bagaimana menumbuhkan motivasi belajar untuk pengajar. Berawal dari keinginan berbagi materi kecerdasan majemuk, yang lalu bisa dikaitkan dengan juga dengan cara guru mengajar kreatif. Saya yang tidak cerdas musik sama sekali merasa lebih nyaman memperkaya pengajaran dengan permainan kata-kata; bertolak belakang dengan Mbak Yanti yang disleksianya jadi bulan-bulanan canda kami, tapi gemar mengajarkan dan membuat lagu-lagu pelajaran. Kami pikir, ketika guru tidak suka dengan materi yang diajarkan, akan besar kecenderungannya untuk sekedar melepas siswa mereka di ranah imla, salin buku sampai habis dengan keterlibatan minimum. Anak bosan, guru merasa kewajibannya tergugurkan, tidak ada yang paham.

Maka pertanyaan hipotetis yang muncul malam itu sederhana, bagaimana kalau salah satu hadirin guru cerdas itu bertanya, "Saya guru honorer, saya tidak mampu mengajar [sebut mata pelajaran], berarti menurut teori itu saya boleh cuci tangan dari mata pelajaran itu? Saya toh bakatnya bukan di situ."

Hingga malam usai, kami tak menemukan formula jawaban yang pas. Usulan-usulan jawaban saya dimentahkan Yanti dengan "Terlalu normatif." Usulan dia saya mentahkan dengan, "Apa bedanya sama usulanku tadi? Ya memang itu occupational hazard jadi guru." Ika cuma mencoba menengahi, "Ya itu cara lain bilangnya sih Mas," katanya sambil garuk-garuk kepala (yang sepertinya gatal betulan).

Di hari-H, pertanyaan hipotetis itu tidak terlontar, dan guru-guru nampak tetap antusias mengikuti sesi-sesi berikutnya.

Bisa jadi malam itu kami adu pikir sia-sia, tapi ketika saya menceritakan pada Pak Nurhuda, iapun sepakat bahwa yang terpenting adalah menumbuhkan motivasi, tentu dengan disisipi dogma bahwa akhiratlah preferensi utama. Bukan sia-sia, pikir saya, hanya satu mil ekstra.

Satu mil ekstra, tajuk wicara di H-14 akhir dari 14 bulan penugasan.

Thursday, December 5, 2013

Gelap Terang Lentera

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/gelap-terang-lentera



Ika menatapku aneh ketika aku bertanya-tanya padanya detail pertanyaan yang diajukan seorang ibu kepala sekolah di Luwuk. "Ngapain kamu tanya-tanya, Syhur?"

"Mau aku jadikan Tajuk Rencana buletin kita," jawabku enteng.

"Seriusan kamu?"

---

Saat itu, kami sedang diburu waktu untuk menyelesaikan buletin, karena sementara kami bekerja, perkemahan di Lembah Sehu Salodik sudah berjalan dua hari. Kami berencana untuk pasang badan mengiklankan diri di persami tersebut karena di acara seperti inilah berkumpul banyak siswa dan guru dari seluruh kecamatan di Kabupaten Banggai. Kalau tahun lalu, kami hanya mengenalkan Indonesia Mengajar secara lisan, tahun ini kami ingin memperdalam perkenalan tersebut: dengan kegiatan bermanfaat dan material-material fisik. Satu kardus print-out website Anak Bertanya Pakar Menjawab dan Ruang Belajar kami siapkan. Termasuk di antaranya adalah membagikan buletin buatan kami sendiri.

Sayangnya, kiriman paket dari FGIM belum sampai di Banggai waktu itu. Jadilah sebelum berangkat ke bumi perkemahan, Auliya dan Ika sibuk membuat Badan si Badun, telepon tali gelas bekas, dan memotong-motong kartu angka untuk permainan perkalian.

---

Awalnya kami hampir tidak membuat edisi kedua Lentera untuk Persami Salodik, apalagi ketika kami membuat edisi pertama Juli yang lalu, guru PAI di sekolah saya berkomentar, "Ini terlalu banyak tulisannya Pak. Orang sini tidak suka baca yang begini. Tidak berwarna lagi."

Saya tersenyum kecut.

Hanya saja, satu bulan sebelum Persami, Mbak Yanti sukses membuat semangat kami terlecut ketika ia bercerita bahwa seorang pengawas di kecamatannya memuji metafora yang ada blurb buku Catatan Kecil Pengajar Muda yang saya taruh di halaman terakhir buletin saya yang lalu. Ia setuju bahwa pengajar adalah petani peradaban.

Wah mereka baca buletin kami! Ayo kita bikin lagi!

---

Mulailah hari-hari penuh teror itu berjalan: menagih tulisan dari Luqman, Yanti dan Lilli. Membabat tulisan mereka dari kisaran ribuan kata agar muat di halaman-halaman A5. Mengabaikan ratapan pedih* mereka, "Aku ga bisa baca hasil editanmu, Syhur. Yang aku masukin tentang Arya ini penting semua sebenernya," keluh Luqman.

"Trade-off, Man. Mana bisa sepanjang itu jadi dua halaman A5 sama foto. Kamu ngga ngasih foto lagi di tulisanmu."

Di akhir-akhir penyusunan, saya mempertimbangkan mengawali tajuk rencana dengan ucapan perpisahan. Tugas kami toh sudah memasuki masa bonus. Tapi keterikatan tema turun tangan oleh orang-orang di luar pendidikan terasa sayang untuk diabaikan. Ketika orang-orang yang bukan guru saja rela meluangkan waktu untuk mengajar di kegiatan Dikpora Mengajar, Hari Inspirasi dan meluangkan waktu untuk mendukung pengajaran seperti di FGIM, kami berdecak heran (dan sedikit geram dengan nadanya yang meremehkan) pada si ibu kepala sekolah merangkap wakil ketua PGRI yang mempertanyakan, mengapa IM menjaring lulusan non-pendidikan?

"Mbak dan mas ini background pendidikannya apa?"

"Ini salahnya pemerintah, PGSD saja belum tentu bisa ngajar, apalagi yang bukan dari pendidikan?"

"Oh, bukan pemerintah? Ini salahnya program anda, kenapa yang diangkat bukan pendidikan, yang dari pendidikan saja banyak?"

"Kami apresiasi ya mbak dan mas ini mau datang dari Jawa, tapi kenapa tidak diangkat yang dari Luwuk saja?"

---

Selesai menulis, aku perlihatkan tajuk rencana itu pada Ika untuk di-proofread dan diedit. Sontak terbahak-bahak dia membaca kalimat "Toh para siswa tak hendak bertanya asal diploma terakhir gurunya. Pun mereka takkan bertaklid buta meski melihat pemegang diploma dari Jepang dan Cina." Dia mendaulatku sebagai perwakilan PM untuk menyerahkan buletin kami ke si ibu jika nanti bertemu.

---

Ketika Persami akhirnya usai, kami tak juga bertemu dengan si ibu. Tapi kami pun hampir tidak ingat sama sekali tentangnya. Karena ternyata jauh lebih mudah mencari sumber energi positif di acara itu: riuh-rendah lomba yel-yel, belajar badero di tenda Kwarran Luwuk Timur, mengagumi rumah adat Kwarran Batui dan Batui Selatan, karnaval spektakuler semua Kwarran, dan menularkan semangat berkarya Arya pada peserta Persami lainnya. Senang rasanya ketika kami dibuat tercengang oleh siswi SMP dari kecamatan Balantak yang tahu penggunaan kata 'merongrong' yang baik, atau siswa SMAN 1 Luwuk yang bisa menjabarkan sekolah impiannya dalam gambar berkelas arsitek profesional. Menyenangkan mengagumi cita-cita siswa dari Nambo yang ingin menjadi pelukis batik.

Karena meski di akhir perkemahan badan sudah lemah, kata-kata ini terujar mudah: Indonesia punya masa depan cerah!

---

* Iya ini sengaja lebay.

Saturday, November 30, 2013

Jadi PM!

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/jadi-pm



Tahun lalu, teman-teman saya khawatir ketika tahu saya akan bergabung dengan IM. "Kamu kan takut sama anak-anak, Mas?" Iya sih, tapi yang waktu itu saya tidak sadari adalah anak-anak juga bisa takut sama saya, karena saya orang baru. Tapi nyatanya tidak sampai satu bulan saya bukan lagi Pengajar Menakutkan: yang ada saya digelayuti saja.

Ini yang bikin agak rikuh juga ketika saya diundang bertandang ke rumah PJS kepala desa. Saya diminta membantu urusan manipulasi grafis, tapi ketika di sana justru anak-anak tetap menggelayut. Walaupun sejujurnya, saya lebih pilih bermain dengan anak-anak daripada harus menjadi Pemalsu Muda, membuat tiruan kartu keluarga untuk warga yang tidak pernah menyempatkan diri mengurus KK di kota.

Wajar sih, karena jarak ke kota lumayan jauh. Untuk ke kecamatan saja perlu waktu satu jam naik motor. Masih untung kalau pas ke kecamatan, ada Pak Camat bisa ditemui di kantornya. Kalau tidak ya berarti buang uang bensin percuma. Menyebalkan memang, sementara kalau mau beli bensin di POM antriannya panjang. Dan kalau menuju POM sambil pakai rompi IM, ada banyak pengendara dengan rompi serupa di jalan, membuat kami sering disangka Pengojek Muda.

Kami memang tidak bisa berbuat apa-apa dengan rompi yang mirip tukang ojek atau pegawai survei BPS, tapi saya pribadi sempat berharap jadi PM berarti bisa menjadi Penjelajah Muda. Lumayan kan, kalau ternyata bisa singgah ke Togean.

Sayangnya, harapan itu tidak jadi kenyataan. Paling jauh kami baru sampai kecamatan Pagimana, Luwuk Timur, dan Toili. Nuhon batal disambangi, Bunta hanya dengar nama, daerah kepala burung, apalagi. Biar begitu, menjadi PM berarti tetap harus siap singgah dan menginap di banyak tempat. Sementara, volume tas terbatas berarti tak banyak baju ganti yang bisa dibawa. Ini sebabnya kenapa kami ke mana-mana siap sedia sabun cuci, agar bisa menjaga standar higienis baju yang dipakai. Putra-putri terbaik bangsa, menjadi Pencuci Muda.

Menjadi Pencuci Muda jelas bukan pekerjaan hina. Karena kalau bisa mencuci, itu berarti sedang ada air di Batui Lima. Dengan air berlimpah, hidup tak tersiksa. Tanpa air, untuk sekadar buang air saja seorang Pengajar Mules dari kota tak berdaya. Melas.

Selain mensyukuri air, saya bersyukur tidak mengalami apa yang harus dialami Ika: menjadi Pengusir Memedi yang merasuki muridnya. Tapi sebetulnya cocok sih bagi Ika, dari sejak microteaching di pelatihan saja dia suka makan-makan bunga.

Di sini, saya cuma kadang pening terlalu lama melihat layar komputer. Pening ini datangnya periodis: sekitar waktu ujian semester, akreditasi sekolah, dan supervisi. Karena itu adalah waktunya menjadi Pengetik Muda, berjibaku dengan layar dan pencetak, mengubah tulisan tangan guru-guru menjadi ketikan soal yang bisa dibagikan ke murid satu-satu.

Padahal, sementara mengetik, saya juga harus berjaga-jaga menghalau anak-anak yang siap merubung setiap saya membuka laptop. Demi kerahasiaan ujian, jelas mereka tidak bisa dibiarkan mendekat ketika saya mengetik. Pilihannya lalu ada dua: menunggu guru-guru lain menjadi Pengajar Murka yang menghardik mereka, atau mengalihkan perhatian mereka.

Sejauh ini, paling mudah mengalihkan perhatian dengan teknologi serupa: kamera saku. Dengan anak-anak yang tidak malu-malu, mereka bisa dibujuk tenang dengan iming-iming bisa meminjam kameraku. Tidak banyaknya orang yang punya kamera di desa membuat saya rentan mencolok sebagai Potografer Muda.

Meski begitu, jadi PM itu lebih dari sekadar menjadi Pengajar Muda. Pengajar Menakutkan. Pemalsu Muda. Pengojek Muda. Pencuci Muda. Pengajar Mules. Pengajar Melas. Pengetik Muda. Pengusir Memedi. Pengajar Murka. Rentetan titel itu mungkin akan saya dapat kalaupun saya tidak jadi Pengajar Muda. Disangka ojek. Jadi tukang ketik. Merana mules. Tapi ketika cerita ini terjadi selama perjalanan satu tahun terakhir, cerita ini menjadi Pengalaman, dengan P besar.

Karena jadi PM itu Pergi Mengalami.

Wednesday, November 27, 2013

Haram Jadah Bahasa Jawa

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/haram-jadah-bahasa-jawa

Tahun lalu, ketika diumumkan bahwa saya akan bertugas setahun di daerah transmigrasi yang banyak orang Jawanya, saya bersyukur dan menyesal. Bersyukur dengan asumsi rintangan saya berkurang satu: kendala bahasa. Menyesal karena dua alasan: 1. Bahasa Jawa saya acakadut, saya tidak bisa berbahasa krama inggil, dan 2. asumsi bahwa kuosien kekerenan saya pasti tidak setinggi Luqman yang ditempatkan di daerah Bajo, atau Lilli di daerah Saluan.

Yang jelas, sejak saat itu program Kamus Bahasa Banggai yang saya unduh minggu sebelumnya jadi terlupakan. Dan ternyata memang meski daerah ini memiliki nama kabupaten Banggai, untuk mencari orang yang bercakap-cakap dengan Bahasa Banggai kita harus menyeberangi Selat Peleng dulu ke Pulau Banggai di Kabupaten Banggai Laut atau ke Pulau Peleng di Kabupaten Banggai Kepulauan.

Di daerah dengan banyak orang Jawa, saya berasumsi kalaupun bahasa Jawa saya membuat orang mengernyit, saya masih bisa mendengarkan warga bercakap-cakap. Betul ternyata, mendengarkan itu gampang. Mengerti apa yang mereka percakapkan, itu lain soal.

Bahasa Jawa yang mereka pakai kok macam haram jadah dari Bahasa Jawa yang saya tahu selama belasan tahun saya hidup di tanah Jawa? Tersembunyi, hidup di tanah pengasingan dari saudara-saudaranya.

"Mesakke, Pak Fulan ket mau ngluru bensin," ujar Ibu. Kasian, Pak Fulan dari tadi ngluru bensin. Apa itu ngluru? Ngelu? Bensinnya meluruh? Atau dibuat tidur (turu)?

"Iki lho, sayure isih mberah," kata ibu kandungnya Pak Kepsek. Ini lho, sayurnya masih mberah. Apa itu mberah? Sayur apa yang masih mau diperah? Atau itu keluhan sayurnya masih berwarna merah? Tapi kami sedang makan sayur popoki (terong) yang hijau sih sebetulnya.

Dengan makna ucapan yang jelas berbeda, kedekatan ujaran mereka dengan kata Bahasa Jawa yang saya tahu membuat saya hanya mengangguk-angguk sopan.

Dengan mereka, saya tak bisa bertanya macam dengan murid saya. Ketika kali pertama bertemu murid saya, mereka bilang, "Pak, nanti sore torang boleh bales?" saya yang kebingungan balik bertanya "Apanya yang dibales?" "Ba-les, Pak," "Apa itu?" "Belajar sore Pak," "Ooooo."

Dengan ibu kandungnya pak Kepsek, aneh dan sungkan rasanya kalau saya harus bertanya, "Mberah niku nopo to Mbah?"

Nanti dia makin terpingkal-pingkal. Macam ketika dia tahu bahwa saya berdarah Jawa. "Oaalaaah, lha gene wong Jowo." Ternyata orang Jawa, dia bilang. Dan makin bertekadlah dia untuk membuatku bisa berbahasa Jawa dengan sesuai dengan pakem Jawanya. Ketika dia bisa sukses membuat menantunya yang orang Lombok untuk berbahasa Jawa sehari-hari, jelas menurutnya kecil saja untuk mengubahku menjadi Jawa fasih.

Menurutku, bisa jadi ini adalah varian bahasa Jawa bagian utara yang benar-benar asing bagi saya. Keluarga kepala sekolah saya dan orang-orang sekitarnya berasal dari Jepara, Jawa Tengah bagian utara. Bagi saya yang berasal dari Klaten di bagian selatan yang hampir tak pernah menginjak Semarang dan sekitarnya, saya hanya tahu kalau budhe saya yang tinggal di Semarang memanggil sepupu laki-laki saya dengan panggilan "Nang". Padahal namanya Bagus.

Ketika di sini hampir semua orang memanggil anak laki-lakinya dengan sebutan serupa, saya coba simpulkan bahwa ini adalah Jawa variasi utara.

Haram jadahnya bahasa Jawa ini makin sulit ditebak larinya ketika dia kawin-mawin dengan bahasa Manado pasar. Jadilah ia bahasa Jawa yang lari dikuntit partikel "te". "Sudah kamu matikan, te?" "Iya, te?"

Aku pikir aku sudah tidak akan bertemu partikel "mo" setelah kabur dari Jepang ke Sulawesi. Tidak terbayang juga aku akan bergelut dengan partikel "te" ketika aku tidak berada di Bandung. Bahasa teh memang rumit.

Sunday, November 24, 2013

Watching, Talking, Changing

Talking to Ria is hard.

And I'm not just referring to the obvious logistical necessities.

You see, I don't really have signal reception in my village so the number of outgoing phone calls I've made during the year from Batui V can be counted off with a single hand. Add that to my preexisting inclination to avoid phone calls and the reason become obviously evident.

I wished that my time in places awash with cell signal were freer; that I'd have more time to connect with friends. Alas, that isn't the case with me having to spend three months trying to get in touch with my sister. I guess I'd have better luck trying to get through to the President of Burkina Faso than to her. The thing is, after the fifteenth failed call or so, I'm drained off the energy to place another call to other person, be they friends or family. So forging connections fell to the wayside.

On the other hand, though, it's not like Ria—or any PM, really—have abundant free time. If we're not being busybodies in our local Dinas Dikpora, then chances are we'll be made busy by our students. If only for a trip to the river or jungle. On the odd times that I get through, my call would come at an inopportune time.

Yet those aren't what make things hard. Because despite the absence of calls, the smattering of messages from her often give me pause.

One of the noteworthy one was when I messaged her, telling that we'd had hoots of laughter watching her episode of Lentera Indonesia. For me, it was the first episode that I watched in entirety with friends where we can miss the key messages to make juvenile remarks on the episode.

"Wah ada colokan listriknya!" I exclaimed.

"Waduh, waduh, duduk di meja," said Auliya.

"Product placement!" Yanti pointed out.

And of course, the obligatory, "Ebeeeeeh, iklan sampoo!"



When I told all that to her, though, she quipped a question that made me felt bad, "Emang episodeku sejelek itu ya?"

And so I learned a lesson how bullying could start innocuously. (Though admittedly, the notion of bullying Ria is rather.... uninstinctive. If anything, we're the ones who felt we'd shrunk under her glare.)

In retrospect, maybe our response was really provoked from nostalgia. That was really what it was like watching her when we were at the training camp together. Her mannerism was translated well. Down to her glares.

Has it really been a year since the 52 of us waved goodbyes?

Watching how at ease she was before a camera, we can only envy her. Watching how orderly her class was, *I* wished I could get my students to be as well behaved.

And then Luqman's episode was aired. Minus Lilli, all five of us sat in Wisma Radja to watch his episode. Afterwards, unaware that for other PMs the novelty of watching our friends on TV might've worn off, I sent shout outs to the group, clamoring Hey, look, temen gw masuk TV!

To which Ria quipped that didn't I consider the other PMs who've been covered my friends, too?

Touché.

It was only then that I thought to myself, the list of PM V who have been covered by Lentera Indonesia has grown long, isn't it? And I know these people! It will never cease to amaze me that I have the privilege of calling them my friends.

Movers. Shakers. Doers.

Four years ago, I am comfortable calling myself a cynic. Today, they have helped change that. Thank you, guys.

Saturday, November 23, 2013

Bahasa Baku di Jalan Berabu

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/bahasa-baku-di-jalan-berabu



"Pai, kamari!" panggilku.

"Hihi, Pak Guru so macam orang sini, bapanggilnya kamari, bukan kemari," kata Pai setelah dia mendekat untuk melihat hasil kerja dia yang aku koreksi.

Percakapan ini terjadi beberapa bulan yang lalu. Waktu itu, aku tidak sadar kalau kosakataku mulai berubah ketika berhadapan dengan orang lokal dan anak-anak di sini. Kini, hampir selesai masa tugas kami, tetap banyak kata-kata yang tidak aku mengerti. Apalagi kalau dorang sudah mulai bicara Bahasa Saluan. Saya tinggal angguk-angguk sopan.

Masa-masa akhir penugasan ini mengingatkan aku pada masa-masa sebelum aku pulang ke Indonesia. Saat itu, ketika ditanya apa rencanaku sepulang ke tanah air, aku biasa menjawab aku akan berjalan-jalan berkeliling Indonesia. Alasannya, kalau berjalan-jalan di Jepang ada kendala bahasa yang menjadi penghalang komunikasi, sementara di Indonesia aku bisa lebih mudah dimengerti. Paling tidak itu asumsiku.

Nyatanya, aku bingung juga mendapati orang-orang Makassar menambahkan partikel "mi" di kalimat-kalimat mereka. Orang Manado menambahkan "jo". Kudengar juga partikel "ji" di sana-sini. Dan aku pikir aku sudah bebas dari partikel-partikel asing yang bertebaran di Bahasa Jepang ketika pulang.

Di Kabupaten Banggai, kudapati kalimat-kalimat warga di sini banyak di akhiri dengan partikel "mo"; mulai dari "Pulang mo," "Makan mo," "Mandi mo dulu," sampai yang paling sering: "Biar mo." Atau kalau dengan Bahasa Saluan, "Pojohok mo."

Gembira rasanya ketika di akhir bulan ketiga aku mengobrol dengan Ika dan kami bisa merumuskan arti terdekat partikel mo ini: sama dengan akhiran -lah, atau saja. "Pulang saja," "Makan saja," "Mandilah dulu," dan "Biar saja."

Sayangnya rasa gembira itu tidak bertahan lama, karena lalu aku sadar ada bahasa lain yang belum aku pahami: bahasa baku.

Kalau di Jawa kita hanya menggunakan kata baku di artikel koran dan cuplikan berita (baku hantam, baku pukul), di sini kata baku adalah bahasa sehari-hari. "Iya, kitorang pe rumah baku hadap sama itu Ibu pe rumah." "Oh, Pak ada baku kenal juga sama Si Fulan?" "Sa kamarin ada baku bantu kasih berdiri rumah tetangga dulu Pak, makanya sa te pigi sekolah,"

Sempat terpikir kata baku ini padanannya kata saling. Tapi lalu di hari Sabtu aku dengar Pak Rusman guru kelas VI berseru pada anak-anak yang bekerja bakti, "Bekerja jangan baku rapat begitu!" Baku rapat jelas tidak bisa dipadankan dengan saling rapat. Terlalu rapat? Tapi baku bantu tidak bisa dipadankan dengan terlalu bantu.

Tapi mungkin tidak perlu juga mencari padanan katanya kalau memang tidak berterima. Toh sejauh ini saya bisa membuat saya dimengerti bahkan hanya dengan memendekkan kata-kata lazim: saya menjadi sa, ngana menjadi nga, punya menjadi pe, tidak menjadi te; menggunakan varian lokal yang lazim untuk kata-kata tertentu: ~nya menjadi de pe ~, kami dan kita menjadi kitorang, serta dia/mereka menjadi dorang. Saya juga mulai membiasakan diri menghindari penggunaan kata kita, karena nampaknya kata ini justru berarti kamu di sini. Aneh sekali rasanya ditanya, "Mau kamana kita?" oleh orang yang jelas-jelas tidak satu perjalanan dengan kita, eh, saya. Beapa nga batanya, nga mau ikot?

Kembali ke kata kamari, saya juga tidak mengerti apakah ada pakem perubahan vokal di kata-kata sehari-hari. Saya tidak mengerti kenapa pecah dibilang picah, besar dibilang basar, dan gelap dibilang galap, tapi kemah tidak dibilang kamah atau kimah.

Sementara itu, saya hanya bisa menerima kontekstualisasi kata-kata yang jelas tidak memiliki arti serupa di Jawa. Orang Jawa dan Sunda setau saya tidak bilang anak buah untuk menyebut anak (keturunan), yang sempat membuat saya kebingungan karena kok aneh sekali guru PJOK di sekolah saya punya pegawai dua ketika dia bercerita bahwa anak buahnya ada dua. Tidak juga ada orang bilang rabu-rabu, dabu-dabu, atau jalan yang berabu di sana. Kecuali memang kalau Gunung Merapi meletus lagi, barulah jalan berabu habis hujan abu. Selain itu, jalan hanya berdebu.

Dabu-dabu enaknya adalah teman makan pisang. Bikin rabu-rabu, jadi. Apalagi kalau digoreng pagi-pagi, nikmat habis merasakan mi paling enak: minyohat*!

----

*minyohat = mengolet, menggeliat

Sunday, November 3, 2013

Harapan dan Kebanggaan

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/harapan-dan-kebanggaan



Saya senang Pak Kepala Sekolah menerima usul saya untuk mengumumkan peringkat hasil semifinal Olimpiade Sains Kuark (OSK) yang lalu di hadapan semua siswa ketika apel diadakan. Saya senang apelnya diadakan ketika bapak-bapak dari Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Banggai datang berkunjung ke SDN Trans Batui 5 untuk acara Dinas Dikpora Mengajar 2013.

Karena di situ saya bisa dengan bangga mengumumkan bahwa I Putu Yoga Tunas Sugitha, murid kelas 6 kami, berhasil meraih peringkat 1 se-Kabupaten Banggai pada semifinal OSK level 3 bulan April lalu. Saya lalu minta sertifikat hasil tersebut diserahkan ke Yoga oleh Pak Tasman dari Dinas Dikpora. Rasanya segala jerih payah saya yang lalu pupus dihapus kegembiraan dan kebanggan atas harapan yang menjadi nyata. Ketika Yoga lolos ke semifinal di urutan ke-3 se-kabupaten di babak penyisihan, saya berharap sekali ia bisa mendapat hasil yang baik. Memang ia belum berhasil menembus babak final, tapi hasil peringkat 1 se-kabupaten ini adalah hadiah hiburan yang amat berharga. Saya hanya menyesal tidak bisa memberitahu langsung hasil gembira ini kepada ibunya. Ibu Yoga adalah orang tua yang sangat suportif meski ia sedikit protektif. Ia juga sering datang ke rumah saya untuk menjemput Yoga ketika Yoga belajar malam hingga agak larut, jam delapan lewat. Saya tidak bisa memberi tahu langsung selain karena Ibu Yoga bekerja di perkebunan kelapa sawit hingga sekitar pukul dua, saya juga harus ikut kepala sekolah saya untuk ikut mengiringi rombongan Dinas Dikpora yang hendak singgah di rumah kepsek sebelum mereka kembali ke Luwuk.

Usai rangkaian acara selesai, saya dan Auliya--yang tinggal bersama kepsek saya--berkemas-kemas untuk turun gunung ke Luwuk. Auliya hanya minta kami singgah di rumah orang tua Anisa, murid SD Inp. Ondo-ondolu SPC, yang juga mendapatkan penghargaan peringkat 3 level 2 se-kabupaten Banggai untuk menyampaikan langsung berita tersebut.

Ketika kami bertemu dengan Ibu Anisa di rumah kepala desa, Auliya lalu mengangsurkan sertifikat yang telah dibingkai cantik ke dia sembari memberitahu tentang hasilnya. Sontak Ibu Anisa mengucap, "Alhamdulillah," sembari mengelap sudut-sudut matanya.

Saya bersyukur saya tidak ikut menangis juga, tapi saya ikut terharu. Saya bersyukur bisa menyaksikan ini. Saya berpikir, kalau sebagai guru saja saya bisa menandak-nandak kegirangan mendengar prestasi yang diraih murid, apalagi orang tua murid-murid kami ini. Meskipun tentu saja ekspresi mereka bukan dengan melompat kegirangan, tapi saya bisa merasakan perasaan mereka yang meluap-luap juga.

These are the moments we live for. These are the moments to savor.

These moments touched me in a nostalgic way because in a way, I can see my past self in Anisa and Yoga. I can easily imagine Anisa's mother was my own mother too, when she was told that I made it to be our Kecamatan's representative in Kabupaten-wide math contest for 5th graders. And again when I showed her my trophy after I won the runner-up prize in kabupaten.

The nostalgia came too easily.

After Anisa's mother ruffled her hair and in cracked voice told her, "Terus semangat belajar ya Nak," she told Auliya how Anisa prefers to spend her recess time in library, reading. "Kowe ra pengen dolanan to nduk, moco terus," I mentally compared her to my 10-year old self. She was, of course, more fortunate with an abundant selection in her school's library. Unlike mine.

I can vividly recall how Yoga's mom recounted to me numerous times when she was picking her son that, "Sa sering suruh Yoga ini istirahat, Pak Guru, jangan terlalu banyak bebaca juga; nanti rusak de pe mata." I was effortlessly transported to my 13-year old self, lurking under the shadows in my room to ensure that I could finish the two new Harry Potter books I just got that day without any interruption.

Spending a year here, we are often touted as proofs that our mothers still bear fighters. That the lineage didn't stop with Bung Karno and Bung Hatta, but it lives on. Yet here I see that these Yogas and Anisas of Indonesia are the real evidence of that claim, not us. Most of us PM are privileged enough to have access to quality education; not these kids. They are the fighters of our future.

It's our task to ensure that the odds are forever in their favor.

Saturday, October 26, 2013

Di Balik Layar

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/di-balik-layar



Tahukah kamu apa saja resepnya untuk membuat tulisan seperti Belajar Mencintai Indonesia?

Yang pertama, siapkanlah notebook yang baterainya penuh. Yang kedua, waktu dan tempat. Terakhir, anak-anak.

Tambahkan pula kesabaran dalam dosis tinggi untuk melakukannya di SDN Trans Batui 5. Karena di balik setiap cerita seperti di atas, ada banyak respon yang seperti ini:

"Pak, panas pak!" seru Riski.

"Pak Guru, haus Pak!" ujar Libra.

"Pak, saya di kelas saja, tidak usah ikut menonton," kata Niluh. Kali itu memang aku bawa mereka di ruang kepala sekolah untuk menonton karena aku berpikir ruang Kepsek sedikit lebih gelap sehingga aku bisa menggunakan proyektor genggam kami. Selain itu, karena ruang kelas kami harus berbagi dengan kelas 3, aku berharap anak-anak bisa lebih fokus menontonnya.

"Pak, tidak kedengaran suaranya!"

"Pak dorang baribut tidak mau diam."

"Badiam oi!"

"Pak, ijin kencing," ujar Liong sambil nyengir (dia tidak benar-benar mau kencing).

"Pak, kelas enam boleh ikut nonton?"

"Kelas tiga masuk sana woi!"

"Nia, kelas dua tidak boleh!" Mamat.

"Pak, dorang baribut!"

"Pai, kepala!" Arif.

"Pai, nga pe kepala bapele!" Anak-anak protes kepalanya Rifai menghalangi pandangan mereka ke layar.

"Pak, mengantuk pak."

"Beapa dorang ini Pak?" tanya anak-anak SMP yang melongok masuk ke ruang Kepsek karena penasaran. So much for creating distance from disruption.

"Pak, mencatat saja di kelas Pak, beh." Fitri.

"Pak, saya kembali ke kelas saja ya," Ayu.

"Pak, dorang Aksan dan Ari keluar Pak!"

"Badiam oi!" Libra.

"Paak, paa-naaas," Aksan.

"Pak, torang tadi tidak dapat istirahat." (Aku kasih mereka istirahat setengah jam lebih awal, tapi masuk setengah jam lebih awal juga agar waktunya cukup untuk menyelesaikan menonton. Tapi tentu mereka tahunya mereka masih asyik main bola, eh dipanggil masuk).

"Pak, dorang yang lain so pulang, Pak!" Lonceng pulang jam 11 sudah dipukul memang, sementara filmnya masih 10 menit.

"Yes, pulaaaaang!" ketika aku akhirnya membebaskan mereka pulang setelah filmnya selesai. Aku menghela nafas panjang.

Jujur saja, aku tidak tahu apakah murid-muridku mendapatkan pesan tentang menjaga keutuhan NKRI dengan bersikap adil dan melawan ketidakadilan sistemik yang menjadi tantangan Denias. Aku tidak yakin mereka mengerti kenapa "peta Indonesia"nya Denias disorot berulang kali. Mereka mungkin belum semua kenal letak relatif pulau-pulau besar Indonesia. Aku tidak yakin mereka mengambil hikmah dari nasehat gurunya ketika adegan Denias berkelahi dengan Noel--mereka ikut menyoraki perkelahian itu, macam kalau di kelas.

Maka kuhela nafas panjang di akhir hari pelajaran.

Ketika aku mengunci kantor guru dan bersiap pulang, Apri bilang padaku, "Ceritanya gagah tadi Pak, sa sampai tidak berkedip sama sekali."

Dan aku bisa tersenyum lagi.

Sunday, October 20, 2013

Menuju Ondo-ondolu (eps. 2)

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/menuju-ondo-ondolu-eps



Pray, pray very much; but beware of telling God what you want.

-Pepatah Perancis

Di hari Selasa sore, sadar kalau saya meninggalkan stempel sekolah di laci di kantor, sementara saya sudah ada di SPC, saya akhirnya harus diantar oleh adiknya Pak Kepsek bolak-balik Ondo-ondolu SPC-UPT Batui 5-Ondo-ondolu SPC. Di jalan pulang, saya tanyakan jalan bercabang yang kami lewati di kanan jalan itu menuju ke mana. Pak Panuri jawab, jalan itu sampai ke Batui 5 juga di sungai perbatasan dengan Batui 4.

Saya separo bertanya-tanya, dengan saya bolak-balik lewat SPC begini kapan saya bisa menjelajah lewat jalan itu ya?

Hari Jumat siang, saya memutuskan untuk memberikan anak-anak pelajaran tambahan sebelum saya turun ke SPC, karena hari Sabtunya ada sosialisasi Padamu Negeri EDS siswa di Batui, saya diminta oleh kepala sekolah untuk hadir di sana mendampingi Pak Nurhuda sebagai operator sekolah. Praktis minggu itu saya hanya mengajar tiga hari seminggu. Selasa dan Rabu absen, Sabtu absen lagi.

Itu sebabnya saya baru pergi dari Batui 5 pukul 5 sore. Selain karena menunggu hujan, Mamat juga baru selesai mengerjakan 3 soal pembagian bersusun yang aku berikan pukul 5 itu. Aku buru-buru berkemas, pakai sepatu bot dan helm, lalu meluncur.

Di jalan, muridku Riski berteriak kepadaku kalau ada macet di jembatan. Tidak terlalu aku hiraukan, karena macet di jalan ke Ondo-ondolu dan Batui 5 adalah konsep yang jelas-jelas anakronistis: ketika jumlah motor dan mobil yang berpapasan dengan kami di sepanjang 18 km jalan batu menuju jalan poros bisa dihitung dengan sebelah tangan, bagaimana mungkin ada kemacetan di sini?

Baru di jembatan aku mengerti maksudnya.

Jembatan kami memang berlubang, dengan balok-balok kayu yang melintang dan membujur tidak terlalu berurutan, sekedar bisa dipakai melintas dari sisi satu ke sisi lainnya. Tak masalah bagi motor asal hati-hati tapi ternyata bisa menimbulkan petaka bagi pengguna jalan yang lain: truk.

Pas di tengah jembatan ada satu truk perusahaan sawit yang terhenti. Posisi moncongnya agak miring menghadap pegangan di tepi jembatan--alih-alih lurus menghadap jalan. Roda-rodanya sudah selip dan sebagian ada di palang-palang kayu sebelah bawah, sementara jalan aman harusnya lewat palang-palang kayu yang melintang di atasnya.

Jadilah truk itu gagal melintas, dengan posisi canggung di tengah jembatan menghadang akses kendaraan yang hendak melintas dari kedua arah.

Anak-anak yang pulang mengaji bisa berjalan tidak masalah, tapi motor, truk dan alat berat lainnya jadi tertahan.

Hari makin sore, anak-anak bersorak, "Hore Pak Masyhur tidak bisa lewat, harus bermalam di sini, bisa ke tempat Pak lagi malam ini dan pinjam buku cerita!" sementara aku meringis--meringis membayangkan aku wanprestasi ingkar janji menyanggupi perintah kepala sekolah untuk ikut sosialisasi.

Aku makin gelisah ketika anak-anak bilang, "Wah, ini sih sampai malam Pak!"

Aku lihat ada warga yang nekat menyeberang dengan motor di bagian tepi jembatan, di atas kayu-kayu yang paling terlihat lapuk. Seperempat bagian jembatan di tepi sudah berlubang karena kayunya patah dan jatuh ke bawah. Aku putuskan aku tidak berani mencobanya.

Aku tergoda mencoba jalan baru ketika Mamat bilang, "Lewat jalan TPTI saja Pak, yang di kuala (sungai) sana, jalannya bagus,"

"Pak tidak tahu jalannya Mat, baru sebentar lagi so maghrib dan gelap," jawabku.

"Ikut dorang saja Pak, dorang mau lewat sana juga," tunjuknya ke beberapa warga desa lain dengan motor di belakangku yang mulai putar haluan.

Betul juga, pikirku. Aku pun ikut putar haluan dan menguntit pelan-pelan. Hingga akhirnya sampai di sungai.

Dua hari terakhir, aku berharap langit terang dan tidak hujan, karena aku rindu main-main ke sungai lagi. Sekarang aku disadarkan lagi tentang kutipan pepatah Perancis yang bilang kalau manusia boleh saja berdoa dan berharap agar doanya didengarkan tuhan, tapi berhati-hatilah mereka kalau tuhan benar-benar mendengarkan doanya. Aku berharap bisa main ke sungai, kini aku dipaksa lewat di sungai.

Betul-betul lewat di sungai, karena jalan kami memotong sungai, jadi kami harus membawa motor kami melintas menyeberang air dengan kedalaman 20-an cm.

Tidak masalah sebetulnya kalau si pelintas menggunakan motor besar, atau motor kecil yang tinggi. Tapi aku kuatir, karena motorku suka berlagak macam artis kalau harus menyeberang air. Rewel dan minta perhatian.

Bapak yang aku kuntit bersiap mencari jalan menyeberang air. Perlahan ia maju, meter demi meter, dan di tengah sungai ia mulai hilang keseimbangan. Aduh! Sak dia yang berisi beras terjatuh ke sungai!

Sementara aku sudah mulai menyeberang juga. Apakah aku menyeberang dulu baru menolongnya, atau aku berhenti dulu untuk menolongnya baru melanjutkan menyeberang? Keraguanku berbuah bencana: aku berhenti 2 detik sembari menimbang pilihanku, dan ketika itulah mesin motorku mati. Di tengah sungai. Aku coba nyalakan lagi, tapi sia-sia saja aku menendang kick-starternya.

Untungnya ada juga orang yang lewat dari arah berlawanan, ia menolong mengambil beras bapak tadi dan menegakkan motornya, baru ia menolong aku mendorong motorku menyeberangi sungai dalam keadaan mati. Di tepi sungai, bapak yang aku ikuti mohon diri langsung berangkat lagi meninggalkanku agar bisa menyelamatkan berasnya yang terlanjur basah. Tinggal pemuda yang tadi menyeberang dari arah berlawanan yang bersamaku mencari tahu apa masalahnya.

Tarik tuas choke, coba nyalakan. Tidak nyala.

Cek bensin, masih ada, coba nyalakan. Tidak nyala.

Cek tuas karburator, coba nyalakan. Tidak nyala.

Start kosong, coba nyalakan, start lagi. Tidak nyala.

Coba lihat busi, sadar tidak punya kunci busi, kembali tutup busi, coba nyalakan. Tidak nyala.

Start kosong, coba nyalakan, start lagi. Tidak nyala.

Sementara itu matahari makin nyaman bersembunyi di ufuk barat. Langit memerah, lalu berubah magenta. Hari menjelang malam.

Start kosong, coba nyalakan, start lagi. Tidak nyala.

Akhirnya ia membuka tutup busi lagi, dan berkata bahwa pantas businya basah, ada yang pecah. Ia buka kaosnya, ambil ranting dari tepi jalan, dan mencoba mengelap bagian dalamnya hingga agak kering.

Start kosong, coba nyalakan, start lagi. Motorku akhirnya menderu.

Aku bernapas lega.

Aku berterima kasih, lalu berpisah jalan, ia menuju Batui 5, aku menuju Ondo-ondolu. Sendirian. Aku hanya berharap aku tidak akan tersasar menuju jantung hutan sawit.

Paling tidak jalanannya masih jalanan kerikil keras, bukan tanah lempung yang becek. Kalaupun jalannya di sini ternyata rusak, selama aku ikut bekas jalan motor yang sudah lewat, harusnya aku masih bisa lewat karena berarti jalannya masih padat.

Tapi kenapa jalan yang aku ikuti sekarang tidak ada jejak bekas ban motornya? Bekas ban sebesar ini cuma bisa dibuat oleh ban traktor.... yang berarti aku ada di jalan menuju kebun sawit, bukan menuju perkampungan. Agh! Aku salah ambil jalan!

Sementara itu, semburat-semburat merah langit kini telah lenyap. Langit yang ada hanya menyisakan warna kelabu beku. Penanda dingin malam akan segera datang.

Aku mendengus kesal pada diriku sendiri, dan memutar arah motorku, lalu memacu motor sekencang yang aku berani di jalan perkebunan sawit. Hatiku baru beranjak ringan ketika aku sampai di satu pertigaan. Harusnya aku tadi memang belok, mengikuti jalan yang nampak becek tapi jelas terlihat kalau beceknya adalah becek dilalui motor yang hilir mudik, bukan becek jalan tanah tanpa bekas ban motor sama sekali. Aku ambil jalan yang benar, sembari berharap tidak akan ada masalah dengan ban motor ini hingga sampai di perkampungan.

Langit sudah berubah gelap ketika aku sampai di kampung SPB. Tinggal dua kilometer lagi sekarang. Aku ingin berharap cepat sampai, tapi takut mengundang tawa para betara pelaksana Murphy's Law.

Tawaku baru lepas ketika aku sampai di SPC. Aku aman!

Friday, September 27, 2013

Menuju Ondo-ondolu

//reposted from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/menuju-ondo-ondolu



Selalu ada cerita berjalan dari Batui 5.

Saya dan Auliya selalu berusaha untuk pulang sebelum jam 3 dari Luwuk, karena pulang jam 3 berarti sampai di Ondo-ondolu jam setengah enam. Ondo-ondolu adalah desa transmigrasi tempat Auliya tinggal bersama Kepala Sekolah, sekitar 5 km lewat jalan kerikil dari Batui 5, desa saya, yang bisa makan waktu setengah jam. Akhir-akhir ini, saya dan Auliya berangkat jam empat dari Luwuk, dan selalu harus singgah di Solan dulu. Ketika kami sampai di persimpangan di jalan poros di desa Bakung, sudah jam enam. Jam tujuh malam kami sampai di Ondo-ondolu.

Kali pertama tidak masalah, karena waktu itu bertepatan dengan bulan purnama. Langit cerah dan jalanan terang. Kali kedua sedang bulan baru. Langit cerah pun jalanan takkan terlihat. Kunang-kunang menghiasi pohon-pohon tinggi menjulang di tepi-tepi jalan. Tapi paling tidak kami tidak berkendara sendiri, dan jalanan di sini aman. Sesunyi apapun jalan, kami punya teman untuk mengobrol memecah sunyi.

Senin sore minggu lalu, hujan turun jadi saya tidak bisa langsung ke SPC. Saya tunggu sampai jam lima, barulah saya berangkat. Esok paginya saya berencana turun dengan Pak Nurhuda berburu Wi-Fi untuk memasukkan data guru ke sistem Padamu Negeri. Karena jalan becek diguyur hujan berhari-hari, saya pilih lewat SPB, berarti saya punya cukup waktu untuk sampai di SPC sekira sebelum magrib.

Tapi selepas jembatan SPB ada bunyi dentang keras dari belakang motor, dan laju motor mulai oleng. Kini ada bunyi desisan pelan dari ban belakang. Saya punya dua pilihan: memaksa motor terus ke SPC, dan lewat di atas jembatan yang berlubang-lubang licin dengan roda tanpa udara, atau menambal ban di dusun yang belum ada 20 meter saya tinggalkan sebelum melanjutkan perjalanan.

Saya pilih opsi kedua, dan putar balik sambil mulai bertanya tukang tambal ban terdekat. 200 meter kemudian, di rumah di sebelahnya kepala desa, baru saya dapatkan tempat yang bisa menambal ban saya.

Saya pun menunggu sambil mengobrol dengan bapak-ibu yang cucunya menambal ban saya. Untungnya baru dua minggu lalu saya pulang dari Klaten jadi kemampuan berbahasa Jawa saya tidak terlalu karatan ketika saya harus berbahasa krama dengan pasangan yang aslinya dari Kulonprogo itu.

Pukul enam lewat lima belas baru selesai motor saya ditambal, dan saat itu pulalah baru ketahuan kalau ternyata ban saya bocor di tiga titik, bukan satu. Karena menambal tiga titik lama dan sulit ketika petang sudah menjelang, saya disarankan untuk mengganti saja ban dalam motor saya. Pukul setengah tujuh lewat baru saya bisa meluncur ke SPC.

Di kegelapan, sendirian.

Di kegelapan jalan antara SPC dan SPB tepian pohon dan langit berbaur menjadi satu. Hanya ada suara motor saya menderu. Gelap dan sunyi adalah lahan subur imajinasi. Daun-daun basah berkilau dengan cahaya lampu motor membingungkan. Merah, hijau dan hitam berkelebat. Bayangan apa yang akan saya temui di tikungan depan?

Saya baru bisa menghembus nafas lega ketika saya sudah lewat jembatan SPC. Jalan sudah beraspal, titik-titik cahaya lampu rumah sudah tampak. Belenggu kegelapan hutan sudah aku tinggalkan.

Aku aman.

Saturday, September 14, 2013

Guru dari Jepang

//reposted for posterity from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/guru-dari-jepang



Ada yang membuat saya geli ketika saya berkirim pesan whatsapp dengan Dimas, trustee pembawa risalah andragogi ke kabilah PM Banggai. Ketika itu, dia bertanya bagaimana kabar murid-murid saya sebelum menambahkan, "Kalau saya jadi mereka pasti senang sekali ya. Belum tentu seumur hidup dapat guru lulusan S2 dari Kyoto."

Untungnya, murid-murid saya di SD Trans Batui 5 tidak pernah menilai gurunya dari gelar S2. Bagi mereka, lebih penting saya datang hari Rabu mengajar bahasa Indonesia untuk melanjutkan materi wawancara. Buat mereka, lebih penting saya tidak terlalu sering turun ke SPC/kota agar saya tidak capek dan bisa memberi belajar sore. Untuk mereka, lebih penting tidak hujan agar saya mau diajak pigi mandi kuala.

Also, if I have my way, they'd go on studying in ITB or in other universities where they'll have professors from abroad teaching them by the dozen. Atau ke Astronomi ITB saja lah, lulusan Kyoto ada sak-ombyok yang mengajar di sana, cukup untuk empat kali umur hidup (karena ada empat orang). Better still, I'll have them make their way to study in Japan themselves.

Untuk sekarang, saya hanya punya satu pembanding tentang lulusan Jepang yang masuk kelas di Kabupaten Banggai.

Namanya Pak Takei, jajaran direksi PT DS LNG yang beroperasi di Banggai. Bersama dengan pimpinan dan staf lain dari PT DS LNG mereka mengadakan kunjungan ke SD-SD penempatan PM. Yang pertama mereka datangi adalah SD Inpres Solan, tempat Lilli mengajar.

Mungkin dengan pertimbangan afinitas kota yang pernah kami tinggali, Lilli meminta saya untuk mendampingi Pak Takei ketika ia masuk ke kelas 5 dan (rencananya) membacakan buku serta bercerita. Sayapun bersiap-siap mengambil peran figuran, karena memang sudah ada guru kelasnya juga yang ikut mendampingi. Pak Takei berencana membacakan dari buku bergambar tentang teknologi yang lazim ada di mall: eskalator, elevator, dan pintu otomatis.

Dari situ saya harusnya sadar kalau persiapan matang memang mutlak diperlukan kalau hendak berhadapan dengan anak SD. Meski Solan adalah desa penempatan PM yang paling dekat dengan ibukota kabupaten, kalau di kabupatennya sendiri tidak ada mall dengan eskalator atau elevator ya tetap saja susah nyambungnya. Plus Pak Takei sepertinya tidak menguasai Bahasa Indonesia logat Sulawesi. Sebetulnya kemampuan Bahasa Indonesianya bagus, jelas jauh lebih bagus dari kemampuan Bahasa Jepang saya yang luntur ketika saya pulang, tapi bagi anak-anak, tentu bukan itu yang mereka lihat.

Pada akhirnya, saya kagum pada Pak Takei yang cepat membaca situasi. Agar interaksi tetap terjaga, selesai memperkenalkan buku, ia mengubah taktik: ia ajak anak-anak bertanding jan-ken-pon dengan dia. Satu per satu mereka maju, yang menang dapat hadiah berfoto bersama (ada banyak kamera karena mereka datang berombongan). Selesai, iapun berpamitan.

Di luar kelas, barulah ia menyeka keringat dan mengipasi badan yang sudah basah kuyup dengan keringat, sembari berkomentar tentang energi anak-anak yang tidak ada habisnya.

Enam bulan sejak kunjungan itu, kini saya punya perspektif baru: bukan almamater atau strata yang penting bagi anak-anak, tapi kesungguhan dan kemauan ketika kita ada di hadapan mereka. Baik di dalam kelas, maupun di luar.

Wednesday, September 11, 2013

Buku untuk Ari

//reposted for posterity from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/buku-untuk-ari



Ada rasa gembira yang membuncah ketika kami mandi buku kiriman Indonesia Menyala yang baru datang. Kami berebutan memilah mana yang akan dibawa ke desa, sembari membayangkan binar-binar bahagia anak-anak mendapat bacaan-bacaan baru.

Komik Legenda Nusantara dari PGN. Majalah Kuark. Pearson's Reading Street. Lima Sekawan dan kumpulan cerita rakyat. Bobo. National Geographic.

Terbayang anak-anak pun akan ikut berebutan ketika aku nanti sampai di desa.

Maka diam-diam aku menyisihkan buku-buku yang aku pikir Ari akan suka.

Karena aku suka ketika semester lalu dia tamatkan dua buku Sapta Siaga, lalu dia ceritakan ulang ke aku, "Itu dorang Susie Pak, dorang pe adik mau ikut-ikut saja," dengan wajah yang berbicara semua. Dengan binar mata hidup dan mimik yakin.

Kelebihan Ari memang bukan di kemampuan matematikanya, atau di bidang atletik. Tapi tak ada cerita yang tak hidup ketika dia bercerita, biarpun cuma cerita bermain hujan. Apalagi kalau cerita melihat temannya baku pukul, tidak usahlah ditanya lagi.

Itu sebabnya aku agak sedikit kecewa ketika aku naik ke desa dan mendapati dia tidak ada. Kata kakaknya, dia ke Bungku, tempat bibinya.

Tidak apalah, mungkin memang mumpung liburan puasa. Satu bulan libur penuh tidak cuma bikin para guru mati gaya, murid-murid juga. Lebih dari separuh anak-anak yang biasa meramaikan desa menghilang, dibawa turun ke tempat saudara di kota bersama orang tuanya.

Perasaanku baru campur aduk ketika kali berikutnya aku bertemu kakaknya dia berkata, "Ari so pindah pak, nanti masuk sekolah lagi di Bungku."

Aku tidak ingin kecewa, tapi aku akan kangen dia.

Aku tahu, tidak masalah di mana dia bersekolah, selama dia masih bersekolah. Aku ingat, kalau di Bungku berarti dia bisa bersama lagi dengan adiknya yang tinggal dengan bibinya. Aku paham, kalau dia di sana, ia terhindar dari cekcok rumah tangga yang mungkin terjadi di sini.

Di sisi lain, kelasku akan jadi lebih ribut. Rasio murid yang tertib akan berkurang, karena ia adalah satu dari sedikit murid yang bisa bekerja tanpa harus diawasi terus. Aku suka ia di kelasku karena ia bukan anak yang akan menjahili temannya ketika tidak mengerti materi yang diberikan. Akan berkurang juga jumlah murid yang tulisan tangannya terbaca rapi dengan ejaan yang sesuai.

Kuhela nafas; tapi aku tahu bahwa mau tak mau aku harus rela.

Sampai di hari terakhir sebelum kepulanganku untuk berlebaran di Jawa. Aku mampir ke rumahnya, beli bensin dan berbincang dengan ibunya. Aku tanya tentang Ari, dan ibunya lalu bercerita.

"Mau saya, di sana saja, biar belajar mengaji"--aku angguk-angguk dalam hati--"biar temankan adiknya juga. Tapi tidak mau itu dorang Ari saya kasih pindah, menangis begitu."

Ari ternyata tidak mau pindah! Aku boleh lega!

"Tidak mau betul itu Ari. Menangis dia. Dia bilang, 'Nanti saja Mak, kalau Pak Masyhur sudah pulang Jawa. Saya suka sama Pak Masyhur, biar saya tidak tahu, saya ada belajar mengerti sedikit,'"

Di titik itu saya merasa saya bisa bilang peduli setan apa kata orang, kalau satu tahun saya bisa bikin satu anak saja tidak takut belajar, itu cukup buat bagi saya. Tidak perlu itu anak dapat "Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas, sistematis dan logis, dalam karya yang estetis".

Di titik itu, saya merasa bahwa di atas segalanya, kita para pendidik tak lebih dari pelayan siswa-siswa kita. Bukan pelayan kepala sekolah atau dinas pendidikan. Yang menentukan gagal dan berhasilnya kita adalah murid-murid kita. Bukan pengawas sekolah, sama sekali bukan. Kita baru boleh tidur nyenyak ketika nurani kita mampu menjawab bahwa kita telah melakukan yang terbaik untuk para pemimpin masa depan bangsa.

Tidak pantas kita menyandang gelar pendidik kalau kita memilih untuk tidak datang ke sekolah, atau mempersulit guru ke sekolah dengan alasan, "Dorang cuma enam orang saja itu di kelas."

Dalam doa saya, cuma ada satu hal yang pantas untuk mengganjar orang-orang yang menyengajakan aral bagi murid-murid kita seperti Ari: Bung Karno bangkit dari kubur dan menempeleng orang-orang macam itu, disusul Sayuti Melik juga bangkit dari kubur dan mencubitinya.

Biar masa depan bangsa ini tak lagi dijadikan mainan remeh para pendidik gadungan itu!

Saturday, September 7, 2013

Tangisan Apriansyah

//reposted for posterity from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/tangisan-apriansyah



"Pak, torang sekarang kelas lima, Pak beajar kelas lima. Nanti torang naik kelas anam, sama Pak juga saja!" kata Ita, muridku di kelas lima yang sejak tahun lalu aku ajar ketika dia di kelas empat.

"Iya Pak, nanti torang SMP, Pak ikut beajar SMP saja, sampai torang SMA, sama Pak terus!" timpal Libra, muridku yang lain lagi.

Aku mau, aku mau sekali, jawabku dalam hati.

Tak sampai hati aku menjawab mereka dengan jawabanku biasanya, kalau nanti bulan dua belas akan datang PM penerusku. Empat bulan lagi saja.

Ucapan yang mereka lontarkan sukses membuatku sesaat kehilangan irama menjelaskan materi sistem pencernaan di pelajaran IPA siang tadi. Aku tak yakin apa yang aku pikirkan benar-benar terlontar juga menjawab ucapan mereka. Aku pikir, asal mereka tidak putus sekolah, belajar sampai SMA bahkan lebih tinggi, I would like nothing better than that. I would fight to ensure they have the best education this nation can offer them.

But I'm a little bit troubled.

Karena Apri mulai menyita perhatianku lagi.

Kenaikan kelas lalu, aku berpikir untuk tidak menaikkannya. Kemampuan menulisnya rendah, dua dari lima kata yang dia tulis akan rumpang hurufnya. Perkalian dia belum hafal. Nilai ujian semester mengharuskannya ikut remedial di semua mata pelajaran yang aku ampu. Lebih dari 30 hari di satu semester dia absen. Keterselesaian tugasnya rendah.

Apri memang harus diperhitungkan sebagai kasus khusus. Berbeda dengan Libra, yang cenderung usil ketika tidak diberi kerja ekstra, dia tidak bisa diberi terlalu banyak kerja kalau aku tak siap mensupervisi dia. Yang ada mungkin malah seperti hari Kamis sore: tak sabar menanti aku mengoreksi jawaban anak-anak lain, dia meninggalkan bukunya untuk main, lalu pulang. Baru malamnya dia datang ke rumah untuk bertanya apa aku bawa buku dia supaya dia bisa belajar saat. Itu. Juga. Ga pake lama.

Kalau dia aku paksa duduk diam saja, daya konsentrasi dia yang pendek akan membuatnya menjahili teman-temannya.

Yang akan bikin teman-temannya menangis.

Ini alasannya kenapa hari Sabtu dua minggu yang lalu aku ambil dia dari kursi dia, lalu aku asingkan dia di kantor. Bagaimana tidak, satu pelajaran, tidak kurang dari tiga temannya dia buat menangis. Yang membuatku akhirnya menariknya adalah entah bagaimana dia melepaskan kaos Liong dari badannya.

Sialnya, karena itu hari Sabtu dan setelahnya aku harus ke kota, aku tak bisa berlama-lama pegang kunci kantor. Jadi setelah bel pulang, aku serahkan ke Pak Penjaga Sekolah, lalu aku ajak Apri duduk di depan pintu kantor yang dikunci. Di tempat terbuka macam begitu aku tak terlalu nyaman mau bicara betulan dengan dia. Pun karena anak-anak SMP dari sebelah bisa melihat kalau kami duduk berdua saja. Melihat, dan penasaran, lalu mendekat untuk menguping.

Aku agak berharap bisa mengulangi pembicaraan kami semester lalu, ketika aku memintanya berjanji tidak akan memukul temannya lagi walau mereka mulai mengejek duluan, tapi settingnya kurang pas. Aku terburu-buru, ruangan terbuka, banyak anak yang harus aku halau.

Sementara itu, Aprinya sudah mulai menangis duluan. Yang membuat anak-anak SMP dari jauh makin penasaran kenapa dia--yang biasanya membuat anak-anak lain menangis, sendirinya menangis. Di sebelahku pula.

Hari itu pun berakhir antiklimaks, tapi setidaknya aku berhasil minta dia berjanji kalau dia Senin akan datang sekolah lagi.

Seminggu terakhir, dia masuk sekolah penuh. Hari Rabu dia sempat bilang mungkin dia akan diajak turun ke kota--dan aku dalam hati langsung mencelos membayangkannya makin jauh mengejar ketertinggalan pelajarannya, apalagi dengan kemampuan menulisnya yang setingkat dengan adiknya di kelas 3. Tapi hari Kamis toh dia ada lagi.

Dia kini hafal prosedur perkalian bersusun, dan sudah menguasai penjumlahan dengan simpanan. Ketika dia melihat nilai matematikanya hari itu dapat 4, dia memilih untuk pulang terlambat untuk mengerjakan ulang hingga betul.

All is not lost.

Of course, the whole effect was a bit ruined when he told me sheepishly, "Saya ditempeleng mamak saya tadi Pak,"

"Saya tadi loncat dari jembatan [ke sungai], hehehe."

Words fail me then.

Berkat Ramadan 1434 H

With berkah Ramadan, crossing the treacherously dilapidated bridge to Ondo-ondolu SPC becomes a win-win situation. If you can successfully navigate your motorcycle on the broken beams, then you win, because your passage means you get to get to your destination.

If you fail to navigate, the worst thing that could happen is you'll slip and when worst come to worst, you'll fall headlong into the rushing river: limbs, guts, motorcycle and all. And thus concluded your history on Earth.

This is why berkah Ramadan is a boon. You pass, you get to your destination; you fail, you'll die mati syahid--it was Ramadan after all--and heaven is ensured. Virgin consorts, rivers of milk and honey await. I myself just hope that there'll be a cornucopia of aphrodisiac as well. I imagine eternity--even one envisioned with endless consorts--would be quite tedious.

When we consider the alternative--dying not in Ramadan, though, there's only one question to consider. Do people retain their immaterial souls' characteristic as they are subjected to divine retribution in hell? If so, I'm curious to find out whether hope will be included in the package.

Because without hope, the almighty might as well be flogging a desk that snubbed his toes. Just like a desk that have no agency to wish the flogging to end, torturing a soul dispossessed of hope is not as pleasurable as torturing a soul that hopes. Without hope to extinguish, a deity will fail to make the subjects of his punishment feel as dreadful.

Equally confounding is when the soul remains able to hope. Especially when its visit to hell is purgatorial. With hope, the pains are but a blink of an eye. And when the pains felt none-too-long, that's not really a worthy retribution for all the earthly wrongs done, isn't it?

Sunday, August 4, 2013

Banggai Berbelanja


Nine months together, we've started to know better our own strengths and weaknesses in relation with each other. Armed with that knowledge, it's now possible to devise a unique PM Banggai strategy in procuring goods and services. It can be outlined as follows.

The first step is to divide the team into two smaller teams of three. One team as designated reconnaissance team, and another as tactical follow up team. The first team comprised of Lilli, Luqman, and Yanti, who represent wealth in social connection, and thus wider information net whereupon we can rely to find the best deals being offered. And it also makes sense geographically, as Luqman is located in the northernmost part of Banggai team, the closest to the Palu, with easy access to Pagimana port. Lilli, on the other hand, holds the key to Luwuk, the capital of Banggai as information hub, as well as other, more curlier source of information (Ahem!). Lastly, on the Morowali-bound route, Yanti's proximity to Toili serves as the strategic gatekeeper to the information flowing in aforementioned direction.

Our reconnaissance team thus deserves to be reckoned with. Once they have located a good deal, it's time for the tactical response team to spring to action.

There is a reason why Ika, despite her communication degree, is better suited in the second team: not only she provides a counterbalance to me and Auliya in communicating our needs to the providers of the deal, her tastes can also be relied upon for aesthetic consideration. Her one weakness that may complicate the procurement process, the lengthy consideration process ("Eh, yang ini juga lucu!" she'd remark on a previously unseen item, after an hour-long consideration on another item.) can be easily remedied with my presence. I'll only need to glower to harry her along her decision process, much like the way I did to goodbyes in Cengkareng during deployment and to her packing when we were leaving for Banggai Island. If needs be, I'll render my numerical skill to the team to estimate ballpark figures and decide which options are the most economical and give the most bang-per-buck. After our decision was made, it's then time for Auliya to shine with her hard bargaining skill. It should be noted that it's most convenient that she draws the line of what's not to bargain in malls. Everything else is fair game to be bargained: neither the entry ticket attendant in Luwuk port nor hapless shopkeepers in wholesale clothing retailers stand a chance before her.

And with a deal sealed, it's then time to redeploy the reconnaissance team again, to touch base with the people involved, and make sure we are on their good grace.

It's a win-win solution. In Banggai, Together Everyone Acquires More (services)! Together Everyone Amass More (goods)!

Friday, August 2, 2013

Paradoks Ramadan 1434 H

Di awal bulan Ramadan, pada suatu sore saya mau diajak tahlilan di dusun sebelah. Lebih tepatnya sebetulnya saya diajak ke dusun sebelah dan baru sadar kalau mau tahlilan ketika separo jalan melintas jembatan kayu bolong-bolong.

Tapi toh sudah terlanjur pergi, dan saya bosan juga tidak ada kerjaan karena libur bulan puasa jadi saya datang juga. Di sana, selain dapat pencerahan--yang tidak terkait dengan isi takziah yang disampaikan--tentang berkah Ramadan dan Rodja TV, saya juga jadi sadar tentang adanya paradoks dalam paradigma Islam seperti yang disampaikan tuan rumah saya.

Waduh, berat nih bahasannya. Paradoks? Paradigma? Ohya, Anda mungkin akan tersinggung lho baca lanjutannya. Kalau Anda baca, berarti Anda secara eksplisit memang paham kalau yang saya tulis berikutnya mungkin menyinggung Anda, dan Anda kehilangan hak untuk marah-marah secara tidak rasional. Kalau mau menunjukkan bahwa logika saya ada bolongnya sih tetap boleh, marah-marahnya itu yang tidak boleh. Tetap mau lanjut?

Monday, June 24, 2013

Being Enterprising

Mbak Yanti remarked that of all six of us, it was not Lilli and Luqman who are most different. It is me and Luqman.
To some extent, there is no denying her words, surga di telapak kaki ibu-ibu and all, but also because it was also factually accurate that I didn't spend a dime in tuition for my tertiary educations while Luqman, well, had to strive to go to college.
It was no question by the time I was in high school that I'd go to college. The only question was only what major I will choose. This led me to consider few of the most esoteric of them all: Nuclear Engineering (only listed in UGM), Russian Literature (UI is one of the few universities that have it in Indonesia), and of course, Astronomy.
Our path could have been very similar, though.
After my father passed away, I actually pondered if we'd still be able to go to school. It was not that I doubt Mom's capability to be the breadwinner but the soils her three children tread on don't magically turn into gold anyway. Despite the old "banyak anak banyak rejeki" axiom, this rejeki needs investment in form of education first. Maybe that's because our family wasn't--isn't--a farming family which can simply turn a pair of infantile hands into unpaid labor*. Or maybe it's especially because we're not a farming family.

On the other hand, stories like Luqman's are probably the more common ones here in Sulawesi. Dabbling and trying one's fortune in various occupations to make ends meet. My headmaster and teacher colleagues are no exception. Not when my headmaster is practically a jack of all trade: he's a teacher cum carpenter cum transporter cum trader cum farmer cum print shop owner. All told, adding the time he has spent in each occupation means that he has lived four times longer than the average human lifespan. Even if one only lives as a farmer who moonlights as a teacher who preaches Islam in one's spare time like the Islamic study teacher in my school, he will still out-enterprise me by light years. In his case, his farming expertise repertoire boggles an urbanite like me: cocoa, rice, all sorts of vegetables, corn, banana, salak, and of course, oil palm.

And then you have me. The juxtaposition couldn't have been more jarring. Because enterprising in business is clearly what I am not.
Our path could have been very similar, though.
Yet it was not. Looking back, my distinct lack of retail acumen possibly stemmed from the little reward and appreciation to my first attempt in sales. Back in junior high school, awash with wide-eyed enthusiasm for KKN students, some of my friends turned one of the craft they were taught to items for sale. The craft in question was an imitation rose made from ribbons, folded and glued together. It was painstaking work that needed attention to details if you want your roses to be realistic. It was something fun.
True, the fun wears off after the thirtieth rose or so, and curling the ribbons and neatly folding them was not work you can multitask with, say, doing homework. But until that point, it was rather enjoyable, and the companies were pleasant.
Which was the reason why Mom expressly expressed her disapproval to this particular activity, pointing out with the particularly unassailable brand of adult logic that (a) this would have reduced my study time, and (b) it's not like our family's livelihood was in dire need of the Rp. 1.500/flower cash that I could
get from the plastic roses, and they didn't even look /that/ real.
And thus end my first foray in craft retails.

This is anachronistic, I know, given how arts and crafts are essential to Mom's line of work. But is it any wonder now that I wonder how I don't /actually/ need any antihistamines whenever I had to deal with anything even remotely artsy?

____
* case in point: cocoa harvest at Auliya's school.

Sunday, June 2, 2013

Anak Dewasa

//reposted for posterity from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/anak-dewasa



"Iya Pak, kata bapak saya nanti kalau saya ranking satu saya dibelikan Absolute Revo," cerita Ibra setelah dia membuat prediksi ranking 1-2-3 kelas 4 SDN Trans Batui 5 di semester dua ini.

"Bapak kamu janji membelikan kamu motor?" tanyaku setengah tak percaya .

"Iya Pak, tapi Absolute Revo yang bekas," jawabnya lagi.

Ibra adalah muridku kelas 4. Pintar menggambar dan cepat menangkap tugas yang diberikan di papan tulis. Dia aku ikutkan OSK kemarin meski ketika pengumuman semifinalis keluar, namanya tidak ada di daftar itu. Sudah beberapa kali aku melihatnya naik motor sore-sore, jadi aku memang sudah tahu dia bisa naik motor. Yang membuatku separuh tidak percaya adalah bayangan anak SD yang memiliki sepeda motornya sendiri.

Bagiku dulu, memiliki sepeda motor pertama ketika SMA terasa sebagai validasi memasuki dunia orang dewasa. Dengan sepeda motorku sendiri, aku memiliki kebebasan untuk menentukan apakah aku akan langsung pulang ke rumah usai sekolah, atau bermain-main. Ketika ibu membelikan sepeda motor, ada rasa tanggung jawab baru.

Ketika membuat perbandingan mental antara asumsiku tentang kedewasaan dia dan kedewasaanku ketika SMA, aku menjadi agak khawatir tentang Ibra dan teman-teman sebayanya. Mungkin benar mereka matang jauh lebih cepat dari seharusnya. Mereka terbawa masuk dunia orang dewasa ketika mereka harusnya masih senang bermain. Tentu bisa kita menyalahkan TV yang tidak mendidik, tapi kadang juga ada yang berdampak lebih hebat daripada TV: kehidupan sehari-hari.

Ada murid pindahan baru di kelas 5, tapi murid ini tidak benar-benar baru. Awal tahun ajaran ini dia bersekolah di SD kami, tapi lalu ia pindah ke Bubung, desa di kecamatan lain di Banggai. Secara diplomatis bisa dibilang ia mengikuti ibunya. Tapi obrolan para tetangga selalu menyebutkan ia "diculik" dari keluarga ayahnya oleh ibunya yang pergi bersama pria lain. Dramatis memang, cerita kejar-kejaran kakeknya mengejar ibunya dan kekasih prianya di atas gunung. Dari cerita-cerita ini saya jadi belajar kosakata baru: hugel, alias hubungan gelap.

Ada murid kelas 4 yang saya tahu dulu sempat melihat pertengkaran verbal dan fisik orang tuanya sebagai tontonan sehari-hari. Tidak pernah lama, tapi sering.

Saya yakin kasus-kasus terkait pertikaian domestik yang saya tahu ini cuma puncak dari gunung es yang menyeret anak-anak ke dunianya orang dewasa. Di bawah permukaan air, masih ada berbagai macam hal lainnya: kebiasaan ringan tangan, obrolan-obrolan seksual, olok-olokan agama, dan lain-lain. Saya sampai sekarang masih kebingungan harus menjawab apa kalau ada anak yang bertanya, "Pak, pak tau tempik?" sementara raut mukanya menunjukkan jelas muka saya-pengen-ngetes-pak-guru-ah. Bingung campur sesal tidak bisa menyisipkan pengenalan pendidikan seksual ke anak-anak ketika teachable moment-nya lewat.

Kadang saya berpikir mungkin kekhawatiran ini tidak cocok ada di dunia realita, cocoknya di dunia utopia, tempat tidak ada orang tua yang sudah mempercayakan menyetir mobil pada anak SD kelas lima—seperti yang pernah saya lihat di Ijen. Tidak cocok di dunia nyata, karena bahkan di fiksi-fiksi anak yang saya baca tokohnya sudah memanggul tanggung jawab besar di usia belia. Anak-anak Lima Sekawan bahkan sudah mulai menerjang bahaya bahkan ketika mereka belum genap 10 tahun. Barangkali gerbang kedewasaan sudah jamak dilewati sejak mereka kelas tiga.

Atau bahkan kelas dua.

Bagaimana tidak heran mendengar anak kelas dua meminta ke saya, "Pak guru ganteng, boleh minta cium?"

Untungnya, dia melanjutkan dengan, "Cium pipi, Pak!"

Sunday, May 26, 2013

The Pleasures and Sorrows of Math

//reposted for posterity, from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/the-pleasure-and-sorrow-of-math

There was no pleasure in realizing that the legwork for interactive, constructive teaching takes a lot of time. And most of these work was disproportionate, as the result of a 3 man-hour work may only be enough to occupy the kids' attention for 30 minutes. Or maybe less.

There was no pleasure knowing that my carefully cut colored folding papers will end up all crumpled and ugly after being manhandled by 17 students in just one morning math period. There was even less pleasure comparing the amount of time I spent pleading my cheaply bought compass to draw a perfect circle to the amount of time they will spend noticing the shape in their hand was a true circle. Or knowing that the subtleties of a neatly drawn star--with 72 degrees angle separating each of neighboring points in the star--will definitely be lost on them.

There was no pleasure in being aware that after the dull hour of writing a teaching plan--which probably won't go smoothly anyway, more work awaits. More pencil-pushing work of drawing up an evaluation and marking scheme, and recording its result.

Yet there was only pleasure in sharing your love of something to other people you care about. I can attest to this, as it was thoroughly enjoyable making--trying to make--my pupils fond of basic mathematics as I do. I am not always successful, but trying is half the fun. And when I do get through to them, the jubilant feeling is very addicting.

You wouldn't believe how there was no other thing but pleasure watching your students taking up the initiative to create their own number card by imitating what they see in class and after classes end. It's nothing fancy, it's only discarded corrugated cardboxes, after all, but their enthusiasm was nothing short of heartening.

I say, it's a good addiction, as there was only pleasure in getting the work done in the best way you know how. Sorrow will have to be a stranger today.

Saturday, April 13, 2013

Berkeras Memutus Arus

// reposted for posterity, from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/berkeras-memutus-arus

"Pak, kenapa Pak Guru tidak pernah bapukul, Pak?" tanya Rahma tadi malam.

Saya berpikir sejenak.

"Kamu suka kalau dipukul?" tanyaku balik.

"Tidak, Pak," jawab Rahma. "Tapi kenapa Pak Guru tidak pernah bapukul yang nakal macam Mamat?"

***

And honestly I was stumped. I know that it's wrong, but to point out exactly why it's wrong, I'm out of my depths. If pressed, I can recite a stock argument or two why I am not an ardent believer of corporal punishment. But convincing a rational, knowledgeable individual acting as a parliamentary debate adjudicator is worlds apart from giving a sense of understanding to a young mind why an idea is wrong. Especially if violence is casual for her.

I stumbled for words, while not three feet away Mamat continued his playful roughhousing with Yoga and Pai, meaking my previous effort to tidy up my house vain. As he always does even in classroom during lessons.

I wish I'd have another chance to explain my reasons to Rahma. I wish even harder that I have a good answer ready.

Earlier this Monday morning, all of our teachers were present at school. Conversations sparked up, and one of the teachers claimed to the success of strict actions and distance between teachers and students to make his earlier pupils, well, succeed. I did not ask him how exactly did they succeed. I know I'm a bit prejudiced this way.

Much earlier, Ika asked me how to make me angry. Answering that I'm not really sure if I've ever harbored a burning anger--though for sure I've been frustrated, e.g. at present time--she pressed me how would I express myself angry. Those of you who know me well may now chuckle.

The answer I gave her was something noncomittal before continuing that for some people, I know I'm physically superior to them that any attempt at a violent recourse will be heavily disproportionate for them. Her and my pupils included in this category. I mean, you just have to look at their slender arms that could so easily be broken or dislocated by careless adult hands.

For those excepted from that category, I'm not powerful enough to overpower them that any attempt at genuine physical retaliation will only leave me emasculated and embarrassed.

Those are perhaps personal reasons enough not to do that. That, and family tradition, I suppose.

Though I suppose this now leaves me with an unanswered question of what to do with violent students.

Eko is a sixth-grader who've brought me to my wit's end. Last week, I logged two notes about him:

"Eko bikin masalah dua hari ini. Hari Rabu (27/3) dia di pagi hari menonjok dada Apri hingga dia meringkuk menangis kesakitan. Tanpa alasan jelas. Hari ini (28/3) kata anak-anak dia banting kepala Andrian ke tembok hingga Andrian menangis kesakitan juga. Tanpa alasan jelas pula. Honestly this kid tests me severely."

Bear in mind that: a. Apri is his younger brother, and b. both Apri and Andrian are big compared to the other fourth-graders. Not to mention the fact that usually Apri is the source of complain from his classmates for roughhousing!

Even the book offers little by way of ideas. We have a book titled "Penanganan Kekerasan di Sekolah" but the activities there would be of little use to handle Eko. How would you ask him to write the concept of an ideal, violence-free school if he knows very little how to write?

Patrick Rothfuss wrote in The Name of the Wind by quoting Teccam's Theophany: "there are three things all wise men fear: the sea in storm, a night with no moon, and the anger of a gentle man." I bear the word gentle in my surname, and I just hope that my students will one day be wise enough to fear all three.

Thursday, February 21, 2013

Kelinci Kertas Murid Ganteng

// reposted for posterity, from http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/masyhur-hilmy-2/kelinci-kertas-murid-ganteng

Mamat (belakang tengah), dengan Irfan, Pai, Arif, dan Apri.


Saya punya murid ganteng. Namanya Ahmad, biasa dipanggil Mamat oleh teman-teman dan gurunya yang lain. Mamat sekarang sudah kelas 5, tapi walau saya wali kelas 4, sering juga saya mengajar dia. Posturnya tegap, badannya tinggi, kulitnya sehat, dan kalau tersenyum tambah cakep.

Tapi kegantengannya ini sepaket dengan kebadungannya. Dari awal saya mengajar di SD Trans Batui 5, satu hari belajar belum lengkap kalau belum ada murid lain yang menangis sambil mengadu, "Paaak, Mamat Paak!"

Kalau saya sedang mujur, maka dalam satu hari bisa tiga aduan berbeda tentang Mamat yang saya dapat. Untungnya, biasanya aduannya bervariasi, "Mamat nakal Pak!", "Mamat betarik rambut Pak!", atau "Mamat bapukul Pak!"

Kalau saya benar-benar mujur, variasi yang saya dapat bisa bertambah menjadi "Paak, Mamat bapeluk-peluk Pak!" atau "Mamat bacium-cium Pak!" dari anak-anak perempuannya.

Saya tidak bisa membayangkan kalau hanya ada saya di kantor, karena berarti semua aduan itu lari ke saya. Mujurnya, saya tak perlu membayangkan hal tersebut, karena sudah kejadian beberapa kali. Biasanya kalau pagi dan sebagian guru yang lain terhalang datang. Kadang-kadang semesta sedang baik dan saya sedang bersama banyak guru berkumpul di kantor SMP sebelah (gedung SD bersebelahan dengan gedung SMP). Tapi kebaikan semesta ini biasanya harus dibayar dengan merasa kasihan pada Mamat yang lalu dimarahi oleh (hampir) semua guru.

"Mau kau Mat, Pak Guru kasih kau libur tidak sekolah seperti lalu?"

Bonusnya, setelah itu kami memperbincangkan kebadungan dia, termasuk skorsing yang pernah dia dapat karena pernah membuat kepala salah satu temannya bocor. Daripada parang orang tua terayun ke sekolah, dia pun dijatuhi skorsing seminggu. Peristiwa ini terjadi sebelum saya datang kemari.

Bagi saya, Mamat sebenarnya tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain yang kelebihan energi tapi dipaksa duduk diam di bangku kelas. He fits like a round hole with a square peg, ga cocok jek!* Seperti anak-anak lainnya juga, dia belum tahu batas-batas kekuatan dia, apalagi ketika bermain dan bergumul fisik dengan teman-temannya yang posturnya lebih kecil. Jadilah apa yang dia rasa biasa, terasa menyakitkan bagi teman-temannya. Makin parah lagi kalau dia bermain dengan teman-teman adiknya yang duduk di kelas 1, sudah pasti kekuatannya tidak berimbang.

Ketika dia diadukan ke guru dan lalu dimarahi sambil disebut-sebut sebagai murid nakal, makin kental pula cara dia mengenali diri sendiri sebagai anak nakal, dan mungkin ke depannya dia tidak akan peduli nasehat siapapun. “Karena saya toh memang nakal,” begitu mungkin pikirnya. Kalau itu sudah terjadi, makin sulit lagi mengajak Mamat belajar dan menyerap materi yang diberikan kepadanya.

Saya sering berpikir bahwa ketika saya mengajar dia, saya harus menyiapkan aktivitas tambahan untuk menyalurkan energinya. Tapi hingga kini, belum juga saya menemukan aktivitas yang cocok.

Yang ada justru saya keheranan mendapati Mamat bisa berkonsentrasi dan memperhatikan saya penuh ketika saya mengajarinya origami membuat bentuk kepala kelinci.

Suatu sore, saya meninggalkan satu kepala kelinci di jendela luar rumah dinas. Sebagai guru yang tidak artistik sama sekali, mau tak mau saya harus memperbanyak amunisi untuk kelas SBK (Seni, Budaya, Keterampilan)—termasuk di antaranya membuat origami. Mamat adalah salah satu anak yang melihat kelinci itu dan langsung minta diajari saat itu juga. Bersama tiga anak yang lain, saya beri mereka kertas lipat masing-masing satu lembar dan saya ajari mereka melipat kepala kelinci.

Siapa sangka justru Mamat yang pertama mengerti instruksi melipat saya? Heran saya tak habis-habis ketika melihat dia lalu mengajari temannya yang lain yang belum mengerti (sambil disertai celetukan “Bodoh ngana! Begini!” tapi ya memang tidak bisa semalam menghilangkan semua kebiasaan negatif anak).

Setelah itu, dia termasuk yang paling getol mengajari teman-temannya. Kalau saja saya bisa membuatnya berkonsentrasi seperti itu ketika menulis karangan pengalaman atau mengubah persentase menjadi pecahan biasa, biar dia menulis tak pakai titik atau koma saya sudah bahagia.

Tapi paling tidak, sekarang saya tahu kalau dia bisa belajar. Tinggal PR saya bagaimana membuat Mamat belajar, tanpa mengganggu temannya belajar.

-----

*Do pardon the rhyme.

Tuesday, January 15, 2013

Beauty and terror in a night's entertainment


In Batui 5, I don't normally have my bath that late: for the two months that I have been living here, I have made myself a habit of going out just before sundown. This is for no other reason than that the public well where I wash myself have no artificial illumination while the well's lip is merely 10 cm high lend credence to one's fear of tripping down into the well in the dark of the night.

But by then it was already 6.30 pm, my body felt sticky all over after playing with the kids in a nearby river and I needed to wash. Assuring myself that then it was only a couple of days past full moon, I assure myself that nothing will be going wrong with ample lunar illumination (and in doing so, I embarrassingly forgot a basic fact: the moon won't rise until 9 pm, well after I'm supposed to be done with my wash. Truly a disgrace for an astronomy graduate.)

And yet even without lunar illumination, it turned out that taking a bath that night was simply splendid: I had never before, taking a bath with entertainment present. There were fireflies swarming a nearby coconut tree and another--a leafy flower tree. A dance so dynamic I couldn't help but be transfixed.

I moved the pail from the well rather automatically, transferring the water to a bigger bucket nearby. Because truly, wouldn't you rather enjoy the flickering twinkles of fireflies than staring down the gaping maw of the well's darkness?

That night's bath almost had all the ingredients I needed for me to have my bath leisurely. Almost, because from inside the gaping maw there's a persistent sound of something repeatedly dunking under the water and then surfacing. The sound of splashing continued even when I stayed still, making sure that it wasn't caused by water dripping from my body to the well.

Leave it to the stubborn splashing sounds to ruin a perfectly enjoyable bath. I don't have a particularly active imagination, but a persistent sound in the night will inevitably play suggestions to one's mind. Not least of all, mine, which often jumps to the most morbid possibility.

It also didn't help that I've just finished Koji Suzuki's novel: you remember Sadako Yamamura (of The Ring) met her watery end inside a well, don't you? Even if you don't, I did.

When I finished my bath, I don't exactly scamper--that would be undignified. Though I don't suppose one can scuttle with much dignity either. I shall leave it until the morning light reveal what terror lies in the well's gaping maw, I thought. Knowing full well that it would make me feel ridiculous afterward.

The following morning before school begin, I returned to wash myself, and to see what denouement awaits inside the well--now no longer a maw it had been the night before under the bright daylight. And to no-one's surprise, the promise of a revelation doesn't disappoint: there was indeed something big bobbing inside the well. The culprit of the sound, however, was rather disappointing, it was no foul spectre and there was no trace of any Sadako.

It was just a big toad, trapped inside, unable to climb the wall of the well.

A toad with a very ordinary appearance.

In toto, this had not been an earth-shattering news of the year.